BRAINWASHED: Jakarta Underground Magazine (1996 - 1999)




"We are proud hating all commercial shit in the whole mainstream music scene!"


OK, harus diakui slogan majalah diatas sangat naif, butut dan norak sekali hahaha, tapi itulah hakikat sebuah proses pencarian jati diri rock & roll pribadi dulu. Kalo nggak menebarkan kebencian maka kita nggak stand-out dari yang lain di kerumunan, nggak eksis! 😝

Empat edisi majalah musik cadas di atas saya terbitkan secara DIY dulu mulai 1996 - 1999 dan berhasil diselamatkan oleh perpustakaan Morbid Noise milik Nino Trauma (Thanks, No). Total seluruhnya ada 7 edisi yang berhasil diterbitkan secara bertempo (tempo-tempo terbit, tempo-tempo kagak hahaha).

Pada jaman itu banyak banget band rock/metal underground yang bermunculan di Jakarta tapi jarang sekali media massa nasional yang paham musik yang mereka mainkan atau mau meliput band-band ini. 

Alasannya juga karena nama-nama bandnya menyeramkan (Grausig, Corporation of Bleeding, Mortus, Suckerhead, Trauma, Betrayer, Delirium Tremens, Tengkorak, Adaptor, Sadistis, Purgatory, dsb.) dan liriknya kebanyakan membahas umbar darah, bedah perut, mutilasi, pemberontakan politik, kegelapan dan pemujaan terhadap setan bahahaha. 

Jangan lupa saat itu masih jaman Soeharto dan Orde Baru, semua aktivitas pers masih dipantau ketat oleh Departemen Penerangan. Dilarang bikin majalah sembarangan, mesti punya SIUPP, dilarang jualan majalah sembarangan, kalo mau jadi wartawan mesti daftar dan disetujui oleh PWI, bla bla bla....

Mungkin cuma majalah Hai, media nasional yang mau mengangkat kiprah band-band underground ini pada waktu itu. Itu pun masih terbatas kepada yang beken dan punya fanbase besar saja.

Nah, karena dulu kebetulan kuliah jurnalistik di Universitas Prof. DR. Moestopo dan pulangnya sering nongkrong bareng komunitas metal ini di Blok M Plaza, akhirnya banyak berteman dengan band-band tersebut. 

Mulai dari aktivitas tape trading, vinyl (yes, vinyl tapi metal), order T-shirt/CD/majalah, nyetak stiker band/kartu nama band, desain T-shirt, beli gitar, cymbal, efek gitar, rapat gigs, nonton gigs bareng, beli kaset/CD di Aquarius Mahakam, pergi ke Dufan sampe menjalin networking dengan teman-teman di daerah semuanya terjadi di Blok M Plaza lantai 6, tepatnya di dingdong, seberangnya ada California Fried Chicken hehe.

Suatu ketika sewaktu sedang nongkrong disana mendapatkan seorang teman membawa majalah underground serupa dari Bandung, namanya Revograms. Isinya menurut saya sangat keren, selain mengulas berita scene internasional juga menampilkan profil band-band lokal. Selain itu ada juga majalah Mindblast (Malang) dan Megaton (Yogyakarta).

Akhirnya inspirasi untuk bikin majalah sendiri (belum kenal istilah fanzine) lahir di Blok M Plaza itu, tujuannya cuma untuk mendukung eksistensi band-band milik teman-teman sendiri dan sekaligus praktek jurnalistik, sesimple itu aja, gabungan antara hobi dan kuliah. Pengejawantahan slogan "Support Your Local Underground Scene" yang dulu sangat terkenal sekali dimana-mana.

Modalnya edisi pertama dulu cuma Rp 25 ribu, layout manual pake kaca meja ruang tamu, gunting, cutter, Power Glue, software masih Print Master, komputer Windows 3.1, printer dot matrix dan sebuah tape mini compo Sony sebagai penebar irama-irama cadas penyemangat hahaha. 

Belom ada internet, social media apalagi smart phone. Saking noraknya dulu pernah di satu edisi disebutin dengan bangganya kalo "sebagian materi berita scene internasional di Brainwashed ini sumbernya dari INTERNET", ya, ditulis dalam huruf kapital hahaha.

Job descnya mulai dari liputan sendiri, motret sendiri, wawancara sendiri, bikin transkrip sendiri, nulis sendiri, ngedit sendiri, nerjemahin sendiri, proofread sendiri, lay out sendiri, dan terakhir numpang foto kopi di rumah tante dan ngutang, lupa udah bayar atau belum sampai sekarang, hahaha.

Sejak edisi pertama terbit, Brainwashed kemudian banyak menerima respons yang cukup bagus dan luas. Surat pembaca datang dari berbagai daerah, terjauh dari Aceh, Tenggarong (yes, Tenggarong) sampai Timika. Zaman itu order majalah dilakukan melalui surat dimana uang berikut ongkir diselipkan ke dalam kertas karbon atau melalui wesel, yes, wesel. Masih ada nggak ya layanan kirim wesel sekarang ini? Hahaha.

Kantor pos dan tukang foto kopi menjadi kantor saya sehari-hari saat itu, malah kayaknya lebih banyak beredar disana daripada di kampus atau kelas-kelas perkuliahan hahahaha. 

