KCI, PAPPRI Vs Manajer Artis


Selasa kemaren (4/12) teman-teman manajer artis dari The Titans, The Brandals, Bondan & Fade To Black, Netral, The Upstairs, Ecoutez, Gamma, Iwa K, Soul.Id, dsb bertemu dengan rekan-rekan dari KCI dan PAPPRI atas gagasan Mr. Puput Netral. Awalnya pertemuan bakal digelar di Rolling Stone tapi karena musim panas melanda belakang kantor maka pertemuan digeser sedikit ke Restoran Ampera di depan RS. 

Dari KCI (Karya Cipta Indonesia) sendiri hadir Hein Enteng Tanamal (Chairman) dan Memet (Dept Distribusi & Keanggotaan KCI) sementara mewakili organisasi PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia) adalah James F. Sundah serta lawyer KCI Guntur Fattahillah dari M. Mahendradatta Law Firm. Hadirnya Enteng dan James sebenarnya diluar dugaan mengingat Enteng adalah salah satu pendiri KCI dan James adalah aktivis PAPPRI yang juga pembela hak-hak musisi sejak jaman lawas.

Agenda pertemuan kemaren sebenernya lebih mirip "forum klarifikasi" dan sosialisasi tentang apa itu KCI & PAPRRI dan mengapa citra KCI rusak berat setelah dituding organisasi illegal, tukang palak yang sarat premanisme. Sayang sekali banyak teman-teman manajer artis yang berhalangan hadir kemarin karena selama 3,5 jam itu `pencerahan' yang datang dari Enteng dan James ternyata penting banget untuk diketahui kita semua sebagai pihak yang paling berkompeten untuk melindungi hak-hak artis, khususnya dalam hal royalty yang di dapat dari performing rights.

Seperti kita tahu selama ini artis-artis musik/pencipta lagu di Indonesia hanya menerima royalty dari penjualan album rekaman (CD, kaset, VCD, RBT, dsb) yang diberikan oleh label rekaman sesuai laporan penjualan. Biasanya disebut sebagai Mechanical Rights. Diluar itu pendapatan lainnya adalah dari fee manggung, iklan, merchandise dan sebagainya. Padahal sebenarnya ada satu lagi sumber pendapatan artis yang sangat besar bisa didapatkan, yaitu dari royalty yang datang dari Performance Rights.

Performance Rights pengertian bebasnya adalah hak untuk menampilkan/memutar/menyiarkan musik kepada publik. Dan untuk usaha bisnis komersial (stasiun radio, TV, karaoke, hotel, bar, café, EO/Promotor, dsb) yang menyiarkan musik itu tadi mereka diwajibkan membayar royalty kepada para pencipta lagu. Kenapa wajib? Karena secara hukum ini sudah diatur dalam UU Hak Cipta RI No.19/2002. Tidak membayar royalty berarti melanggar hukum, kira-kira begitu.

Untuk dapat mengcollect royalty dari performing rights ini memang tidak perlu bergabung dengan KCI, siapapun dapat melakukannya sendiri. Tapi menurut Enteng Tanamal, pernah ada kejadian tiba-tiba serombongan pencipta lagu Batak menagih royalty ke Hotel Borobudur yang menurut mereka telah memutarkan lagu-lagu Batak tanpa membayar royalty ke mereka setiap tahunnya. Hasilnya mereka akhirnya membayar untuk tahun itu tapi ke depannya manajemen hotel kemudian melarang semua lagu-lagu Batak untuk diputar di Hotel Borobudur. Ini artinya jika kita mencoba untuk mengcollect sendiri royalty tersebut tanpa dasar hukum yang jelas maka bakal sangat konyiol kejadiannya.    

Karena satu-satunya collecting society yang ada di Indonesia hingga sekarang hanya KCI makanya para pencipta lagu di Indonesia sementara ini hanya bisa menarik royalty apabila telah mendaftar menjadi anggota KCI. Enteng Tanamal menjelaskan bahwa KCI yang dibentuk sejak tahun 1990 ini merupakan organisasi resmi Non-Profit yang didukung oleh Pemerintah RI (via Tim Keppres 34 yang diketuai Moerdiono waktu itu) dan lembaga collecting society internasional CISAC yang beranggotakan 158 organisasi dari 86 negara di seluruh dunia.

