Indonesian Noise Conspiracy Live 2005

Rating:★★★★
Category:Music
Genre: Rock
Artist:THE [INTERNATIONAL] NOISE CONSPIRACY Live In Jakarta
Supporting acts: That’s Rockefeller, Burning Inside, Jimi Multhazam & Riann Pelor
Barbados Café, Kemang, Jakarta. August 18th 2005


Dari Swedia dengan romantika revolusi dansa-dansi

Promotor melakukan review atas konser yang dibuatnya sendiri? Resistensi terkadang menjadi tidak begitu bertaji ketika Anda adalah pendatang baru dalam sebuah institusi. Jika saja senior editor saya tidak begitu gila, sudah barang tentu tugas yang tidak bebas nilai-bebas kepentingan ini jatuh ke tangan saya. Oleh karena itu, keberpihakan dengan ini saya anggap sebagai interest yang wajar atas kerja keras tim selama tujuh bulan. Bayangkan, bagaimana obyektivitas bisa dikedepankan dalam sebuah resensi jika posisi tiba-tiba bergeser hanya dalam hitungan hari. Oke, oke, saya akui ini sebuah apologi!

Konser The (International) Noise Conspiracy (T(I)NC) kali ini adalah konser ketiga mereka selama menggelar tur konser di Indonesia. Sebelumnya mereka tampil di festival Soundrenaline Semarang dan club show di Kama Sutra, Bali. Mungkin dari semua konser mereka di republik ini, club show Barbados Café adalah yang paling kita antisipasi dengan besar. Setelah “insiden” Kama Sutra yang hampir membuat jantung promotor copot, The (International) Noise Conspiracy sebelumnya telah berjanji kalau mereka bakal tampil all-out di Jakarta. Ini mengingat fan base band ini sebenarnya justru terkonsentrasi di kota Jakarta dan Bandung. Agak ironis memang ketika mendengar kabar para sponsor ternyata justru menolak untuk mendukung konser mereka di kota-kota ini. Yah, persetanlah, after all, the show must go on.

Konser malam itu dibuka dua band lokal keren, That’s Rockefeller dan Burning Inside serta sepasang stand-up comedian paling hot di ibukota saat ini, Riann Pelor dan Jimi Multhazam. Keduanya adalah emcee dari neraka paling jahanam. Nama pertama merupakan vokalis band Dagger Stab dan nama terakhir adalah vokalis The Upstairs. Kombinasi ajaib antara pemuja emo dan pengemoh emo. Tidak direkomendasikan untuk memandu acara dugem atau formal karena aslinya mereka memang terlahir untuk menjadi MC atas nama R.O.C.K. Oh ya, tarif bersaing! Grrrrr…

That’s Rockefeller bermain cukup bagus walau terkesan kurang “lepas”. Semestinya mereka bisa lebih gila lagi dari malam itu. Aufa, vokalis, sempat bercerita kalau dia sebenarnya nervous malam itu. “Gue selalu nervous kalau manggung di mana saja,” ujarnya belum lama ini di markas Rolling Stone. Set mereka malam itu berdurasi sekitar tiga puluh menit dengan menggelontorkan lagu-lagu seperti, “Kertas Putih”, “Bercinta di Busway”, “Murni tanpa Dicampur” hingga “Sweet Mary Jane”. Terus terang, saya merindukan departemen keyboards kembali aktif di band ini.

Burning Inside mengambil alih panggung beberapa saat kemudian. Set list mereka malam itu di dominasi dari sophomore album, A Mind Blowing Detonator. Band ini memang cukup mengingatkan saya pada Refused, bekas band hardcore vokalis T(I)NC, Dennis Lyxzen. Beberapa hardcore kids yang tidak peduli T(I)NC karena datang hanya untuk menyaksikan dinamika visual eks-frontman Refused ini akhirnya mulai memberanikan diri untuk membentangkan lingkaran mosh. “It’s So Easy” dari Guns N’ Roses yang menjadi hidden track di album mereka juga ikut dimainkan. Menjalin komunikasi interaktif dengan audiens dan koreografi aksi panggung mungkin bisa jadi agenda selanjutnya.

