Industri Musik Indonesia Kiamat?

INDUSTRI MUSIK KIAMAT?


 


Oleh Wendi Putranto


 


Penjualan menurun drastis, pembajakan merajalela,


label bangkrut, orang tewas di konser,


pensi rajin rusuh,  pemerintah berpangku tangan.


Bisnis musik di Indonesia mulai menyerempet bahaya!


 


Industri musik di Indonesia saat ini memasuki periode terburuk sejak bisnis ini dimulai pada tahun 1954. Ketika Suyoso Karsono mendirikan label rekaman pertama di Indonesia, Irama dan menggunakan garasi rumahnya untuk merekam album beberapa grup musik pasti ia tidak menyangka bahwa industri ini bakal berkembang sedemikian pesat berikut segala macam problematikanya.    


Suyoso atau akrab dipanggil Mas Yos pasti terkejut mengetahui pembajakan musik di Indonesia peredarannya kini mencapai 90% dari produk aslinya. Hanya 10% saja produk rekaman asli yang beredar di pasaran! Ia mungkin tidak pernah membayangkan perkembangan teknologi telah menyulap piringan hitam yang diproduksinya dulu menjadi kaset, CD dan kemudian digital yang tidak bebas-bajak. Kondisi buruk inilah yang membuat bangkrut 117 label rekaman lokal milik teman-teman Mas Yos dan segera menyusut menjadi 70 label rekaman saja yang tergabung di ASIRI pada tahun ini.


Mas Yos pasti bakal terkaget-kaget begitu tahu penjualan album rekaman legal terus menurun drastis hingga 20% tiap tahunnya. Mungkin ia bisa kolaps begitu tahu di depan kantor polisi dan di dalam mall kini banyak berjualan lapak-lapak rekaman bajakan. Akhirnya mungkin ia hanya bisa mengurut dada saja ketika tahu pemerintah dan aparat kepolisian hanya berdiam diri dari kejauhan menyaksikan industri musik yang dirintisnya masuk ke dalam jurang kehancuran.   


Bersyukur Mas Yos kini sudah beristirahat dengan tenang untuk selama-lamanya. Dengan begitu ia tidak harus menyaksikan konser musik yang digemarinya bisa menelan 10  orang penonton tewas sia-sia karena terinjak-injak di pintu keluar venue. Ia juga tak mesti menyaksikan cucu-cucunya yang duduk di bangku SMA menelan kerugian milyaran rupiah akibat kerusuhan massal yang terjadi di pentas seni yang mereka selenggarakan dengan susah payah. Akankah industri musik yang dirintis Mas Yos lima puluh tiga tahun yang lalu kini mendekati kiamat?


Sebagai industri yang menciptakan, menampilkan, mempromosikan, melindungi dan melestarikan budaya musik maka industri musik di Indonesia yang telah menyumbangkan pajak dan devisa besar bagi negara serta membuka jutaan lapangan pekerjaan di negara ini sudah selayaknya diselamatkan dari kehancuran. Jika sukses maka suatu saat nanti bukan mustahil kita bakal menikmati apa yang terjadi di Amerika Serikat saat ini.


Industri hak cipta Amerika yang antara lain terdiri dari bisnis musik, film, TV, DVD, buku, software dan sebagainya menurut laporan terbaru IIPA [International Intellectual Property Alliance] menyumbangkan $1,38 triliun atau 11,12% dari GDP Amerika Serikat di tahun 2005. Ditambah lagi industri ini bahkan menyediakan lapangan pekerjaan bagi 11,3 juta orang masih di tahun yang sama. Sebuah figur yang sangat spektakuler tentunya.


Dengan semangat ikut menyelamatkan industri musik tanahair majalah ROLLING STONE Indonesia kemudian mencoba menggali informasi, data dan fakta dari para pelaku bisnis musik nasional demi mendapatkan gambaran yang akurat dan komprehensif tentang kondisi obyektif industri musik di Indonesia saat ini.


Kami sempat mengundang beberapa pelaku industri musik nasional yang terdiri dari eksekutif label rekaman major dan indie, artis/musisi, promotor konser, pengamat musik hingga manajer artis untuk berdiskusi tentang hal ini tepat seminggu sebelum kami pindah ke kantor kami yang baru di daerah Ampera, Jakarta Selatan.


Kami angkat topi setinggi-tingginya bagi Jusac Irwan Sutiono [Managing Director Warner Music Indonesia], Abdee Negara [gitaris Slank & pengusaha Im:port], Ari Lasso [artis], Denny MR [pengamat industri musik/manajer artis], David Tarigan [A&R Aksara Records], Helvi Sjarifuddin [A&R FFWD Records], Denny Sakrie [pengamat musik] yang telah menghabiskan empat jam waktunya untuk berbagi pemikiran demi keberlangsungan industri ini.


Begitu pula salut kepada Sudrajat [Ketua Umum ASIRI], Daniel Tumiwa [Sales & Marketing Director Universal Music Indonesia], Arie Suwardi Widjaja [Direktur A&R Aquarius Musikindo], Yonathan Nugroho [Trinity Optima Production], Arnel Affandi [Managing Director EMI Music Indonesia] dan Jerry Bidara [Label Manager Indo Semar Sakti] yang telah memberikan informasi via telepon.