Sedangkan PAPPRI yang dibentuk tahun 1986 merupakan salah satu organisasi profesi artis/pelaku musik yang ikut mendirikan KCI. Awalnya PAPPRI yang tadinya ingin mengcollect royalty dari performing rights namun karena berbeda fungsi mereka tidak diizinkan oleh CISAC untuk melakukan itu. CISAC mensyaratkan harus dibentuknya sebuah badan otonom lagi untuk itu.

Hingga sekarang anggota KCI yang berasal dari Indonesia ada sekitar 2.500an pencipta lagu, di antaranya adalah Eross SO7, Ahmad Dhani DEWA, alm. Chrisye, alm. Ismail Marzuki, Bagus Netral, Gesang, dsb. Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono sendiri belum lama ini setelah merilis album juga telah resmi menjadi anggota kehormatan PAPPRI dan KCI.

Dari luar negeri sendiri ada sekitar 2 juta pencipta lagu internasional yang tergabung dalam CISAC memberikan kuasa kepada KCI untuk mengcollect royalty performing rights mereka di Indonesia. Itu makanya lagu-lagu asing apapun yang disiarkan/diputar di Indonesia berhak dikutip royaltinya oleh KCI karena mereka memang telah mendelegasikannya.

"Presiden SBY sangat mendukung KCI & PAPPRI. Setelah bergabung dengan PAPPRI, Presiden berjanji akan segera menerbitkan Peraturan Pemerintah baru yang mengatur Tata Niaga Industri Musik. Regulasi ini nanti akan sangat menguntungkan bagi para musisi dan pencipta lagu karena merupakan tindak lanjut dari UU Hak Cipta No.19/2002 yang sampe sekarang belum punya Peraturan Pemerintah sebagai aturan main pelaksanaannya," kata James F. Sundah.

Berikut kutipan berita dari koran SUARA MERDEKA (23 Oktober 2007):

"SBY ketika menerima jajaran PAPPRI mengatakan, peraturan pemerintah (PP) tentang restrukturisasi tata niaga industri musik Indonesia akan segera diterbitkan. Presiden juga mengistruksikan kepada Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan, Menteri Keuangan, Menkum dan HAM serta menteri terkait lainnya untuk segera berkoordinasi dalam rangka mempercepat proses restrukturisasi tata niaga industri musik Indonesia sebagai implementasi dari UU No 19/2002 tentang Hak Cipta."

Yang menarik lagi menurut James F. Sundah, rekaman CD milik SBY yang dirilis belum lama ini menggunakan sistem coding yang dapat mendeteksi sumber pembajakan. Sayangnya, label-label rekaman besar hingga sekarang menolak untuk menggunakan coding tersebut.

"Album rekaman Presiden itu menggunakan sistem pendataan dan controlling royalty (Pappri Coding Musik Indonesia). Sistem ini menjamin secara transparan besaran royalti dari pemilik hak cipta dan hak terkait lainnya seperti, pencipta lagu, penyanyi, penata musik, dan produser sebagai pemilik hak master rekaman." (SUARA MERDEKA (23 Oktober 2007))

Sempat ada pertanyaan menarik juga dari Andre Opa (manajer The Titans) tentang proses penarikan royalty yang dilakukan oleh KCI. Enteng menjawab bahwa KCI hanya akan mengcollect royalty atas lagu-lagu yang telah didaftarkan oleh para penciptanya ke KCI. "Kalo penciptanya tidak memberikan kuasa kepada kami untuk mengcollect royaltinya maka KCI sangat tidak berhak memungutnya," ujar Enteng. Penghitungan nilai royaltinya sendiri didasarkan pada besar-kecilnya "penggunaan" atas lagu-lagu tersebut oleh pusat-pusat bisnis/hiburan dan bukan pada level popularitas artis atau nama besar artisnya.

The Titans sendiri, menurut Opa, hingga kini belum bergabung dengan KCI karena merasa belum jelas mekanismenya tapi setelah dipikirkan ternyata kerugiannya justru ada di pihak artis yang kehilangan sumber income sangat potensial diluar pemasukan yang sudah ada dari royalty rekaman atau fee manggung. Minimal tempat-tempat bisnis komersial yang sering memutar/menyiarkan lagu-lagu dari The Titans secara otomatis bisa terbebaskan dari kewajiban membayar royalty.

