120 Jam di Sorong… Was So Wrong!

Saya baru saja kembali dari sebuah perjalanan demi assignment paling gila dalam sejarah. 120 jam di Sorong. Yep. Exaggerating. Selalu menarik terjadi dalam blog semua orang :)

Begini ceritanya....

Ketika semua orang baru akan mulai libur pada 20 Desember lalu, maka saya telah memulai ”liburan” pada 17 Desember dengan terbang ke Sorong, Papua Barat (yes, dulunya bernama Irian Jaya, in case nilai Geografi kalian dulu teramatlah buruk hehe). Sorong yang sering disebut sebagai ”Kota Minyak” itu letaknya berada di paling ujung bagian kepala burung di Papua.

Seumur hidup saya belum pernah berangkat ke pulau paling timur yang satu ini. Mungkin persepsi kalian sama dengan saya sebelumnya. Papua = Koteka, tribal, black people wears nothing! :) Mudah-mudahan kalimat tersebut tidak bermakna ”libel” atau insulting :)  Terus terang assignment ke sana sangat jarang terjadi mengingat tak banyak band mainstream (apalagi indie) yang diterjunkan ke sana untuk tur konser.

Saya pun merasa tertantang untuk mengambil tawaran tidak populis Deputy Managing Editor Adib Hidayat untuk meliput konser di obscure places seperti ini. Secara insting jurnalistik saya berkata, ”Konser siapa saja di Papua pasti bakal sangat menarik untuk diberitakan karena berbagai ketidakpastian situasi dan kondisi di sana.” Padahal kadang-kadang insting jurnalistik itu cenderung sok tahu dan menipu sebenarnya hehe. Penyesalan selalu datang terlambat bukan 
:)

Sebelum saya, partner kerja saya Hasief sempat berkunjung ke Papua bersama Slank di tahun 2005. Jika ia ke Jayapura maka saya diterjunkan ke Sorong bersama Samsons. Dari pengalaman dia dan orang-orang sebelumnya yang sempat saya baca di blog, rata-rata mereka semua malas bermasalah dengan Malaria.

Penyakit iklim tropis yang dulu ketika SD dalam HPU disebut-sebut disebarkan oleh nyamuk Anopheles ini kabarnya setiap tahun merenggut 1 juta nyawa manusia di seluruh dunia, tentunya termasuk di Indonesia! Dan menjadi penggenap satu juta bukanlah tujuan hidup saya pastinya.

Mati karena nyamuk jelas sebuah kesia-siaan yang tolol belaka, sangat tidak keren. Makanya sehari sebelum terbang ke Papua saya menyempatkan diri berbelanja ke Apotik Jaya untuk membeli Pil Kina.

Si Mas Apjay bilang kalo mereka nggak punya stok Pil Kina tapi ada penggantinya yang lebih modern, namanya Resochin. Hehe. Apapun itu yang pasti harus Anti-Malaria khasiatnya. Matur nuwun Junghuhn!

Bukan bermaksud exaggerating, tapi ini dibenarkan oleh seorang perwira TNI AL bernama GOLKAR yang saya temui di depan Hotel Comfort Sorong bahwa ”...seluruh wilayah di Papua ini masih terancam Malaria.” Aldri (bassis Samsons) dan Erik (gitaris Samsons) yang sesampainya di Sorong saya beri Resochin masing-masing sebutir akhirnya hanya tersenyum mendengar komentar Pak Golkar. Senyum yang seakan berkata, ”Haha. Kami sudah meminum penangkalnya!”

Senyum itu ternyata tidak bertahan lama karena pada sesi berikutnya beliau sopan berkata, ”Tapi percuma saja kalau obatnya diminum ketika sampai sini atau satu hari sebelumnya, tetap saja bisa kena. Seharusnya seminggu sebelumnya biar menyebar dulu di tubuh!” Petir serasa menyambar. Dhuaaarrr...