Akankah 2007 menjadi tahun Vivere Pericoloso [menyerempet bahaya] bagi industri musik Indonesia? Inilah laporannya.    


 


Industri rekaman


 


Industri rekaman sebagai salah satu elemen terpenting industri musik Indonesia mengalami pukulan yang cukup berat sepanjang tahun 2006 silam. Menurut data terbaru yang diberikan ASIRI sebagai pemegang 80% pasar musik, total penjualan rekaman fisikal tahun lalu mengalami penurunan 21% jika dibandingkan tahun 2005. Total penjualan unit kaset, CD dan VCD tahun lalu tercatat sebesar 23.736.355 keping di seluruh Indonesia. Angka ini belum termasuk penjualan musik digital yang belakangan sempat menjadi fenomena dengan merebaknya bisnis ringback tone [RBT] dan full track download di tanahair.  


Sebagai perbandingan, pada tahun 1996, sebelum krisis moneter melanda tanahair, industri rekaman Indonesia bisa menjual 8-10 juta keping per bulannya atau sekitar 120 juta keping setahun. “Sekarang saya rasa mungkin tinggal 2,2 juta keping per bulannya. Jadi pasarnya tersisa sekitar 25% dari tahun 1996. Kuenya mengecil drastis,” komentar Yonathan Nugroho, pimpinan Trinity Optima Production.


Trend penurunan rekaman fisikal ini menurut Arnel Affandi [Managing Director EMI Music Indonesia], saat diwawancara setahun lalu, telah terjadi empat tahun lalu sejak ditemukannya new media di dunia. Sebelumnya pihak asing telah mengalami penurunan akibat naiknya trend men-download musik via layanan P2P [peer-to-peer]. Walau begitu penyebab utamanya di Indonesia hingga kini masih pembajakan rekaman fisikal. “Pembajakan CD masih top of the list,” ujar Arnel.


Penyebab lainnya adalah perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang demikian pesat sehingga pola konsumsi orang berubah. Awalnya mereka rajin membeli kaset kini beralih membeli pulsa ponsel. Selain itu film bajakan dalam bentuk DVD yang sangat murah dan mudah dibeli dimana-mana juga ikut mengalihkan perhatian pembeli musik.


Pendapat Arnel diperkuat Jusac Irwan Sutiono [Managing Director Warner Music Indonesia]. Menurutnya, anak-anak muda yang menjadi konsumen setia musik saat ini tidak membeli kaset atau CD lagi karena uang mereka telah habis. “Mereka lebih senang memainkan ponsel dan membeli pulsa. Minimal sebulan habis Rp 100 ribu. Itu mempengaruhi penjualan kami. Suka atau tidak suka, budget membeli musik berkurang,” demikian Jusac, “saya juga sering naik kereta api dari Bogor dan di gerbong saya lihat orang-orang mendengarkan MP3 player. Lagunya pasti bajakan semua.”


“Kalau penurunan penjualan fisikal nanti telah mencapai 30% itu sangat berbahaya bagi industri musik nasional. Yang bakal hidup nanti mungkin hanya major label,” tukas Arnel. Sementara bagi Arie Suwardi Widjaja atau akrab disapa Pak Iin, Direktur A&R Aquarius Musikindo, satu atau dua tahun ke depan akan menjadi satu kurun waktu yang menentukan arah industri musik lokal. “Apakah penjualan rekaman fisikal masih bisa menguntungkan atau habis. Mungkin jika teknologinya sudah mengarah kesana bakal banyak toko-toko kaset yang tutup,” ujarnya.


Aquarius Musikindo yang memiliki bisnis retail musik di Jakarta, Bandung dan Surabaya menurutnya juga mengalami tekanan yang luar biasa beberapa tahun belakangan ini. “Parah. Yang datang ke toko kaset sekarang sedikit sekali, akibatnya penjualan juga sedikit. Masyarakat kelas middle-up yang membeli fisikal berkurang banyak. Hanya pecinta musik sejati yang mengoleksi rekaman secara fisik. Kalau hanya penikmat musik biasa hanya mendengar lagu tapi nggak punya keinginan untuk menyimpan,” ceritanya panjang lebar.


Sepanjang tahun 2006 pada faktanya tak satu pun label rekaman yang penjualan album artis-artis besarnya menembus angka 1 juta keping. Berdasarkan informasi yang diberikan para pimpinan label rekaman, Naluri Lelaki, album debut Samsons hanya terjual lebih dari 700 ribu keping. Album Melayang mencapai penjualan 800 ribu keping sementara album rohani SurgaMu ludes 600 ribu keping, keduanya milik Ungu.


Album debut Nidji, Breakthru’ dengan kampanye promosi yang masif kabarnya hanya terjual 350 ribu keping sementara Truth, Cry And Lie milik Letto tanpa promosi besar-besaran sanggup mencetak angka 300 ribu keping. Begitu pula halnya dengan Ari Lasso Selalu Ada (300 ribu) dan Agnes Monica Whaddup A? (300 ribu). Yang cukup menjanjikan dan terus bertambah adalah album debut Bunga C. Lestari yang sejak sebulan dirilis telah mencapai 120 ribu keping penjualannya. 


Ditengah trend penurunan penjualan musik global sebenarnya ada kabar menggembirakan dimana pasar musik untuk album domestik cenderung menguat. Ini dibenarkan oleh Pak Iin, “Ada label yang penjualan lokalnya lebih bagus di tahun-tahun sebelumnya. Jika di tahun lalu labelnya memiliki artis yang penjualannya kuat mungkin kecenderungannya malah naik.”