James F. Sundah juga sempat memberi contoh yang menyayangkan para pencipta lagu di band Samsons tidak ada yang bergabung dengan KCI. Padahal dengan popularitas lagu-lagunya yang berkumandang di pelosok-pelosok Indonesia (khususnya di tempat bisnis komersial) sebenarnya mereka berhak mendapatkan royalty sangat besar dari performing rights tersebut. Dan jumlahnya sangat besar sebenarnya karena lagunya sangat populer.

Analogi gampangnya, penjualan album rekaman itu pasti ada batas waktunya terkait dengan promosi dan level popularitas lagu/albumnya. Dampaknya, royalty dari penjualan rekaman udah pasti menyusut pula. Tapi ini bukan berarti musik-musik dari album-album tersebut akan berhenti diputar/disiarkan oleh stasiun radio, TV, karaoke, bar, café, resto fast food, dsb.

Jadi jika lagu-lagu tersebut terus diputar orang sepanjang masa maka royalty yang didapat dari KCI ini bisa berfungsi bagai "dana pensiun tahunan" bagi para musisi. Enteng mencontohkan bahwa dari lagu "My Way" saja setiap tahunnya Paul Anka menerima royalty sebesar US$ 20 Juta. Bayangkan berapa royalty yang didapatnya dari hits-hits yang lain? Seperti "Diana", "Put Your Head On My Shoulder"? Pasti sangat besar dan membuatnya tetap kaya raya hingga sekarang.

Menurut Enteng, bandingkan dengan ahli waris Ismail Marzuki yang telah menciptakan 250 lagu legendaris sepanjang hidupnya seperti "Rayuan Pulau Kelapa," "Gugur Bunga," "Sepasang Mata Bola," namun ternyata hanya menerima Rp. 80 juta saja per tahunnya. Tak heran makanya artis-artis tua kita yang legendaris kini hidupnya hanya pas-pasan atau bahkan melarat.

Menurut James, untuk ukuran legenda seperti alm. Chrisye yang album-albumnya berkategori evergreen dan multi-platinum, seharusnya ketika ia sakit dulu tidak perlu lagi dibuatkan Pergelaran Malam Amal atau ngamen-ngamen untuk mencari dana pengobatan. Jika ia kaya raya maka ia dapat dengan mudah membayar semua biaya pengobatan, berapapun besar nilainya. Ini sangat menyedihkan pastinya.  

Enteng juga menjelaskan bahwa royalty yang berhasil dicollect oleh KCI setiap tahunnya itu sekitar Rp. 10 miliar, jauh lebih kecil dari organisasi seperti KCI di Malaysia yang berhasil mengumpulkan Rp. 60 miliar. Padahal Malaysia hanya berpopulasi tidak sampai 20 juta jiwa dan industri musiknya juga jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia. Rendahnya kesadaran masyarakat bisnis komersial untuk membayar royalty dari performing rights ini menurutnya adalah penyebab utama.

Teman-teman manajer artis sendiri kemarin juga berada dalam posisi sangat kritis ketika bertemu pihak KCI & PAPPRI. Mereka menilai KCI tidak pernah mensosialisasikan atau melakukan kampanye tentang performing rights ini kepada para musisi/artis musik/pencipta lagu. KCI bisanya hanya sibuk sendiri saja. KCI hanya sibuk melobby pihak-pihak bisnis komersial agar mau membayar royalty atau tiba-tiba mengcollect uang tanpa menjelaskan terlebih dulu seperti apa konsep dan cara kerja KCI. Belum lagi hal aneh yang membuat sebuah tagihan royalty yang telah dihitung dengan metode tertentu ternyata bisa ditawar (negotiable) dengan mudahnya kepada agen KCI.

Masalah pertanggungjawaban laporan keuangan yang tidak pernah dipublikasikan ke publik atau anggota KCI juga sempat menjadi tanda tanya besar bagi semua. Padahal di organisasi serupa di luar negeri para anggotanya dapat dengan mudah mengakses laporan keuangan dan mempertanyakan besar kecilnya royalty yang diterima secara transparan. Akhirnya ketidakpercayaan musisi/pencipta lagu yang sangat besar kepada KCI membuat organisasi ini bagaikan menara gading, asyik sendiri saja dan malah ditinggalkan atau dicuekin oleh para artis/pencipta lagu yang potensial dan tengah populer belakangan ini.   