Oke, kami terbang dari Soekarno-Hatta dengan Merpati Airlines pada hari Senin (17/12) pagi. Di jadwal disebutkan kalo pesawat akan take-off pada jam 05:30 WIB tapi ternyata pada praktiknya baru sejam kemudian si burung besi ini benar-benar terbang. Kata orang, ”Merpati tak pernah ingkar janji.” Huhu. Saya kira sebelumnya malah Merpati sudah mati....

Di atas Laut Sulawesi pesawat masuk ke awan gawat dan mulai terguncang-guncang hebat, agak mengayun-ayun, naik turun seperti di Dufan. Pramugari mulai ”berisik” dan lampu dalam pesawat dipadamkan. Saya teringat dengan tragedi Adam Air hampir setahun yang lalu, kabarnya juga di atas Laut Sulawesi. OMG. Tapi dua orang anak kecil keturunan Tionghoa di bangku depan saya malah berteriak-teriak kegirangan. Mungkin mereka ingat naik Tornado di musim liburan sekolah kemarin. Pengen sekali rasanya menjewer kuping mereka berdua. Bukan karena saya rasialis pastinya.

Akhirnya saya menempuh solusi dengan makin membenamkan earphone iPod saya dalam-dalam dan memejamkan mata saja. Sial! Kenapa lagunya jadi R.E.M, ”It’s The End of The World as We Know It (And I Feel Fine).” Ganti track selanjutnya ada “Losing My Religion” justru di saat saya malah ingat Tuhan, skip lagi malah ada “Everybody Hurts.” Anjing, ini pasti bercanda…. Daripada track selanjutnya menjadi “Bad Day” akhirnya saya memutuskan untuk mengganti lagu secara random dan akhirnya.... Tommy Page. Oh, NO!

Saya menoleh di samping kiri, Irfan Samsons (gitaris/leader) juga melakukan hal yang sama. Matanya terpejam. Sementara di seberang kanan depan saya, Bams tak hanya ”bersenjatakan” iPod, tapi juga kacamata hitam dan capuchon yang menutup tak hanya kepala namun juga seluruh isi wajahnya. Mungkin tidur, mungkin pula ketakutan. Kalau sebuah band bernama Samsons saja bisa seperti itu bagaimana dengan saya? :)

Akhirnya pesawat transit dengan selamat di Bandara Hasanuddin, Makassar. Kami seru-seruan membahas peristiwa tadi di atas pesawat. Dan lagi-lagi Merpati ingkar janji. Selama 2 jam pesawat menunda terbang ke Sorong. Kabarnya cuaca di sana buruk. Ketika akhirnya benar-benar akan terbang lagi saya pribadi malah berharap akan ada delay lagi. Ternyata tidak ada. Masya Allah!

Cuaca makin bertambah buruk ketika saya sempat melongok sedikit keluar pesawat. Hujan sangat lebat, petir menyambar, gledek menggelegar, awan hitam atau abu-abu gelap lah. Bukan saat yang tepat untuk melakukan pendaratan sepertinya. Sebentar lagi pesawat akan mendarat di Sorong. Saya semakin malas.

Benar saja, sudah dua kali pesawat ini muter-muter nggak jelas di atas bandara. Akhirnya untuk yang ketiga kalinya muter pesawat ini baru dapat mendarat. Menurut Mba Merlin, seorang petugas bandara sana, kalau sampai 5 menit lagi cuaca masih buruk maka pesawat kami akan di daratkan di Manokwari atau Fak-Fak. Real fucked-up situation :) karena itu artinya nanti harus terbang lagi ke Sorong karena di Papua ini hampir tidak ada akses darat untuk menghubungkan antar kotanya.

Ketika kami akhirnya mendarat dengan selamat pun dari atas bis saya sedikit miris saat melihat runway Bandara Domine Eduard Osok ternyata sangatlah pendek. Bahkan ada mobil-mobil yang berseliweran di bawahnya! Contohnya seperti bus yang menjemput kami ini bisa masuk sampai ujung garbarata ups.. tangga maksudnya.