Hal ini dialami langsung oleh Universal Music Indonesia yang sukses meroketkan penjualan album debut Samsons. Uniknya, beberapa tahun lalu label rekaman terbesar di dunia ini sempat menutup divisi lokal mereka yang mengalami kebangkrutan. “Musik Indonesia memang jauh lebih kuat sekarang dan telah menjadi tuan rumah di negaranya sendiri,” ujar Daniel Tumiwa, Sales & Marketing Director Universal Music Indonesia.


Menurut analisa Jerry Bidara, Label Manager Indo Semar Sakti, di masa mendatang market di Indonesia bakal seperti Jepang dimana musik dalam negerinya sangat menguasai penjualan pasar Negara Matahari Terbit tersebut.


“Bisa dilihat dari trend RBT yang laku keras penjualannya di atas satu hingga dua juta download. Wajib digarisbawahi, itu lagu lokal bukan internasional. Sebenarnya repertoar lokal di kita sangat dihargai,” ujarnya.


Ini berbeda halnya dengan pasar musik internasional di Indonesia yang penjualannya merosot tajam. Menurut Daniel, Universal Music Indonesia sebagai label rekaman dengan katalog internasional terbesar dan leading ternyata malah babak belur sepanjang 2006 lalu. Selain turun 30%, peminat musik internasional walau masih ada dan terus bertambah di daerah dan perkotaan namun daya belinya kini rendah akibat kenaikan BBM dan meningkatnya kebutuhan dari core audience pembeli musik, khususnya untuk telekomunikasi.


“Untuk album internasional milik kami nggak ada yang signifikan angkanya. Agak berbeda dengan major label internasional karena kebanyakan album yang kami lisensi itu artis-artis dari independen label sifatnya,” aku Jerry Bidara dari Indo Semar Sakti. 


Album internasional dengan penjualan terbesar bagi Universal di tahun 2005 adalah The Black Eyed Peas (Monkey Business) yang mencetak angka 85.000 keping. Disusul dengan Anggun (70 ribu) dan The Dutchess Fergie (25 ribu). Akibat mengecilnya pasar musik internasional di Indonesia major label internasional kemudian menurunkan sertifikasi penjualan untuk kategori Gold menjadi 20.000 keping dan Platinum 40.000 keping.


Diluar penjualan rekaman fisikal yang terus menurun sebenarnya fenomena menarik yang perlu segera diantisipasi secepatnya oleh label-label rekaman nasional adalah penjualan musik digital. IFPI, federasi internasional industri rekaman dalam keterangan resminya menyebutkan bahwa di tahun 2006 penjualan digital telah mencapai US$ 2 milyar atau meningkat dua kali lipat dari 2005. Hingga kini digital menguasai 10% pasar musik secara keseluruhan di dunia. 


Ketua IFPI John Kennedy mengungkapkan, “Industri rekaman hari ini telah berubah menjadi pemikiran digital dan bisnis melek digital. Keuntungan di tahun 2006 naik dua kali lipat menjadi US$ 2 miliar dan pada tahun 2010 kami perkirakan sedikitnya seperempat dari seluruh penjualan musik di dunia bakal berubah digital.”


 


Pertanyaan selanjutnya, apakah Indonesia sudah siap? “Kami sudah memiliki rencana mengembangkan penjualan digital dan mempelajari pasarnya sebesar apa. Apakah bakal mengganggu penjualan fisikal? Karena kami menjual album otomatis harga jualnya setara album sementara jika full track download seharga single. Untuk income artis ini jatuhnya lebih kecil karena hitungan royalti yang didapat hanya dari satu single saja,” jelas Pak Iin.


Yonathan Nugroho dari Trinity yang berhasil menjual RBT beberapa lagu Ungu hingga 3 juta download mengakui bahwa penjualan dalam bentuk digital sekarang cukup menggembirakan. “Minimal membuat kami bisa bertahan, kalau tidak mungkin sudah terancam bangkrut,” tukasnya, “RBT termasuk penyelamat. Apalagi ada 3G. Pasti cerah prospeknya. Tapi kurang tahu juga, mungkin marketnya tidak sebesar RBT. Karena full track download dengan 3G orang sebenarnya tetap bisa memasukkan lagunya sendiri ke ponsel sementara kalau RBT nggak bisa dibajak.”


Hingga saat ini memang harus diakui bahwa primadona penjualan digital di Indonesia baru terjadi pada RBT. YKCI [Yayasan Karya Cipta Indonesia] dalam press releasenya bahkan mengklaim Telkomsel sejak tahun 2004-2006 berhasil meraup uang lebih dari Rp. 4 triliun dari layanan RBT ini. Mereka kini sedang “berperang” di pengadilan dengan tuntutan agar Telkomsel bersedia membayarkan royalti sebesar Rp. 200 miliar bagi para pencipta lagu yang menjadi anggota KCI. Konflik antara Telkomsel yang didukung ASIRI versus KCI ini bahkan telah menjadi pertempuran terbuka yang niscaya makin membuat industri ini terpuruk.