Belum lagi banyaknya rumors tentang penagihan-penagihan royalty yang dilakukan oleh agen-agen KCI kepada pihak bisnis yang sering memaksa, dengan kekerasan hingga tak ubahnya pungli atau pemalakan.

 Enteng Tanamal sendiri mengakui kelemahan-kelemahan KCI di lapangan yang "oknum-oknumnya" melakukan cara-cara kekerasan/pemaksaaan sewaktu mengcollect royalti. "Kami banyak dapat pengaduan seperti itu dari masyarakat dan kalo terbukti biasanya langsung  kami singkirkan," ujarnya.

Ia juga menyesalkan awamnya pengetahuan masyarakat bisnis dan aparat penegak hukum tentang performing rights adalah juga kendala. Para manajer artis kemudian menjawab bahwa tidak pernahnya dilakukan sosialisasi terhadap masyarakat tentang hal ini akhirnya membuat KCI sering dituding sebagai organisasi kriminal. Jadi jangan disalahkan dulu masyarakatnya tapi yang terpenting benahi dulu kinerja dan sosialisasinya lalu buktikan prestasinya KCI.

Terlepas dari pengakuan Enteng tentang kelemahan-kelemahan KCI, menurutnya memang ada upaya-upaya terorganisir untuk mendiskreditkan KCI dari pihak-pihak tertentu yang tidak ingin melihat kesejahteraan artis/pencipta lagu meningkat di Indonesia. Ia menilai label-label rekaman saat ini sangat serakah hingga mereka berupaya sekuat tenaga menggemboskan peran KCI dalam menjaga hak para musisi/pencipta lagu.

Salah satu caranya adalah industri rekaman sampai mengeluarkan surat pernyataan dari artis-artis di label rekaman besar yang isinya menyatakan kalau mereka tidak tergabung menjadi anggota KCI. Padahal karena statement aneh ini yang rugi nantinya bukan label rekaman tapi justru artisnya sendiri yang kehilangan salah satu sumber mata pencarian potensial dari performing rights royalty.

Menurut James F. Sundah, ada kabar gembira pula yang datang dari KCI mengenai Ring Back Tone yang dikelola oleh Telkomsel. Jika selama ini artis-artis di label rekaman besar hanya menerima royalty sebesar 3% dari setiap RBT yang di download, maka nantinya artis akan menerima jumlah yang jauh lebih besar dari sekarang. Bahkan bisa sampai 30%.

James menjelaskan bahwa kontrak kerjasama antara Telkomsel dengan major label di Indonesia akan segera berakhir bulan Desember ini. Kemungkinan besar tidak akan diperpanjang. Dan pihak Telkomsel telah mengakui kekeliruan mereka selama ini dan menyatakan akan bekerjasama dengan KCI atau para pencipta lagunya langsung jika ingin menggunakan hak cipta sebuah lagu.

Telkomsel hanya akan bekerjasama dengan label-label rekaman khusus bagi RBT-RBT yang menggunakan materi lagu dari master rekaman milik label. Diluar itu adalah wewenang para pencipta lagunya langsung atau wewenang KCI jika seorang musisi telah memberikan kuasanya kepada KCI untuk mengcollect.

Info lebih lanjut tentang KCI:

www.kci.or.id

www.cisac.org

 

=================

Sekilas PAPPRI

PAPPRI yang lahir tanggal 18 Juni 1986 lewat gagasan para pencipta lagu yang sehari-hari berkumpul di sentra para seniman musik rekaman (Glodok), awalnya merupakan singkatan dari 'Paguyuban Artis Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia'. yang hadir pada proses munculnya gagasan tersebut diantaranya: Wedhasmara, Ithinx, Ferdy Ferdian, Yonas Pareira, Chacken M, Darma Oratmangun, Freddy Sasabone, Arie Wibowo dan Franky Sahilatua serta puluhan pencipta lagu lainnya.