Kami menginap di Hotel Comfort Mariat Sorong, konon kabarnya ini merupakan hotel terbaik di sana. Lobby hotel tidak berpendingin udara, dan di bar malah ada sebuah kipas angin portable untuk menemani para peminum tidak kegerahan. Erik memesan segelas Martini dan saya sebotol kecil Bintang. Untuk itu kami harus membayar Rp. 170 ribu. Martini seharga Rp. 137.500 dan Bintang kecil Rp. 32.500. Wow! Erik tidak komentar apa-apa walau tampak sekali terkejut.

Masuk ke kamar hotel cuaca di luar masih hujan. Tiba-tiba petir menyambar dan listrik hotel kontan saja byaar pet... mati! Walau hanya 15 menit tapi tetap saja OMG.

Makin penasaran bakal ada apa lagi nantinya? Untuk sementara saya bikin cepat saja dulu. Sisanya baca reportnya nanti.

Fun Facts:

  • Breakfast di hotel dengan orange juice yang ternyata terbuat dari sirup ABC di Peppito Restaurant
  • Bendera SLANK yang berkibar gagah di konser Samsons
  • Warnet yang cuma ada 4 buah di Sorong, masing-masing 6 komputer dengan tingkat antrian padat merayap.
  • Distro ada 3 buah dan salah satunya menjual produk dari Endorse (Jkt)!
  • Band-band yang sudah pernah konser sebelumnya adalah Bondan & Ivan ex-Boomerang, Radja, Kerispatih (private show).
  • Tidak ada panggung rigging dan sound system yang sepoy-sepoy.
  • Slankers adalah komunitas musik pertama, terkuat dan terbesar di sana.
  • Sebuah pom bensin.
  • Tiada bioskop.
  • Satu tempat bilyar VIP yang di dalamnya ada fasilitas karaoke.
  • Satu live music venue dan karaoke room ala Kota bernama Starlight.
  • Tiada diskotik.
  • Satu KFC, tiada McD.
  • El Marko FM, stasiun radio terbesar di sana masih menggunakan kaset untuk memutar musik mereka.
  • Dan sebagainya, dan sebagainya...

Oya, apakah saya sudah sempat cerita kalau kami (saya, MC, Samsons, T2, Nemo, kru infotainment Espresso) terpaksa lebaran haji di Sorong akibat ketinggalan pesawat esok harinya seusai konser. Kenapa? Itukah pertanyaannya? Karena pihak panitia salah membaca jadwal jam penerbangan di tiket! Yup, that’s right. Entah mengapa populasi orang bodoh justru jauh lebih banyak di sana daripada di Jawa.

Dan kami pun terdampar dengan sakses selama 3 hari di Sorong karena penerbangan yang sangat minim di sana. Tak pernah saya sesensitif ini sebelumnya ketika mendengar deru pesawat terbang di udara.


Oh, so wrong!

 




Sam Rawk



Irfan & Fans




Aldri Samsons, Golkar, Erik Samsons





Samsons beberapa saat setelah ketinggalan pesawat pulang


Komentar

  1. Lo punya iPod? Dan isinya Tommy Page?

    (Tae, dari sekian banyak hal yang dapat dikomentarin duluan...hahaha...)

    Yah, setidaknya lo berhasil pulang dengan selamat dan bebas malaria. Gimana caranya? Nunggu pesawat berikutnya atau pakai jalur spesial pengacara top?

    BalasHapus
  2. hahahah..baru gue mau komentar: fun fact tambahan, di iPod seorang WenzRawk ternyata terselip sebuah lagu Tommy Page. Itupun yang udah ketauan, belum yang lain :)). Gue kira elo akan memutar lagu lagu metal secara acak dan yang kemudian terputar adalah......Iron Maiden "Flight Of The Icarus" dan Testament "Falling Fast"...hahahaha

    Oh iya, bukannya bendera Slank selalu berkibar dengan gagah di hampir semua pertujukan musik lokal dengan crowd yang masif? huhuhu

    BalasHapus
  3. hahahahahh...
    foto # 1 : si bams dipecat dari samsons, dan bung wendy lah yang menggantikan posisinya. huahahahahah
    foto # 3 : lucu banget itu nama si bapak, GOLKAR..!! hahahahahah aseli kocak..!!