Belum berkembangnya penjualan musik digital juga diakui Abdee Negara, gitaris Slank yang beberapa waktu belakangan bersama Anang dan Indra Lesmana membangun portal musik digital bernama im:port. “Full track download belum jalan di Indonesia sampai sekarang,” ujarnya. Selain karena lambannya akses internet di Indonesia dan masih rendahnya minat masyarakat membeli lagu via ponsel, penjualan musik digital juga tetap terpukul dengan banyak beredarnya CD dan MP3 bajakan.


Jusac menganalisa kurang berkembangnya penjualan musik digital secara lebih lanjut. Menurutnya, sekitar 90% pengguna ponsel di Indonesia adalah bukan pelanggan melainkan konsumen pra-bayar jadi pulsanya sedikit. “Kegagalan salah satunya adalah karena itu,” ujar Jusac.


“Tren digital akan maju tapi fungsinya masih sebatas life-style belum menjadi pengganti konvensional. Akan mengarah ke situ. Mungkin butuh waktu 3-5 tahun ke depan. Sampai sekarang ini untuk 2007 masih berat karena harga player MP3 masih cukup mahal dan tren lifestyle masih belum ke arah situ,” tambah Abdee lagi.


  


Industri pertunjukan


 


            Selain industri rekaman, elemen penunjang industri musik Indonesia yang signifikan bagi perkembangan bisnis musik juga mendapat cobaan berat. Showbiz Indonesia di akhir tahun 2006 lalu mencatat peristiwa duka. 10 orang penonton konser Ungu di Pekalongan tewas secara mengenaskan karena terinjak-injak. Tragedi konser terburuk di tanahair ini bahkan beritanya tersiar ke seluruh dunia melalui kantor berita BBC dan Reuters. Hanya selang beberapa hari sebelumnya dua orang penonton juga tewas secara mengenaskan di konser Padi yang digelar di Palembang, Sumatera Selatan. Tawuran antar geng menjadi penyebab utamanya.


“Saya menangani tragedi konser Ungu di Pekalongan. Ini bukan baru sekali terjadi. Sejak awal 70an sudah sering terjadi kerusuhan di konser. Melihat perkembangannya sudah semakin bahaya. Awalnya hanya meninggal satu sekarang sudah sepuluh orang. Wartawan yang menelpon bukan hanya dari Kalimantan, Sumatra, Irian Jaya, tapi dari Inggris, Eropa dan sebagainya. Ini pasti akan kiamat kalau kita tidak pernah memikirkan ini semua,” ujar Harry “Koko” Santoso, bos Deteksi Production yang tiap tahun sukses menggelar Soundrenaline Festival dan tahun lalu sukses menggelar 600 konser musik di seluruh Indonesia.


            Ternyata kebrutalan penonton juga merambah ke acara-acara pentas seni SMA yang sebelumnya berjalan damai dan lancar. Pentas seni SMA Tarakanita 1 yang digelar di Stadion Lebak Bulus awal Desember juga hampir berakhir rusuh akibat ribuan penonton tak bertiket menjebol masuk pintu stadion. Begitu pula halnya dengan Pentas Seni SMA 91 yang digelar di Plaza Barat Senayan akhir tahun silam. Ribuan massa jebolan yang kebanyakan pemuda ABG berhasil merobohkan pagar pintu masuk dan belakangan merangsek pula ke atas panggung. Pensi ini kemudian merugi hingga Rp. 200 juta.


Kerusuhan pada pensi yang terparah sepanjang sejarah terjadi tanggal 13 Januari 2007 lalu ketika kerusuhan massal meletup di Pensi SMAN 44 yang digelar di Plaza Barat Senayan pula. Akibatnya puluhan polisi dan penonton luka-luka, puluhan kendaraan umum dan pribadi di rusak dan properti panggung dan sound system dihancurkan para penonton. Pihak panitia yang terdiri dari siswa-siswi kelas II SMA tersebut kabarnya menelan kerugian hingga Rp. 1 miliar. Berita kerusuhan ini bahkan menerima liputan media massa nasional yang sangat meluas.


Apakah kiranya penyebab utama dari kebrutalan penonton konser ini?


Rendahnya keinginan untuk membeli tiket konser disinyalir menjadi faktor utama yang menghambat berkembangnya bisnis pertunjukan di Indonesia.  


Abdee menambahkan, apresiasi penonton kita terhadap sebuah pertunjukan musik masih kurang. Ia ingat tahun 1988 setelah konser Mick Jagger rusuh di Jakarta, Bill Graham (promotor legendaris) sempat diwawancara di salah satu koran lokal bahwa Indonesia harus belajar 20 tahun lagi untuk mengapresiasikan musik rock. “Sekarang ini sudah hampir 20 tahun dan tidak ada realisasinya,” ujarnya seraya tertawa.


Menurut Koko, industri pertunjukan juga bisa kiamat karena kita belum memiliki gedung pertunjukan dan regulasi yang memadai dari pemerintah. Kebanyakan venue konser di Indonesia menurutnya tidak memenuhi standar. Belum lagi masalah pungli atau retribusi. Konser lokal lebih parah karena tidak ada regulasi yang baku. “Sistemnya rumit sekali bisnis pertunjukan ini. Pajak dan retribusi tiap kota berbeda. Sewa gedung tiap kotanya berbeda, walau bentuknya sama di kota manapun. Di Jakarta saja di Istora Senayan masih berlaku seperti itu,” ujarnya.