Sebelum proses notariat pada 27 Februari 1987, kepanjangan PAPPRI diubah menjadi 'Persatuan Artis Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia', yang ditunjuk sebagai ketua untuk yang pertama kali yaitu H. Enteng tanamal, setelah dikonsultasikan dengan Bapak H. Eddy Sud selaku sesepuh seniman pada saat itu.

Setiap 4 (empat) tahun sekali secara konsisten PAPPRI mengadakan kongres sebagai amanat organisasi. Kongres I (1990) terpilih lagi H. Enteng Tanamal sebagai Ketua Umum. Pada Kongres II (1994) dan Kongres III (1998) giliran Bapak H. Tb. Sadikin Suchra yang memimpin PAPPRI selama 2 (dua) periode.

Kemudian pada Kongres IV (2002), Sdr. Dharma Oratmangun dipercaya oleh seluruh majelis kongres Ketua Umum dengan sistem pemilihan langsung yang sangat demokratis.

Sebagai wadah para praktisi musik rekaman, berbagai hal telah diperjuangkan PAPPRI untuk kepentingan para anggota PAPPRI khususnya dan seniman musik pada umumnya. Diantaranya PAPPRI membentuk lembaga Collecting Society yang kita kenal dengan Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI), Koperasi Seniman Musik Indonesia (KOSMINDO), kontribusi dalam penggodogan RUU Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 dan berbagai upaya perlindungan hukum bagi para anggotanya. termasuk 'hari Musik Indonesia' yang didedikasikan untuk insan musik dan bangsa Indonesia.

Semuanya dilakukan dengan cara-cara konstitusional dan formal organisatoris tanpa mengabaikan kepentingan pihak lain terutama yang berkaitan dengan industri musik di negeri ini. Lobi-lobi internasional juga dilakukan untuk kepentingan persiapan musik Indonesia menuju 'go-global'. Termasuk lobi-lobi dengan pihak pemerintah melalui RDPU dengan DPR RI dan menteri-menteri terkait bahkan dengan Presiden RI sekalipun. Apapun yang dilakukan PAPPRI, tak lain semata-mata bagi kepentingan segenap insan musik Indonesia dan berupaya menjadikan musik sebagai perekat dan pemersatu bangsa.

Salam PAPPRI! Salam Musik Indonesia! Kita Semua Satu!

 ==================

Ini yang sekarang tengah diperjuangkan PAPPRI:

Presiden Janjikan PP Tentang Royalti Segera Diterbitkan

Jakarta, Pelita (2/10/2007)


Peraturan Pemerintah (PP) tentang besaran royalti dan kontrol teknologi terhadap menejemen hak pencipta musik akan segera diterbitkan dalam waktu dekat, sebagai implementasi dari Undang-Undang (UU) No 19/2002 tentang Hak Cipta.

Pembuatan PP itu telah dijanjikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebegai implementasi UU No 19/2002 tentang hak cipta, ujar Ketua Umum Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia (Pappri) Drs Dharma Oratmangun Msi, saat menemui Dewan Penasihat Pappri HR Agung Laksono di ruang kerja ketua DPR, Selasa (2/10), dalam rangka persiapan pengukuhan pengurus Pappri periode 2007-2011.

Dikatakanya, pembuatan PP tentang besaran royalti dan control teknologi terhadap menejemen hak cipta tersebut sudah lama dinantikan, karena berkaitan langsung dengan upaya restrukturiasi industri musik rekaman Indonesia.

Sebagai Ketua Umum Pappri saya berterimakasih kepada presiden yang sudah merespon keinginan Pappri untuk segera menerbitkan PP tersebut, demi perbaikan nasib seniman musik dan industri musik rekaman Indonesia, ujar Dharma Oratmangun yang saat itu juga didampingi Ketua Badan Anti-Pelanggaran Hak Cipta Pappri Fredy Sasa dan pencipta lagu Rame-rame, Georgia Leiwakabassy.

Dikatakannya, untuk percepatan penerbitan PP itu presiden menyarankan kepada Pappri untuk segera mengkoordinasikannya dengan menteri-menteri terkait, seperti Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Hukum dan HAM.

Atas instruksi presiden itu saya langsung menghadap Menkum dan HAM Andi Matalatta, Dirjen HaKI Andi Someng, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian. Pada prisipnya para menteri itu mendukung keinginan presiden yang akan membuatkan PP tersebut, ujarnya lagi.

