Deep Purple Membakar Senayan 1975

DEEP PURPLE

MEMBAKAR SENAYAN 1975

 

 

Supergrup ini datang dan mengubah segalanya. Dua hari yang mencekam dan mengerikan di Jakarta.  Setelah 31 tahun, inilah kisah sebenarnya yang tak banyak diketahui atau bahkan diceritakan oleh orangtua kita.

 

 

Oleh Wendi Putranto

 

 

 

Setelah Ritchie Blackmore hengkang dari Deep Purple pada bulan April 1975 dan digantikan Tommy Bolin, mantan gitaris James Gang, maka resmi terbentuklah Deep Purple MK IV yang terdiri dari David Coverdale [vocal], Glen Hughes [bass], Tommy Bolin [gitar], Jon Lord [keyboards] dan Ian Paice [drums]. Formasi ini bulan Agustus 1975 terbang ke Munich, Jerman selama sebulan untuk merekam album ke sepuluh yang bertitel Come Taste The Band. Album yang dirilis Oktober 1975 ini kemudian disusul dengan tur konser keliling dunia sebagai promosi. Tur yang dimulai dari Royal Albert Hall, London, Inggris pada 16 Oktober 1975 kemudian berlanjut dengan konser pemanasan di Hawaii, Amerika Serikat. Setelah itu Deep Purple terbang down under untuk berkonser di Selandia Baru dan Australia.

            Sebuah sejarah baru bagi dunia showbiz Indonesia akhirnya ditoreh pada tanggal 4 dan 5 Desember 1975 ketika supergrup Inggris ini menyempatkan diri untuk menggelar konser di Stadion Utama Senayan, Jakarta. Orang yang paling berjasa mendatangkan Deep Purple adalah almarhum Denny Sabri (wafat 29 November 2003 di Bandung), seorang jurnalis musik berpengaruh yang saat itu bekerja untuk Majalah Aktuil dan sempat sukses mengorbitkan Nicky Astria, Meriam Bellina, Nafa Urbach dan Nike Ardilla. Aktuil merupakan majalah yang terbit sejak tahun 1967 di Bandung dengan tiras seratus ribu eksemplar tiap bulannya, sebagian besar liputannya adalah musik. Sabri adalah orang yang sangat dekat dengan lingkaran dalam Deep Purple, mulai dari tingkat manajemen, road crew hingga para personelnya telah ia kenal sejak lama sebelumnya. Yang tak banyak diketahui anak muda sekarang, keberhasilannya memboyong Deep Purple ternyata memiliki cerita yang sangat panjang.

Menurut buku 10 Tokoh Showbiz Musik Indonesia (Seno M. Hardjo, Hilman, Denny MR/Gramedia 1991), Denny Sabri pertama kali menyaksikan konser Deep Purple di Hamburg, Jerman pada tahun 1970 dan segera menjadi penggemar berat mereka setelahnya. Sebagai jurnalis yang terkenal gigih dan ulet dalam menembus narasumber, Denny Sabri setahun kemudian akhirnya berhasil berkenalan dengan Bruce Payne, manajer band Deep Purple dan menjalin hubungan baik dengannya. Bruce bahkan sering mengajak Denny untuk ikut tur konser dan terbang bersama pesawat Deep Purple.

Selain ikut tur ia juga kerap diundang menyaksikan latihan rutin band ini di sebuah hanggar pesawat yang kabarnya juga sering digunakan Led Zeppelin. Jika mereka tengah rehat latihan ia terbiasa mengobrol dengan para personel Deep Purple, khususnya idola utamanya, gitaris Ritchie Blackmore. Pendiri Deep Purple ini kerap menanyakan dimana letak Indonesia. “Apakah Indonesia adalah nama lain dari Indo Cina?” ujar Denny di buku tersebut menirukan Ritchie. Mungkin disitulah Denny Sabri makin bersikeras untuk membawa band idolanya ini menggelar tur ke Indonesia.

8 November 1975 di Honolulu, Hawaii, Denny Sabri secara spontan diperkenalkan kepada ribuan penonton oleh David Coverdale yang berkata bahwa Deep Purple telah kedatangan “seorang tamu dari bagian lain surga. Selamat datang Denny Sabri, sang promotor!” Lampu sorot kemudian diarahkan kepada Sabri yang kebetulan sedang duduk di barisan depan. Aplaus penonton membahana yang segera disusul dengan bergemanya lagu “Burn.” Sebuah momen impian bagi penggemar band apapun telah menimpa dirinya. “Coba bayangkan, betapa bangganya saya!” tukas Denny di buku tersebut.   