“Saya nggak pernah lihat ada penyanyi Indonesia yang sangat urakan dan mempengaruhi penonton untuk tawuran satu sama lain. Nggak ada. Tapi kalau masuk ke venuenya susah, menuju gedung pertunjukan tidak ada transportasinya, itu membuat mereka peka. ada gedung pertunjukan tapi terlalu kecil akhirnya terjadi insiden yang dialami oleh Sheila On 7, karena gedungnya sudah semakin tua jangan kaget nanti kalau ke depannya ada bencana yang lebih parah. Dari sekarang kita harus melangkah ke sana.”


Abdee menambahkan, “Ada beberapa PR bagi pemerintah dan komponen terkait untuk segera diselesaikan. Di industri pertunjukan, masalah infrastruktur, pembenahan bisnis dan menyusun peraturannya. Bayangkan, setiap promotor di luar negeri harus memiliki lisensi bisnis, di Indonesia nggak ada peraturan itu.”


 


 


Box1:


 


Trend Musik 2007


 


Trend musik sejak awal memang menjadi nafas dari industri musik. Ini karena trend memiliki potensi menciptakan kebutuhan dari penikmatnya. Peluang inilah yang kemudian dimanfaatkan sepenuhnya oleh industri untuk mengembangkan pasar. Belakangan karena akses informasi semakin luas dan beragam hampir tak ada satu trend musik yang dominan seperti pada dekade-dekade sebelumnya.  


Menurut pengamat musik Denny Sakrie, “Di Indonesia ini musik yang mengkhalayak itu yang easy-listening, mudah dicerna dengan kemasan-kemasan yang berbeda. Biasanya akan selalu mengalami recycling melalui ikon-ikon baru. Itulah trend mainstream-nya,” Sementara, Denny MR, pengamat musik lainnya, melihat pasca booming-nya trend musik rock alternatif dan ska di Indonesia beberapa tahun lalu hingga kini belum ada lagi trend musik yang dominan. Ia sendiri melihat tahun ini musik reggae bakal kembali menjadi sebuah trend, dibuktikan dengan munculnya band Steven & The Coconuttreez.


Sedangkan menurut Abdee Negara, gitaris Slank, trend musik sekarang lebih variatif dan rancu karena sumbernya sudah sangat banyak. Contohnya, anak-anak muda Indonesia kini bisa tergila-gila dengan musik dan gaya hidup dari Jepang. “Dulu kita hanya menengok trend musik yang datang dari Inggris atau Amerika. Kini di Malaysia anak-anak mudanya sangat memperhatikan musik yang datang dari Indonesia. Mereka senang bermain musik dengan gaya Indonesia atau Jakarta,” ujarnya bangga.


Sebagai salah seorang pendiri im:port ia sering menerima demo rekaman yang variatif tapi biasanya tergantung dari trend musik yang sedang besar saat itu. “Peterpan sedang booming maka akan bermunculan pula band lain dengan sound seperti itu. Akan begitu seterusnya yang terjadi setelah radja, Samsons, Ungu meledak di pasaran,” jelas Abdee.     


“Saya percaya trend musik itu untuk diciptakan bukan untuk diterka. Kita harus mebuat sesuatu agar menjadi trend. Setelah trend itu jalan nanti akan ada fase trend-setter, trend-follower dan trend-killer. Akan ada trend baru lagi,” tambahnya. Sementara bagi Ari Lasso, “Penciptaan trend kalau dari sudut pandang musisi dalam berkarier pasti akan selalu berkiblat pada soul. Pada apa yang saya ciptakan dan menurut saya jujur.”


Ketika kondisi musik di mainstream mengalami kemandekan kreativitas biasanya publik akan menoleh ke scene indie untuk mencari sesuatu yang lebih segar. Abdee setuju dan menilai indie label seakan menjadi pejaga kualitas dari budaya bermusik di negeri ini. 


Helvi Sjarifuddin dari FFWD Records, indie label berpengaruh asal Bandung, mengaku dalam merekrut band ke dalam labelnya tidak terlalu fokus pada trend musik. Sebagai A&R pertimbangannya lebih kepada selera musiknya pribadi. Selama senang dengan bandnya dipastikan ia bakal mengontrak mereka. “Agak sulit menerapkan sebuah kriteria,” ujarnya.


Sementara David Tarigan, A&R Aksara Records, indie label Jakarta yang merilis album The Adams, Sore hingga White Shoes & The Couples Company menjelaskan bahwa fenomena merebaknya trend bermusik independen di Indonesia terjadi karena ada scenenya. “Ada band yang membuat musik seperti itu dan ada medianya juga. Elemennya terbangun. Ini terkait erat dengan budaya anak muda yang selalu mencari sesuatu yang berbeda. Secara musikal biasanya kami bakal mengontrak artis yang sesuai dengan idealisme kami. Kota-kota besar mulai menerima ide seperti ini dan selanjutnya kota-kota kecil. Yang pasti gerakan ini akan terus menyebar dan membesar nantinya,” tukas David mantap. (Wendi Putranto)


 


 


Box2


 


“Industri ini tidak masuk skala prioritas.”