Sambut baik

Dalam pertemuan itu pula lanjut Dharma, menteri perindustrian meminta kepada Pappri untuk menyiapkan draft sistem controlling teknologi menejemen hak cipta untuk kemudian dikoorninasikan dengan berbagai departemen terkait.

Dewan Penasihat Pappri HR Agung Laksono juga menyatakan menyambut baik respon presiden tersebut, karena dengan kelahiran PP tersebut industri musik Indonesia akan tertata dengan baik dan royalti para pemilik hak cipta akan dibayarkan sesuai peraturan yang berlaku.

Sebagai Ketua DPR, saya senantiasa mendorong percepatan penerbitan PP tersebut. Kalau pemerintah menjalankan UU dengan baik, maka fungsi kontrol DPR akan dapat mensuport pemerintah dalam melakukan restrukturisasi indistri musik, ujar Agung seperti ditirukan Dharma.

Dikatakannya, untuk draft yang diminta Departemen Perindustrian itu Pappri sudah sangat siap, karena Pappri sudah melakukan studi banding ke sejumlah negara, seperti Jepang, Belanda dan Pappri juga sudah punya kajian-kajian lain seputar hak cipta dan kontrol teknologi tersebut.

Dikatakannya, penerbitan PP tersebut memiliki dua arti penting bagi Pappri, yaitu, pertama upaya penataan industri musik rekaman Indonesia melalui restrukturisasi itu tidak lagi sekedar wacana, tetapi menjadi kenyataan dan hak para pencipta lagu akan dibayarkan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kedua, PP tersebut diharapkan sudah dapat efektif saat peluncuran sejumlah lagu ciptaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang saat ini sedang digarap oleh Pappri, selaku pihak yang dipercayakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengelola produksi, penjualan dan royaltinya.

Lagu-lagu karya cipta Presiden Yudhyono itu bagus, dan memenuhi syarat dengan sentuhan pop. Karya presiden itu menjadi karya cipta lagu pertama yang masuk dalam strukturisasi perindistrian musik rekaman Indonesia.
Kita harapkan model royalti yang nanti kita terapkan sesuai dengan UU, harapnya.

Dijelaskan Dharma lagi, bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menyerahkan kepada Pappri untuk mengelola royalty lagu-lagu karya ciptanya itu, untuk kepentingan sosial, seperti untuk bantuan bagi anggota Pappri serta untuk kegiatan peningkatan mutu Pappri.
(kh)

Komentar

  1. bang wenz... tulisannya banyak banget :)... bingung... hehehe... tapi thx banget buat share edukasinya... biarpun saya bukan manajer band... semoga banyak manajer2 band yg bisa dapet ilmu dari sampeyan ya... masi banyak lho yg belum paham jadi manajer artis/band :)

    BalasHapus
  2. postingannya panjaaaaaaaannnggg...
    tapi berisi dan nambah nutrisi.
    hihihihihihihi...

    BalasHapus
  3. satu lagi tulisan bagus dan edukatif dari Mr. Wenz Rawk

    Terima kasih..

    BalasHapus
  4. Satu yang selalu menggelitik pemikiran gue, apakah performing right ini bisa detail diterima dengan laporannya untuk band yang self released seperti gue? Apakah mereka punya piranti untuk melakukan pencatatan sedetail itu? Harusnya, band kecil model band gue sama band model Peterpan kan sama ya perlakuannya? Nah, apakah mereka bisa menjamin itu?

    Kalo bisa enak. Jadi misalnya gue hanya terima Rp.50.000,00/ tahun pun gue masih terima reportnya. Tapi kan, secara logika dan kenyataan agak sulit diterima ya?

    BalasHapus
  5. Performance rights mekanismenya masih amburadul disini, karena belum populernya music publishing yang menaungi musisi itu sendiri. Kalo diluar sana, setiap musisi bahkan punya publishing sendiri, yang memantau performance rights, dan mereka yang mencatat siapa aja yang memainkan lagu2 dibawah publishing dia dan sekalian urusan royalti. Misalnya semua lagu yang ditulis Slash dinaungi sama Dik Hayd Music atau Gilby punya Duck Pond Publishing, begitu Slash mainin lagu Gilby atau sebaliknya *kecuali yang ditulis berdua* , 2 publishing ini udah ngurus pembagiannya. Nah kalo disini? KCI jadi kayak debt collector :)) bahkan lagi kena sue PAMMI ya.. gara2 disuruh berhenti collecting dari 2005 tp tetep aja collects.. jadinya eker2an di Mabes Polri..