Saat itu juga sudah sering diajak meliput sama band-band underground ini ketika mereka menggelar tu konser ke luar kota, yang paling sering ke GOR Saparua (Bandung) dan yang terjauh meliput ke festival Total Uyut di Denpasar, Bali. Sempat juga ke Yogyakarta, Solo, Surabaya dan Malang. 

Semuanya bukan naik pesawat, belom ada low cost carrier waktu itu, kalo nggak bus AKAP, kereta ekonomi atau gabungan epik ketiganya. Misalnya sewaktu ke Bali, naik kereta ekonomi 12 jam ke Lempuyangan Jogja, pindah kereta lanjut ke Gubeng Surabaya selama 6 jam, lanjut lagi 5 jam sampai Banyuwangi, turun pindah ke bus kota, nyeberang 1 jam naik ferry ke Gilimanuk, naik bus kota lagi selama 4 jam sampai Denpasar. Pantat pun tepes dengan sukses.

Di festival yang digelar di daerah-daerah tersebut saya banyak memantau perkembangan scene mereka masing-masing, nonton band-band lokal yang keren-keren (salah satunya adalah Superman Is Dead di tahun 1996), bertemu teman-teman baru, membuka jaringan baru, saling membeli/barter majalah, CD, kaos keluaran masing-masing, mewawancara mereka, dan sebagainya. Harus diakui scene musik underground Indonesia itu dari dulu pun sudah sangat keren, teman-teman.

Akhirnya setelah mencetak edisi kelima (cover zombie) secara profesional (berkat bantuan dana dari seorang kawan baik yang menjadi TKI di Timur Tengah), di pertengahan 1997 krisis moneter mulai menerjang ke Indonesia. Rupiah anjlok. Semua harga mendadak meroket termasuk harga kertas dan ongkos cetak. Banyak  perusahaan bangkrut, pegawai dipecat, terjadi ledakan pengangguran. Keresahan dan kecemburuan sosial terjadi dimana-mana, di dalam bus kota setiap pergi dan pulang kampus saya merasakan kegelisahan itu.

Akhirnya pada edisi ke-6 Brainwashed yang kembali terbit foto kopi saya mulai berani memasukkan wacana-wacana yang baru, membahas bobroknya rejim Soeharto-Orde Baru dan menyerukan pemberontakan demi terciptanya revolusi sosial hahaha. Musik underground seperti menikah dengan pergerakan politik underground yang diusung oleh gerakan mahasiswa di kampus-kampus Jakarta saat itu.

Forum diskusi atau kurpol-kurpol yang sejak pertengahan 97 sering  saya hadiri di kampus dan diinisiasi oleh para aktivis pro-dem akhirnya berhasil mencuci otak menjadi seorang nasionalis yang progresif dan revolusioner (Moestopo memang terkenal sebagai basis kaum Nasionalis). Di atas panggung ketika ngeband dengan band punk rock Bad Religion saya saat itu (Genius Crime), saya mulai mengumbar orasi politik yang intinya berkoar-koar menurunkan Soeharto, waktu itu masih jarang band orasi kayak begitu hahaha.

Setelah terlibat di gerakan pers mahasiswa Media Publica dan FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta) saya pun akhirnya sering terjun di dalam berbagai demonstrasi anti-Orba yang saat itu marak digelar di berbagai kampus. Saya sempat mundur dari band dengan alasan untuk fokus berdemonstrasi, dua personel lainnya bingung dan mikir saya sudah gila karena nekat melawan Soeharto.

Akhirnya semua aktivitas nerbitin majalah dan ngeband praktis berhenti sejak 1997-1998, termasuk juga kuliah berhenti walau sering berkeliaran di kampus tapi lebih sering ikut rapat gerakan dibanding ikut perkuliahan dosen hahaha. 

Semuanya jadi gak penting saat itu, yang penting cuma satu: Gimana caranya menurunkan Soeharto, presiden yang tangannya penuh darah dan telah berkuasa secara otoriter selama 32 tahun! Dan ajaibnya, setelah nginep seminggu di Gedung MPR/DPR, Soeharto pun berhenti! 

Mahasiswa sempat menyesalkan Soeharto turun dengan cepatnya karena ini artinya mereka harus kembali masuk kelas untuk kuliah lagi hahahahahaha...

Komentar

  1. hahaha, keren bang !

    BalasHapus
  2. pantes Kukar bisa ngadain acara festival gede yg berujung masalah dgn Testament kmaren, ternyata ada pelanggan majalah rock underground sampeyan, salut!

    BalasHapus
  3. Menarik! Cerita kayak gini nih yang selalu menarik untuk dibaca :)

    BalasHapus
  4. Sangat inspiratif. Jadi tertarik nulis juga deh hahaha

    BalasHapus
  5. Sangat inspiratif. Jadi tertarik nulis juga deh hahaha

    BalasHapus
  6. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  7. Apakah masih ada magazine tersebut? yang bisa saya beli

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

IKJ: SCHOOL OF ROCK [Editor's Cut]

LED ZEPPELIN Reunion 2007: The Full Report From David Fricke