 


            Pembajakan musik telah menjadi momok sejak puluhan tahun lalu. Sejak didirikan pada 1 Februari 1978, ASIRI [Asosiasi Industri Rekaman Indonesia] salah satunya bertujuan untuk melawan aksi pembajakan musik yang makin menggila dan transparan belakangan ini. Anggota ASIRI terdiri dari 83 perusahaan rekaman besar dan kecil di Indonesia. Empat major label internasional [Universal, SonyBMG, EMI, Warner] juga termasuk di dalamnya bersama major label lokal seperti Musica Studio’s, Aquarius Musikindo, Indo Semar Sakti hingga Gema Nada Pertiwi.


Walau bukan satu-satunya asosiasi industri musik di Indonesia namun ASIRI sangat berpengaruh karena ia merepresentasikan 80% pasar musik di negara ini. Langkah apa saja yang telah diambil ASIRI dalam menanggulangi pembajakan dan menurunnya penjualan rekaman fisikal belakangan ini? Berikut wawancara yang dilakukan via telepon dengan Sudrajat, Ketua Umum ASIRI.


 


Berapa total penjualan produk rekaman sepanjang tahun 2006 di seluruh Indonesia?


Penjualan tahun lalu sekitar 24 juta unit. Per bulannya terus menurun. Desember 2006 penjualannya bahkan tidak sampai 2 juta keping.


Apa penyebab utama penurunan penjualan album rekaman ini?


Pertama, masalah lama, pembajakan. Tidak ada kegiatan yang menyolok dari pemerintah dan kepolisian dalam menangani masalah ini hingga sekarang. Kedua, terjadinya perkembangan teknologi ponsel dan teknologi informasi yang luar biasa. Ke depannya mungkin format menjual musik via ponsel akan lebih efektif karena tidak memerlukan label untuk menjual musik nantinya.


Label rekaman apa yang menjual album rekaman terbesar sepanjang 2006?


Musica Studio’s.


Berapa persen konsumsi market musik yang dikuasai oleh anggota ASIRI?


Sekitar 80% dari total penjualan produk rekaman yang ada di Indonesia. Di luar itu masih ada indie label tapi kami anggap mereka menjualnya melalui bantuan anggota ASIRI juga.


Apa saja agenda yang dipersiapkan ASIRI dalam menanggulangi trend menurunnya penjualan album dan makin menggilanya pembajakan?


Agenda kami tidak ada yang baru sebenarnya. Dari tahun ke tahun masih yang itu juga. Kami melakukan sosialisasi tentang UU Hak Cipta sudah sepuluh tahun tapi sejak dulu memang tidak ada political will dari pemerintah. Tahun 1996 perhatian pemerintah masih masih cukup bagus karena ada Tim Keppres 34 [tim khusus penanggulangan pelanggaran HAKI - Red] dibawah Moerdiono. Saat itu kami masih diperhatikan dan bisa meminta mereka untuk ikut memberantas pembajakan.


ASIRI menilai aparat kepolisian sudah maksimal dalam memberantas pembajakan?


Oh, belum, jauh sekali. Dari total keseluruhan paling maksimal mereka berhasil memberantas pembajakan rekaman sekitar 10% saja. Banyak kasus yang kami laporkan tapi di-86-kan oleh polisi.


Menurut laporan terbaru IFPI [Federasi internasional industri rekaman], ada 40 pabrik perekam CD yang sebagian besar belum terdaftar di Kementerian Perdagangan?


Itu pasti benar. Sekarang jika ditanya kepada asosiasi pabrik perekam CD mungkin tidak sampai sepuluh yang terdaftar. Mungkin saat itu staf IFPI yang datang ke Indonesia hanya bisa mendata 40 pabrik saja. Sebenarnya saya yakin lebih dari itu jumlahnya. Karena keterbatasan mereka saja.


Bagaimana prediksi Anda tentang industri musik di masa depan? Bertahankah?


Untuk label besar pasti mampu bertahan. Yang sudah kolaps dan bangkrut banyak juga. Anggota ASIRI awalnya di tahun 1991 berjumlah 200 anggota, sekarang tinggal 83 anggota. Mungkin akhir bulan Februari 2007 kami akan rapat lagi untuk mengeluarkan 13 anggota.


Kenapa dikeluarkan?


Sudah tidak efektif, kantor tidak ada, dihubungi sudah susah. Bisa jadi sudah bangkrut atau berpindah bisnis.


Masih cerahkah prospek bisnis ini?


Prospeknya cenderung cerah karena ada media penjualan baru. Digital. Kita akan berharap banyak dari sana karena penjualan rekaman fisikal menurun terus. Sekarang musik dangdut penjualannya drop dan hanya tersisa empat label rekaman dangdut yang bertahan. Walau begitu artis-artisnya tetap jalan terus, show dimana-mana. Konser dangdut juga tetap banyak.


Jenis musik apa yang penjualannya paling tinggi?


Masih pop. 80% persen pop. Sisanya 20%, dibagi antara rock, dangdut, etnik dan sebagainya.


            Bagaimana dengan album rohani?


Album rohani musiman sifatnya. Biasanya sesuai dengan momen hari raya keagamaan.


Perbandingan market musik lokal dengan internasional?


Mungkin 80% lokal dan 20% internasional. Kalau pertumbuhan pendengar musiknya sebenarnya bagus, pembeli produk aslinya yang sedikit. Penjualan internasional parah sekali. Artis-artisnya kecil penjualannya. Sertifikasi album internasional sekarang juga telah diturunkan standarnya karena pasarnya mengecil. Untuk penjualan gold 20.000 keping dan platinum 40.000 keping.