Setelah mengontak promotor Peter Basuki dari Buena Ventura Group untuk bekerjasama dengan Majalah Aktuil guna mendatangkan Deep Purple, Denny Sabri intens membahas kedatangan mereka ke Jakarta dengan sang manajer. Disepakati untuk dua konser di Jakarta honor yang diberikan sebesar empat puluh delapan juta rupiah. Selain itu, Denny juga diwajibkan menanggung akomodasi serta transportasi udara kontingen Deep Purple dengan rute Sydney-Jakarta-Tokyo. Urusan tersebut beres, masalah lain menghadang. Kini giliran teknis produksi konser menjadi kendala. Di Indonesia pada saat itu fasilitas pendukung konser seperti panggung, sound system, lighting  masih sangat terbatas. Apalagi ini kebutuhan pentas supergrup dunia. Sebagai sahabat Sabri akhirnya Payne bersedia mencarter pesawat khusus untuk menerbangkan kargo logistik Deep Purple langsung dari Kanada.

Kabar kedatangan Deep Purple ke Indonesia yang gencar diberitakan Aktuil membuat sebagian besar anak muda tanah air terjangkit demam Deep Purple. Apalagi saat itu bersama Led Zeppelin dan Black Sabbath, mereka tengah merajai pentas rock dunia. Sebagai band pembuka konser supergrup rock dunia yang pertama di Indonesia Sabri lantas menunjuk God Bless. “Wah, buat kami surprise besar karena God Bless juga penggemar Deep Purple. Sebuah kehormatan bisa menjadi band pembuka Deep Purple, supergrup dunia saat itu,” ujar Donny Fattah Gagola, pemain bass God Bless ketika saya tanya tentang perasaannya saat itu. Untuk pertama kalinya pula dalam sejarah, band rock Indonesia dipercaya membuka konser supergrup dunia. Keputusan Denny Sabri memilih God Bless cukup beralasan. “Kami sedang naik daun di kalangan remaja saat itu, makanya Aktuil memilih band yang kebetulan aliran musiknya sama-sama hard rock,” cerita pendiri God Bless tersebut.

Untuk dua malam membuka konser Deep Purple, God Bless dibayar satu juta lima ratus ribu rupiah. “Fee terbesar God Bless pada saat itu. Kami cuma main lima lagu, tiga puluh menit dan bareng supergrup lagi,” kenang Donny tertawa. Sebelumnya, selama sebulan mereka “dikarantina” di sebuah vila di daerah Gadog, Puncak untuk mempersiapkan segalanya. Di hari pertama konser, God Bless urung tampil karena, menurut Donny, para teknisi dan kru supergrup tersebut mengalami kendala teknis hingga terlambat mempersiapkan alat-alat musik. Diputuskan kemudian God Bless akan membuka konser di hari kedua. 

Keesokan harinya, walau tampil cover version, God Bless sukses memukau publik sendiri. “Kami juga memainkan lagu Trapeze, ‘Keepin’ Time’ yang diaransemen ulang sebagai persembahan bagi Glen Hughes.  Waktu itu kami belum berani membawakan lagu sendiri karena masih dalam proses pengerjaan di studio,” ujar ayah dari Iman Fattah, gitaris band indie LAIN dan Zeke & The Popo ini bangga. Saat itu usia para personel God Bless rata-rata 25 – 27 tahun.

Mulusnya penampilan God Bless ternyata berkat dukungan teknis yang diberikan seluruh road crew Deep Purple. Menurut Donny, walau instrumen musik cukup memadai, saat itu di Indonesia pemahaman teknis produksi sebuah konser masih tergolong primitif. “Tak hanya God Bless, band-band Indonesia saat itu masih belum paham fungsi stage monitor, sound system bahkan mixer. Ketika melihat tata lampu yang hebat dan asap dry ice semua orang terbengong-bengong. Memang belum ada jaman itu,” kata Donny. Selain mempelajari teknis produksi, musisi lokal kita juga untuk pertama kalinya mulai mengenal konsep manajerial band dari Deep Purple. Mulai dari fungsi personal manager, tour manager hingga account management. “Kedatangan Deep Purple bagai sebuah revolusi yang membuka mata band-band Indonesia,” tukas Donny lagi.  

 

                                                           * * *

           

Deep Purple mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta pada 2 Desember 1975 dari Australia. Ini merupakan kunjungan perdana Deep Purple dan satu-satunya di Asia Tenggara. Seperti terlihat dalam film dokumenter Untuk Kaum Muda karya sutradara Erfan Agus Setyawan, para personel Deep Purple disambut meriah masyarakat yang setibanya di bandara. Situasinya bagai pahlawan yang baru pulang dari medan perang. Sepanjang perjalanan dari  bandara ke hotel, Coverdale, Hughes, Bolin, Lord dan Paice menerima respon hangat warga masyarakat. Rombongan Deep Purple sendiri berjumlah tiga puluh enam orang yang ditempatkan di dua hotel sekaligus. Para kru menginap di Hotel Sahid Jaya sementara manajer dan para personel ditempatkan di Hotel Mandarin. Salah satu hotel ini nantinya menjadi lokasi peristiwa tragis yang menimpa seorang anggota rombongan mereka.