    BalasHapus
  4. sorong emang begitu wenz. kakak iparnya tetta kerja di sana, dan dia cerita, kalo ketinggalan pesawat, atau delay, bisa sampe berhari-hari. dan harga nasi padang aja, bisa berlipat-lipat dibandingkan harga di jawa.

    oya wenz, waktu inget tuhan, doa apa yang elu panjatkan? :p

    nb: judulnya kocak dan mengena! :D

    BalasHapus
  5. mimpi apa tuh bokapnya ngasih nama anaknya GOLKAR? hehehe

    Alhamdulillah lo selamat yah wenz...hehehe...gini2x gue masih sayang sama mantan manager gue...kekekekek

    BalasHapus
  6. Puji Setan dan Kambing yang disembelih di Hari Kurban...
    Mimpi apa ya lu wenz?

    Dosa terbesar gue buat lo ya... Duh, untung ada T2 ya Wenz?
    Mungkin ini semacama karma wenz...
    Lo gak boleh lagi telat (Iya kan sief? :-)...

    Tapi tetap saja, maafkan assigment kali ini ya Wenz...
    But wait? Tommy Page?
    Fukk!!!

    BalasHapus
  7. kata teman gw peneliti LIPI, hampir semua peneliti LIPI ang pernah masuk hutan papua, pasti punya malaria di tubuhnya. dan sewaktu-waktu bisa kumat, mungkin 2 thaun lagi, siapa tahu... jadi, jangan senang dulu kalau sekarang masih sehat...

    BalasHapus
  8. gua 3 mingguan dulu di Papua Wenz...pulangnya bebas dari segala penyakit, tp tak terselamatkan dari pengalaman2 absurd ala di Papua...

    BalasHapus
  9. Tunggu, tunggu, tunggu dulu!

    Sebelum terjadi kesimpangsiuran dan gossip yang meluas di scene maka dengan ini gue tegaskan kalo GUE:

    1. Belum punya iPod sampai sekarang
    2. Masih setia menggunakan N73 Music Edition walo lagi rusak.
    3. Menjamin kalo iPod yang gue pake ke Sorong adalah iPod pinjaman yang isinya gue desain ulang dengan selera gue tapi memang masih banyak lagu-lagu nggak jelas di dalamnya. Dan etika meminjam barang orang adalah elo tidak kurang ajar menghapus semua lagu-lagu walaupun itu lagu Tommy Page! :)
    4. Tidak pernah suka Tommy Page walaupun itu "A Shoulder To Cry On." Titik! :)
    5. Menjamin Hasief bisa bersaksi untuk semua ini. Tell the truth, ya basta! Haha.

    Demikian pernyataan semua ini terjamin kebenarannya.

    Thanks for peace, love & understanding.... :)

    -wenz rawk

    BalasHapus
  10. Yang ini gue kira tadinya MITOS tapi ternyata benar adanya, bro. Sad but true...

    BalasHapus
  11. Foto #1: Hampir begitu sejarahnya tapi ternyata setelah gue bernegosiasi alot dengan pihak Samsons mereka menolak proposal gue untuk mengubah arah musik dan lirik Samsons. Kami gagal mencapai kesepakatan :)

    Foto #2: Setuju. Gue juga berpikir yang sama. Makanya gue tarik Erik & Aldri untuk berfoto sama Pak Golkar karena kalo tiba-tiba aja gue meminta dia untuk berpose sendirian takutnya malah merasa tersindir. Elo pasti nggak akan pernah suka Marinir yang tersinggung hatinya :)

    BalasHapus
  12. Betul, Leh. Selama 5 hari di sana (termasuk 3 hari full terdampar) gue sangat bersyukur karena dilahirkan menjadi orang Jawa-Sunda (ini pengakuan untuk pertama kalinya :). Makanan2 di resto di sana harganya sama dengan resto2 di seputaran Kemang, fren. Crazy!

    Do'a gue: "Kirimkan saya iPod?" :)

    Thank you, Leh.

    BalasHapus
  13. Mungkin apapun asal bukan PKI, Ga. Hahaha.
    Bisa jadi pas jamannya gontok-gontokan dulu, pasca-65.