“Black Mask” dari album Armed Love menjadi nomor pembuka konser T(I)NC. Lima bule anarko asal Umea, Swedia mulai melancarkan aksinya. Lars Stromberg (gitar), Inge Johansson (bass), Ludwig Dahlberg (drums), Kalle Jacobson (keyboards) dan Dennis “The Chairman” Lyxzen (vocal) seakan memperkenalkan audiens kepada praksis komunis di band ini melalui outfit mereka yang berseragam. Merah menyala mendominasi panggung, semakin kontras dengan background dinding yang berwarna hitam. Cukup anarkis? Menyusul kemudian mereka lepas “Let’s Make History”, “Communist Moon” dan “A Small Demand”. Walau masih asing karena album-album T(I)NC belum resmi beredar di Indonesia, namun penonton pada fase ini sudah merapat ke depan barikade besi yang mungkin baru pertama kalinya terpasang di venue ini. Quiet hectic.

Entah mengapa, saya selalu menyukai vibe yang terbangun pada sebuah konser band internasional. Begitu tinggi ekspektasi, begitu intim, begitu intens emosi tercurahkan di antara penonton. T(I)NC sendiri menurut saya berhasil menjaga fokus perhatian penonton pada mereka dengan hebatnya. Dennis yang begitu piawai dalam mengolah mike sebagai atraksi, Lars yang memesona penonton dengan aksi menggesek mike ke leher gitar hingga permainan keyboards yang brilian menerawang dari session player Kalle Jacobson seakan membayar tunai keterasingan penonton pada lagu-lagu mereka. They’re just so damn good live. Untuk sektor stamina tentu jangan ditanya lagi. Menjadi vegetarian atau vegan mungkin perlu dicontoh rocker-rocker kita? Nah, jangan terlalu dipikirkanlah.

Mosh pit mulai pecah dengan sing-along ketika “Smash It Up” berkumandang. Lagu dari album Survival Sickness ini memang cukup populer. Ada scene menarik di lagu ini. Lyxzen yang lengan kirinya diperban karena terkilir sewaktu berenang di Bali sempat “bermasalah” saat beraksi melempar mike ke udara. Niat hati ingin menahan jatuhnya di dada, namun apa daya, sang mike ternyata malah jatuh menghantam tulang bahunya sendiri. Ouch! Rasa sakit pun dibayar dengan senyuman nan profesional. Ehm…

Setelah atraksi petak umpet yang standar, T(I)NC menggeber dengan encore tiga lagu sekaligus. “Capitalism Stole My Virginity” yang nampaknya sangat ditunggu seluruh penonton akhirnya sukses menjadi menjadi anthem pemersatu. The Chairman kembali beratraksi dengan menjejakkan kakinya di antara kerumunan tangan penonton di tengah-tengah lagu ini. “Dream is Over” dan “Armed Love” menyudahi konser T(I)NC tanpa basa-basi lagi. Satu jam sepuluh menit terlewatkan dengan indah, seindah outro “Power To The People” milik John Lennon yang berkumandang megah. Lima orang gentlemen berdiri tegak mengepalkan tangan di udara. Revolusi tidak berhenti sampai di sini…

WENDI PUTRANTO

T[I]NC photo by: Probo

[Rolling Stone Magz - Oktober 2005]

Komentar

  1. gue nggak terlalu menikmati lagu-lagunya The [International] Noise Conspiracy.. hanya saja, live mereka begitu powerful dan menjadi sebuah entertainment sendiri. Keren.

    BalasHapus
  2. aduh jadi ga enak nih, nyesel gua soalnya waktu sebelum lagu terakhir org2 kan pada tereak2 request lagu t(i)nc (dennisnya ampe kesel ngomong 'i'm not a jukebox!')...eh gua malah teriak 'New Noise!' terus yg laen pada ikutan gitu...akhirnya dennis ngeliat gua terus ngomong 'if you want new noise, than you should start your own band' kalimat itu akan selalu gua ingat dari pahlawan hardcore-ku heheheh.... ngarepnya siapa tau t(i)nc bawain lagu refused....ya mau gimana lagi....aku kangen refused...(imo refused are 10 times better than t(i)nc)... ;(

    btw sori nebeng numpang lewat

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

IKJ: SCHOOL OF ROCK [Editor's Cut]

LED ZEPPELIN Reunion 2007: The Full Report From David Fricke