            Konser Deep Purple hari pertama, 4 Desember 1975, dihadiri sekitar tujuh puluh lima ribu penonton yang datang tak hanya dari Jakarta namun luar kota dan bahkan luar negeri, seperti, Malaysia, Singapura dan Filipina. “Lapangan, tribun atas, tribun bawah dipenuhi lautan manusia. Penonton malah sampai nonton di atap stadion juga,” kenang Donny Fattah. Deep Purple membuka konser hari pertama dengan intro panjang yang segera disusul dengan lagu ngebut “Burn.” Kontan seluruh penonton bersorak-sorai dan merangsek ke depan panggung. Total ada dua belas lagu dalam set list Deep Purple di hari pertama, termasuk di antaranya “Georgia On My Mind,” “Soldier of Fortune” dan “Lazy.”

Menurut laporan ROLLING STONE, konser hari pertama berjalan mulus tanpa represi aparat kepolisian walau ribuan penonton tanpa tiket sempat merubuhkan pagar masuk stadion untuk bergabung dengan penonton lainnya. “Mereka membiarkan saja orang-orang menerobos,” ujar kibordis Jon Lord saat itu. “Ada banyak petugas keamanan bersenjata api di setiap sudut dan mereka sibuk menertibkan para penonton, tapi agaknya tidak ada pengamanan yang terorganisir dari polisi.”

Bagi Deep Purple, konser hari pertama mereka di Indonesia selain heboh juga tragis. Patsy Collins, bodyguard Tommy Bolin, tewas mengenaskan setelah terjatuh dari sebuah lift yang tengah diperbaiki di Hotel Sahid Jaya. Berita tragedi ini berhembus ke seluruh dunia dan bahkan sempat dimuat ROLLING STONE Amerika edisi 29 Januari 1976 dengan judul “Indonesian Nightmare Strikes Deep Purple.” Di sana dijelaskan bahwa: Sekembalinya ke hotel dari venue, Collins yang tengah mabuk sempat beradumulut dengan dua orang kru lain dan pergi ke luar menuju kamarnya. Lift yang membawa dirinya ke atas berjalan pelan dan Collins yang tidak sabar kemudian keluar untuk naik via tangga darurat.

Ternyata pintu keluar tangga darurat terkunci. Di lantai enam ia menemukan pintu lift yang tak terkunci dan tanpa tanda peringatan. Ia dorong pintu tersebut dengan tergesa-gesa dan masuk ke dalamnya tanpa mengecek terlebih dulu. Collins terpelanting dari lantai enam dan menghantam pipa-pipa panas dibawahnya hingga menimbulkan ledakan yang sangat keras. Beberapa kru menyangka sebuah bom meledak di hotel tersebut. Ajaibnya, dengan tubuh penuh darah dan luka bakar Collins dapat berjalan kembali menuju lobi hotel sambil berteriak, “Rumahsakit.” Setibanya di luar hotel ia langsung naik ke sebuah kendaraan dan pingsan. Setelah sempat dirawat, keesokan paginya Collins meninggal dunia akibat luka-luka berat yang dideritanya. Dua orang kru dan tur manajer Robin Cooksey sempat ditahan kepolisian untuk diinterogasi. Walau dalam kondisi duka dan ada yang ditahan, para personel Deep Purple tetap bersikeras melanjutkan pertunjukan.

Konser hari kedua, 5 Desember 1975. Pengamanan dari pihak kepolisian makin diperketat. Sekitar enam ribu polisi anti huru-hara diterjunkan untuk menjaga keamanan konser tersebut. Sebelum konser di mulai, sebuah peringatan berkumandang agar orang-orang Eropa yang menonton konser ini berkumpul di pinggir lapangan demi keamanan. Dalam film Untuk Kaum Muda (terpilih sebagai “Film Dokumenter Terbaik FFI 2004”) juga diperlihatkan segerombolan polisi dibantu anjing-anjing Doberman berada tepat di depan panggung untuk berjaga-jaga.

Ratusan penonton yang sedang berjoget mengikuti musik tampak sibuk menghindar dari terkaman anjing-anjing yang mulai mengamuk. Sebuah pemandangan konser yang sangat tidak manusiawi sebenarnya. Bahkan jika ada penonton yang ‘berdansa kerasukan’ para polisi itu tidak segan-segan untuk menendang dan memukul orang tersebut. Jon Lord ketika diwawancara ROLLING STONE berkata, “Setiap kali ada kerumunan penonton yang berjoget para polisi itu langsung menghajar mereka.” Lord bahkan sempat melihat peristiwa mengerikan ketika seekor Doberman besar milik polisi dengan buasnya menggigit lengan seorang anak kecil.