ASIRI pernah mengalami penjualan terbesar?


Ketika ASIRI dipimpin Dimas Wahab. Tahun 1996 penjualan kami pernah mencapai 8-10 juta keping per bulannya.


Prediksi Anda untuk tahun ini?


Dengan situasi yang sulit seperti ini kami masih bisa bertahan. Teman-teman yang memiliki idealisme masih bertahan walau kondisinya tidak seperti dulu. Mereka berada di bisnis ini dari jaman susah sampai booming dan sekarang susah lagi. Walau tidak menguntungkan tapi mereka survive.


Usulan konkret ASIRI ke pemerintah untuk menyelamatkan industri ini?


Perhatian pemerintah sampai detik ini kurang, bahkan tidak ada sama sekali. Sedang pusing kayaknya dengan semua permasalahan yang ada di Indonesia [Tertawa]. Saya yakin industri ini tidak masuk skala prioritas. Mungkin peringkat kami dibawah ke-20 dalam prioritasnya. Kami sudah bertemu Kapolri juga dan mendapat tanggapan yang bagus. Dia sudah menginstruksikan masing-masing Polda untuk melakukan pemberantasan barang bajakan. Hanya saja kami sering melaporkan kasus pembajakan berikut kesaksiannya, cuma tidak tahu kasusnya bakal berlanjut atau tidak. Kami tidak bisa terus menerus memonitor.


ASIRI terkesan putus asa dalam memberantas pembajakan?


Tidaklah. ASIRI tidak pernah putus asa dalam memberantas bajakan. Tapi tetap saja semuanya terpulang kembali kepada pemerintah dan aparat penegak hukumnya. (Wendi Putranto)


 


 


Box 3:


 


INDONESIA SARANG PEMBAJAK


 


Laporan terbaru menempatkan Indonesia di Top 10 Priority Countries pembajakan musik dunia


 


Sekali lagi negara ini dipermalukan di tingkat internasional karena ulah pembajak musik. Berdasarkan laporan tahunan terbaru federasi industri rekaman dunia, IFPI [International Federation of the Phonographic Industry], Indonesia masih berada dalam daftar “10 Priority Countries” pembajakan musik di seluruh dunia bersama Brazil, Kanada, Yunani, Korea Selatan, Cina, Italia, Meksiko, Rusia dan Spanyol. Indonesia “mempertahankan prestasi” berdasarkan tiga kriteria: rendahnya tingkat keseriusan pemerintah dalam memberantas pembajakan, mewabahnya trend lokal pembajakan dan pentingnya pasar musik legal Indonesia di mata dunia [Versi IFPI tahun 2004 pasar musik kita peringkat ke-33 di dunia]. Laporan tersebut menyebutkan bahwa tingkat pembajakan rekaman fisikal [CD, kaset, DVD, VCD] telah mencapai level akut, 88%! Ini berarti hanya 12% saja produk rekaman legal yang beredar di seluruh Indonesia. Diperkirakan sepanjang tahun 2005 jumlah rekaman fisikal bajakan yang beredar di Indonesia telah mencapai lebih dari 170 juta keping dan negara telah dirugikan sedikitnya US$ 70 juta atau Rp 630 milyar. Menurut IFPI, ada 40 pabrik perekam CD di seluruh Indonesia namun hanya 24 pabrik saja yang terdaftar secara resmi di Kementerian Perindustrian. Aparat kepolisian dinilai sering tidak berkoordinasi dengan pihak industri rekaman saat melakukan razia bajakan sementara pemerintah juga dianggap lamban dalam menanggulangi pelanggaran berat hak cipta ini. Pembajakan musik tahun lalu menurut IFPI mengalami “kemajuan” karena produk bajakan Indonesia telah mulai diekspor ke benua kangguru, Australia. Setelah dituduh menjadi sarang teroris maka bertambahlah predikat Indonesia: Sarang pembajak! (W.P.)


  


 


Box 4:


 


Top 10 Label Rekaman Penjualan Terbesar 2006


 



  1. Musica Studio’s

  2. SonyBMG Music Entertainment Indonesia

  3. EMI Music Indonesia

  4. Universal Music Indonesia

  5. Virgo Ramayana Records

  6. Aquarius Musikindo

  7. Swara Sapta Gita

  8. Warner Music Indonesia

  9. Dian Pramudita Kusuma (Prosound/Trinity)

  10. Arga Swara Kencana Musik (Blackboard)


Sumber: ASIRI [Asosiasi Industri Rekaman Indonesia]

Komentar

  1. ini nih yang paling norak sumpe dehhh..ada apa yah dengan KCI, sampe TELKOMSEL kemaren mau drop produk RBTnya, kalo di drop mampus aja tuh label2...

    artikel yang bagus wenz.... gua punya beberapa temen yang udah ada demo tapi impiannya jadi kayak UNGU atau apapun yang laris secara komersial (pleh!!), gua bilang ke dia "udah simpen demo loe... benerin kuliah lu dulu... maen musik di hari ini bukan hal yang bijaksana heheheh"

    BalasHapus
  2. gue masih gak ngerti kelakuan KCI (atau YKCI?) yang nagih-nagih royalti ke radio dan sarana komersil (restoran, toko, dll) yang memasang lagu artis naungannya dengan alasan menuntut hak para artis-artisnya. emang musisi dirugikan ya kalau lagunya diputar di radio atau restoran? bukannya radio adalah sarana promosi klasik buat musisi untuk mempromosikan lagu-lagu mereka, jadi kalaupun diputar kondisinya adalah win-win situation antara radio dan musisi? maaf kalo pertanyaan ini kayaknya sangat naif.

    masalah karir jadi musisi, kayaknya jaman sekarang justru kalo mau sukses gak usah serius-serius amat bermusik. yang bikin lagu asal menye, suara fals, skill mines, mixing berantakan, mastering (sepertinya) gak ada malah terbukti laris. liat aja kangen band.

