Back to the Future Sound of Media Distorsi

Media Distorsi: Indra7 dan Agus Sasongko. (Foto: myspace.com/mediadistorsi)



Menelusuri jejak salah satu album electronica terbaik beserta 

akar dari grup musik yang merintis semuanya. 


Oleh Wendi Putranto

 

Salah satu kenikmatan merayakan Hari Buruh di masa pandemi seperti sekarang ini tentunya dengan bersuka cita menyambut rilis digitalnya secara resmi Chapter 01: The Beginning milik Media Distorsi. Bayangkan, setelah teronggok dalam peti besi selama hampir delapan belas tahun lamanya, akhirnya generasi Milenial dapat menikmati satu dari sedikit saja rilisan terbaik kancah electronica Indonesia awal dekade 2000-an.

Saya sendiri kaget ketika pertama kali dikabarkan bahwa album ini akan dirilis secara digital oleh Anoa Records. Mengapa? Karena ini artinya Indra7 sebagai satu-satunya personel yang tersisa telah mendapat lampu hijau dari kompatriotnya sendiri di Media Distorsi yang kini sudah mundur sepenuhnya dari dunia musik untuk serius berdakwah dan merintis usaha kedai burger di kawasan Kemang.

Chapter 01: The Beginning adalah harta karun yang datang dari jaman sebelum istilah EDM, dubstep maupun Dipha Barus berkelindan di berbagai kelab malam Indonesia. Ia bersanding apik bersama rilisan milik rekan-rekan satu liga terbaik seperti Teknoshit (Yogyakarta), Electrofux (Bandung/Bali) dan Mobilderek (Bandung). Album eklektik bermuatan 10 lagu ini adalah format mutakhir rebusan musik digital-analog dalam spektrum electronica yang sangat luas, mulai dari downtempo/triphop, techno, rock, jazz, trance hingga jungle/D&B. Saya akan meninggalkan kalian untuk membentuk persepsi sendiri tentang album ini setelah mendengarkannya dan lebih tertarik untuk kembali ke masa-masa dimana Media Distorsi dan grup musik sebelumnya yang menjadi akar kolaborasi diantara mereka berdua mulai terbentuk.  



Kurun waktu 2001-2002 yang sejalan dengan proses penggarapan Chapter 01: The Beginning patut diingat sebagai masa-masa paling berbahaya di Indonesia bahkan pula di dunia. Akhir Juli 2001, Presiden Abdurrahman Wahid digulingkan kekuasaannya oleh DPR dalam sebuah drama parlemen menegangkan. Gus Dur yang melawan upaya pelengseran dirinya merespons dengan mengeluarkan Dekrit Presiden yang berisi pembubaran DPR dan Golkar pada akhirnya harus rela terusir dari Istana Merdeka dengan hanya mengenakan celana pendek.



Kemudian pada 11 September 2001 giliran New York City diguncang tragedi. Gedung Kembar WTC kolaps ditabrak dua misil udara berbentuk pesawat terbang yang dibajak oleh para teroris binaan Osama Bin Laden. Tercatat lebih dari 3000 orang tewas secara mengenaskan. Selang setahun kemudian giliran Pulau Dewata diluluhlantakkan oleh bom milik gerombolan teroris Imam Samudra dan kawan-kawan hingga menelan korban 200-an orang tewas, kebanyakan turis mancanegara. Beberapa peristiwa besar yang kemudian mengubah tatanan dunia untuk selamanya tersebut bagaikan menjadi soundtrack mengerikan dari perjalanan Media Distorsi.

  

 


Agus Sasongko dan Indra 7 adalah duo pionir electronica yang membentuk Media Distorsi. Walau memainkan musik dugem siapa sangka jika kedua individu ini pada awalnya justru bukan kerabat dunia gemerlapan ibu kota, melainkan anak metal dan hardcore pada jamannya masing-masing. Asong (julukan bagi Agus Sasongko) semasa SMA adalah drummer dari sebuah band yang kerap meng-cover Kreator hingga Metallica. Sementara Indra adalah gitaris band hardcore yang kerap memainkan nomor-nomor cepat milik Sick of It All. Baru pada perjalanan berikut hingga dua puluh tahun kemudian ia menyandang nama baru sebagai DJ Indra7 dan memulai petualangan serunya menjelajahi berbagai kelab malam dan bar di Asia Tenggara untuk menyebarkan kegembiraan pada riuh rendahnya pesta.    

Media Distorsi memang terbentuk di awal dekade 2000-an namun sesungguhnya jejak kolaborasi diantara keduanya dapat kita telusuri dari reruntuhan grup pionir techno rock bernama Agus Sasongko featuring Future Sound of Pejaten (FSOP). Saat itu Asong baru saja menuntaskan kuliahnya di Melbourne, Australia. Selama studi di Negeri Kangguru itu ia kepincut dengan musik electronica dan “berguru” dengan Josh Abrahams, dedengkot electronica Australia yang sempat mengibarkan Future Sound of Melbourne dan pada 2001 berkolaborasi dengan sutradara Baz Luhrmann menggarap soundtrack film Hollywood, Moulin Rouge.