Deep Purple di hari kedua bermain lebih pendek dari yang dijadwalkan. Mereka tampak ketakutan mengingat situasi dan kondisi dalam stadion yang makin mencekam. “Aparat keamanan makin menggila,” ujar Robin Cooksey, tur manager Deep Purple. “Bagai mimpi buruk yang menjadi kenyataan.” Sementara komentar berbeda datang dari Donny Fattah. Ia dan God Bless yang sempat membuka konser di hari kedua menilai apa yang terjadi di wilayah penonton tidak sebuas yang digambarkan ROLLING STONE.

Menurutnya, klimaks konser hari kedua terjadi ketika “Smoke On the Water” berkumandang. Bagi orang Indonesia, single Deep Purple yang rilis tahun 1973 ini adalah ‘lagu kebangsaan alternatif’. Seluruh penonton pun histeris dan menggila. “Penonton sebenarnya cuma ingin dekat saja dengan idolanya. Memang sempat ada pembakaran kursi tapi itu di tribun bawah, mereka protes karena penonton di tribun atas kencing sembarangan dan mengenai mereka,” ujar Donny yang kini berusia 57 tahun namun tetap sehat dan bugar. Ia menambahkan bahwa Jon Lord juga sempat melakukan solo kibor dengan memasukkan lagu “Burung Kakatua” dan “Padamu Negeri” di show hari kedua. “Denny Sabri yang merekomendasikan dua lagu itu.”

Donny bercerita, ketika God Bless baru saja menuntaskan pertunjukan, ia melihat empat hingga lima buah sedan limosin yang membawa para personel Deep Purple masuk ke dalam stadion dan parkir tepat di belakang panggung. Limosin itulah yang menjadi dressing room Deep Purple selama berada di backstage. Kebetulan Donny dan gitaris Ian Antono secara pribadi sempat diajak Ian Paice untuk menonton konser mereka tepat di belakang set drum miliknya. “Sampai konser habis kami terus berada di panggung, mempelajari segalanya,” kenangnya.

Setelah konser berakhir Donny dan God Bless sempat diajak ke kamar mereka di Hotel Mandarin. Malamnya rombongan Deep Purple dan God Bless menggelar after show party di Diskotik Tanamur. “Kami ngobrol dan minum-minum sampai pagi,” kenang Donny.  Para personel Deep Purple sempat berkata bahwa mereka sangat terkejut dengan respon penonton Indonesia yang luar biasa. “Konser-konser mereka sebelumnya di Australia yang menonton hanya sekitar 3000 orang. Itu makanya mereka surprise banget,” jelasnya. Total diperkirakan jumlah penonton yang menyaksikan konser Deep Purple selama dua hari di Stadion Utama Senayan berjumlah 150.000 orang! Rekor yang bahkan tak tertandingi oleh konser Mick Jagger [70.000] tahun 1988, Sepultura [50.000] di tahun 1992 dan Metallica [100.000] di tahun 1993.

            Menurut Donny Fattah, semua personel Deep Purple walau menyandang status superstar namun tetap ramah kepada setiap orang yang mereka temui. “Cuma David Coverdale yang kelihatan minder untuk nyampur. Ia lebih sering mojok dengan teknisinya. Kalau John Lord, Ian Paice dan yang lain ngobrolnya asik. Like a brother. Mereka juga surprise begitu tahu Indonesia punya band hard rock seperti God Bless.”

Ia juga mengkarifikasi gosip lengan kiri gitaris Tommy Bolin cidera karena kena pelet adalah tidak benar. “Saya lihat sendiri tangan Bolin abses, dia nggak bisa menekuk lengannya. Mungkin karena masih muda, nyuntiknya sembarangan. Kotor dan infeksi.” Tepat setahun kemudian, Desember 1976, gitaris Tommy Bolin ditemukan tewas karena overdosis. Selain itu Donny juga sempat meluruskan ‘mitos’ sebagian wilayah Jakarta terjadi pemadaman listrik untuk menyuplai power bagi konser Deep Purple adalah tidak benar. “Tidak ada pemadaman kok, itu taktik promosi saja.”

 

 

Set List Deep Purple

Stadion Utama Senayan Jakarta

4 Desember 1975

 

  1. Intro
  2. Burn
  3. Lady Luck
  4. Love Child
  5. Getting’ Tighter
  6. Georgia On My Mind
  7. I Need Love
  8. Soldier of Fortune
  9. Solo - Jon Lord
  10. Lazy
  11. Solo – Ian Paice
  12. Lazy (reprise)

Diambil dari ROLLING STONE [Indonesia] edisi Januari 2007

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

IKJ: SCHOOL OF ROCK [Editor's Cut]

LED ZEPPELIN Reunion 2007: The Full Report From David Fricke