    BalasHapus
  3. YKCI emang nggak ada kerjaan makanya nyari duitnya nagih-naighin royalti yang bukan hak dia juga. :)

    BalasHapus
  4. test the water yan...
    coba seringai daftar ke KCI...terus setahun nanti coba lu minta hak lu... mau tau gua dibayar beneran gak sih...

    BalasHapus
  5. kalau begitu ntar malam ikutan ke splash yah, wenz! itu loh ketemu sama forum para manager yang sebulan lalu gw ajakin tea...
    dan buat yang merasa dirinya manager band atau bekerja buat artist management, u r welcum to cum! hehehe... di splash, malam ini, jam 19.30 wib =)
    c u...

    BalasHapus
  6. Thanks, Man. Gimana album lu udah kelar mixing & mastering belom? Pengen denger gue hehe.

    BalasHapus
  7. Terimakasih. Baca edisi cetaknya juga dong hehe.

    BalasHapus
  8. Gue pikir semuanya salah, ded. Labelnya nggak bikin rules yang jelas tentang pembagian royalti antara artis dengan label, KCI nagih tanpa ada kejelasan status mereka sebagai lembaga publik, pemerintah atau swasta, Telkomsel juga serakah mentang2 teknologinya mereka yang kuasai. Yang tetep melarat yah penulis lagunya.

    Saran yang bijaksana tuh hahaha... Posisi paling aman sekarang di industri musik mending jadi manajer artis atau produser. Tolong disampaikan dah hehe.

    BalasHapus
  9. Secara teori sih KCI gak salah. Cuma legalitas mereka sebagai lembaga aja yang masih blm jelas statusnya. Sebagai collecting royalty society mereka bergerak sesuai dengan pedoman internasional untuk menagih royalti bagi para anggota mereka yang terdiri dari penulis lagu sampai komposer. Karena mereka juga anggota asosiasi collecting royalty sedunia otomatis sekitar 2 juta pengarang lagu di dunia yang menjadi anggotanya berhak menagih royalti mereka di Indonesia via KCI.

    Dalam Karya Cipta aka copyrights ada dua hal yang mesti dipenuhi yaitu Performing Rights [Hak Mengumumkan] dan Moral Rights [Hak Moral]. Sementara Mechanical Rights biasanya menjadi hak label rekaman major karena master rekaman menjadi milik mereka selamanya.

    Performing Rights itu mengatur tentang royalti yang harus dibayarkan oleh sebuah institusi [radio, cafe, bar, restoran, dsb] yang mengudarakan lagu-lagu yang didaftarkan karya ciptanya. Hak Moral itu adalah hak mencantumkan nama pengarang lagu pada karyanya dan ini hukumnya wajib sesuai UU Hak Cipta th 2002.

    Permasalahannya disini sejauh mana KCI itu accountable dan dapat dipercaya integritasnya dalam meningkatkan kesejahteraan anggotanya. Itu aja. Feeling gue kok dikorup gila-gilaan ya?

    Lu bayangin kalo sistem penagihan royalti performing rights dan penyalurannya disini beres sebagai musisi yang udah kagak produktif seumur idup mereka bisa dapet "pensiun" dari sini, just like pegawai negeri.

    Contohnya, lagu "My Way" Frank Sinatra itu setiap tahunnya berhasil mengcollect royalty 20 juta dollar US. Mantep kan.

    BalasHapus
  10. kalo udah kelar deadline ye, say. hehe. oke juga tuh kayaknya.

    BalasHapus
  11. iya, lumayan seru.. pembahasannya seputar artikel lo ini juga, wenz! (selain saling membagi link manggung tentunyaaa) hehehe... =D
    pasti kamyu demen dah!

    BalasHapus
  12. Hi, can I have the sales figures of Mariah Carey, Celine Dion in Indonesia? Thanks.

    BalasHapus
  13. Hallo Lauhohoi,

    It was very difficult to get that kind of information here in Indonesia. I suggest you directly contact their own representative label, maybe they can help you. Thanks :)

    BalasHapus
  14. Hi, so do you have the year book? Or a full list of gold and multi-platinum certifications?
    Or a yearly total album sales?
    Thanks.

    BalasHapus
  15. Wen,, sumpahnya wen,, artikel lo yang ini bener2 sangat2 membantu skripsi gw wen,,,
    hehehehe,,,,, thanks berat pren,,,,,, ada nih di footnote, ntar di kata terima kasih, gw masukin lo deh,,, =)
    cheerrrsss.....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

IKJ: SCHOOL OF ROCK [Editor's Cut]

LED ZEPPELIN Reunion 2007: The Full Report From David Fricke