    Hahahaha. Thank you lah.

    BalasHapus
  14. Hahaha. Gpp, Dib. Seperti kata tagline salah satu iklan rokok: "Enjoy Aja!"
    Mungkin bakal laen komentarnya kalo ternyata cuma gue yang ketinggalan pesawat di So Wrong :)

    BalasHapus
  15. Oh ya, kalo gak salah gue pernah liat di blog elo tuh, Cap. Cerita2 yang absurd dong, bossss....

    BalasHapus
  16. jadi inget jaman masih baca trax dulu, ada yang bilang hampir nangis waktu denger arian nyanyi a shoulder to cry on dari awal sampe akhir, hehehe

    BalasHapus
  17. hahaha! bagian muter lagu - lagu REM sumpah ngakak banget bacanya!!! selamat pulang kembali, mau nggak ke so wrong lagi? kali ini naik kapal laut, sekitar semingguan di lautan, tapi ada pubnya kok.

    BalasHapus
  18. gila, pengalamannya keren banget hahaha*ketakutan abis&*. tapi gw pernah pesawat mo ilang gitu, tapi bukan di papua. tapi aceh 3 bulan pasca tsunami. OMG abissss.

    BalasHapus
  19. halo mas wenz.
    Masalah nyamuk malaria. Benar sekali kalau obat itu harus diminum seminggu sebelum mendaratkan kaki di Papua. Kalau data 1 juta orang meninggal itu bohong. Karena yang meninggal karena malaria itu tidak sebanyak itu. Tapi penyakitnya memang terbawa seumur hidup.

    Sebenarnya ada tumbuhan namanya Klasnot yang ampuh mengobati malaria. Setelah di jemur sampai kering (berbentuk seperti jamur) lalu Dimakan dengan buah merah, tapi untuk mendapat tumbuhan itu pun sangat susah. Harus mencari ke pelosok-pelosok hutan. Belum lagi ritual untuk memakan buah itu, perlu perlakuan khusus dari dukun kuno papua untuk meminta izin memakan buah itu. Ini sebenarnya rahasia beberapa pendaki gunung yang sempat mendaki di tanah papua. Alhamdulilah Saya menyimpan beberapa buah Klasnot yang sudah dikeringkan. Kalau ada rekan-rekan jurnalis yang akan bertandang ke Papua bisa hubungi saya.

    Begitu saja sepertinya komentar saya. Salut atas tugas mas wenz.

    Assalamualaikum.

    BalasHapus
  20. ooo fukk ada yang namanya GOLKAR, sebelumnya gua menyangka nama kakak kelas gua "ADIL MAKMUR NEGARA" adalah nama yang absurd (bahkan melebihi nama anak seorang artis "ANAKKU LELAKI")...berterimakasihlah pada yang maha kuasa mas Adil...

    BalasHapus
  21. gue pernah bertemu seorang polisi bernama Parngentotan, dan tentara AD dengan nama T.Yorke. Sepertinya menjadi aparat harus punya nama yang cukup antik.

    BalasHapus
  22. ohh kalo yang ini cool...serius!! absurd kalo misalnya namanya antimiras atau an3dis atau antitisimilikiti....

    BalasHapus
  23. hahahah ini lucu banget, kebayang kalo misalnya dipanggil "ngentotttt.... ini tolongin emak nyuci piringggggg..."

    BalasHapus
  24. Dulu pas kuliah teman gue yang beda fakultas punya teman bernama Totong, terus pas ospek senior pada nanya, "Totong, kamu tegang?"

    BalasHapus
  25. terima kasih TUHAN... =)
    terima kasih juga selingkuhanku ini selamat kembali ke ibu kota... ;D

    BalasHapus
  26. hehehehe....sayang anda melewatkan huru-hara di udara yang seharusnya ada dirimu, boss ;p
    kita ulangi di edisi berikut yaaa hehehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

IKJ: SCHOOL OF ROCK [Editor's Cut]

LED ZEPPELIN Reunion 2007: The Full Report From David Fricke