    Bung Wenz, ada gak info yang bisa di share, seperti apa kira2 mekanisme dan pentingnya Music Publishing buat temen2 yang berkecimpung di industri musik, siapa tau bisa berguna..

    BalasHapus
  6. wenz...tulisannya bagus...
    numpang ngopy and nge-link ya...

    BalasHapus
  7. Jadi ribet gini ya?
    KCI, PAPPRI, KAMMI dan lain-lainnya sebenernya dibentuk buat apa sih?

    Gua juga pengen bikin bisnis kayak gini ah. nanti gua kasih nama

    Komite Download MP3 Yang Mengedarkan Musik-Musik Tanpa Harus Bayar Mahal (KDMP3YMMMTHBH)

    Caranya gampang:
    1. Lo kasih kita CD Kosong (atau lo bisa beli sama kita, 1 keping kita jual 3000)
    2. Lo kasih kita uang 3000 (Ini buat ganti ongkos burn & buat beli kopi plus 2 batang rokok yang akan kita pake buat nunggu MP3 yang lu pesen, biar kita nggak bosen)
    3. Lo bisa milih mp3 yang lo mau.

    Tapi jujur aja wenz, tulisan lo selalu bagus, dan kalo gua beli RS yang gua baca tulisan lo dulu, yang laen belakangan.

    Hehehehehhehe

    BalasHapus
  8. Wen, tulisan bagus nih. Minta ijin untuk share di account gw. Terima kasih.

    BalasHapus
  9. Bung Wenz,

    Saya kepingin tahu, namanya Chacken M apa sih yang lengkap?
    Ada yang bilang itu Chacken Matulatua, ada yang bilang Chacken Manusama.
    Apa yang benar?

    Salam,
    Ralph

    BalasHapus
  10. Salam Bung Wenz...

    Tulisan ini sungguh sangat menarik dan menurut saya akan sangat bermanfaat untuk banyak pihak terutama pihak musisi dan pemerintahan yang terkait. Menurut saya PAPPRI dan YKCI saat ini masih dalam proses pembelajaran yang sangat berharga, karena bagaimanapun juga kegiatan yang mereka lakukan itu tidak bisa mereka lakukan sendiri. Disini perlu sentuhan kesadaran dari berbagai pihak, contohnya kesadaran dari para pemilik bisnis yang memang harus membayar performing rights. PAPPRI dan YKCI kelak akan bisa menjalankan sistem dengan benar apabila pemerintah sudah membuatkan UU yang kuat, pebisnis sudah tidak melakukan penawaran pembayaran performing rights (royalti bukan untuk ditawar), dan musisi pun secara sadar mendukung dengan cara mendaftarkan lagunya ke YKCI serta terus ikut mengkampanyekan visi dan misi PAPPRI dan YKCI ke seluruh rekan-rekan musik lainnya. Jadi kesimpulan saya setelah membaca ulasan yang menarik dari Bung Wenz ini adalah bahwa PAPPRI dan YKCI sangat perlu didukung oleh semua pihak, termasuk kepolisisan (eker2an karena mungkin kepolisian merasa atensinya terganggu dengan adanya collecting dari YKCI) dan juga semua unsur masyarakat yang terkait - sampai kepada para pembeli karya rekam untuk tidak membeli karya bajakan. Ini sangat berat tetapi harus tetap dihargai sebagai sebuah proses, mari kita dukung PAPPRI dan YKCI - jika bukan kita yang menikmati mari kita perjuangakn untuk anak cucu kita :). Tks Bung Wenz....

    Dadikz from http://solusimusik.com

    BalasHapus
  11. vavirvul_e-2000 Joshua Ramu There
    software
    obprazbercand

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

IKJ: SCHOOL OF ROCK [Editor's Cut]

LED ZEPPELIN Reunion 2007: The Full Report From David Fricke