Kepulangan Asong ke tanah air saat itu disambut penuh suka cita oleh media massa. Tentunya karena ia membawa dua “oleh-oleh” istimewa bernama musik electronica dan seperangkat instrumen musik digital yang masih asing di sini, groovebox alias Roland MC-303. Saya sendiri sempat menyaksikan penampilan pertama Asong di layar televisi nasional yang disiarkan secara langsung dari markas Radio Prambors pada sebuah sore di tahun 1996.

Kepulangan Asong ke tanah air saat itu disambut penuh suka cita oleh media massa. Tentunya karena ia membawa dua “oleh-oleh” istimewa bernama musik electronica dan seperangkat instrumen musik digital yang masih asing di sini, groovebox alias Roland MC-303.

Mungkin ini menjadi momen mainstream pertama bagi publik tanah air terpapar musik techno/electronica. Angga dan Irfan (keduanya penyiar Prambors pada era '90-an) yang menjadi host acara tersebut tampak antusias bertanya-tanya kepada Asong yang saat itu terlihat bangga sekali mendemonstrasikan sihir dari kotak musik ajaib miliknya. Sejak kemunculannya di TV ini nama Agus Sasongko perlahan makin menanjak di kancah musik ibukota.

Asong juga sempat diajak kolaborasi dengan band Gigi menghadirkan bebunyian drum loop dari kotak musik ajaibnya tadi pada intro salah satu hit terbesar mereka yang rilis pada awal 1998, “Terbang.” Ia bahkan sempat tampil pula menjadi cameo pada video musik single tersebut.

Selain itu, salah satu lagu Asong juga pernah diminta mengisi soundtrack film omnibus independen berjudul Kuldesak karya sutradara Riri Riza, Mira Lesmana, Nan T. Achnas dan Rizal Mantovani. Film yang diperankan Ryan Hidayat, Oppie Andaresta, Bianca Adinegoro dan Wong Aksan ini memiliki jalan cerita yang unik karena masing-masing karakternya tidak pernah bertemu atau berinteraksi sama sekali di dalam film. Rilisnya film ini kemudian ditahbiskan sebagai momen kebangkitan kembali industri film nasional yang sempat mengalami mati suri. Status Kuldesak sekarang menjadi cult diantara para penggemar film Indonesia.



Kembali ke Agus Sasongko. Pada akhir 1996, ia resmi dikontrak oleh Dodo “Master Mix” Abdullah, seorang eksekutif A&R Independen Records, sub-label milik Aquarius Musikindo dan merilis ulang album debut berjudul Myself dalam format kaset. Sebelumnya album tersebut sempat diedarkan pula oleh Asong di Australia.

Namun belakangan Asong merasa jenuh tampil sendirian. Ia lantas mengajak mantan teman SMA-nya yang juga vokalis band hardcore Full of Shit, Andi Cule, untuk bergabung di proyek musik terbaru miliknya. Cule kemudian mengajak pula beberapa kawannya yang lain ke dalam line-up; gitaris Indra, vokalis kedua Dedi, dan bassist Wawan. Voila, maka terbentuklah Future Sound of Pejaten!

“Gue pengen agar musik yang gue mainkan ini nggak cuma bunyi-bunyian yang berasal dari synthesizer atau mesin aja, tapi juga merupakan keinginan gue untuk memanusiawikan musik ini. Biar nggak nipu,” jelas Asong kepada majalah Brainwashed terkait dibentuknya FSOP di pertengahan 1997.  

Mengapa Asong menamakan kelompoknya sebagai Future Sound of Pejaten? Pertama, karena ia berdomisili di daerah Pejaten, Jakarta Selatan. Kedua, “karena kedengarannya asik aja… Tadinya malah rencananya mau gue namain Future Sound of Jakarta, tapi kayaknya norak gitu, makanya gue ganti pakai nama daerah rumah gue aja, Pejaten, hahaha,” imbuh Asong lagi seraya tertawa namun tanpa maksud bercanda.

Agus Sasongko featuring Future Sound of Pejaten. Dari kiri ke kanan: Agus Sasongko,
Wawan, Andi Cule, Dedi dan Indra. (Foto: Brainwashed Magazine)

Masuk pertengahan 1997, anak-anak muda Jakarta tengah keranjingan musik electronica/big beat/rave/techno dari The Prodigy, Chemical Brothers hingga Fatboy Slim. Hits ketiga artis tersebut seperti “Firestarter”, “Block Rockin’ Beats” hingga “Right Here Right Now” menjadi heavy rotation di berbagai playlist stasiun radio maupun layar televisi ANTV yang menyiarkan program MTV di tanah air. Kondisi ini jelas menguntungkan bagi Agus Sasongko feat. FSOP yang kemudian banyak menerima berbagai tawaran pementasan. Tak sedikit pula yang kemudian menyandingkan Agus Sasongko feat. FSOP sebagai jawaban Indonesia atas The Prodigy.

Panggung demi panggung mulai dijajah oleh Agus Sasongko feat. FSOP, mulai dari tampil di acara musik IKJ bersama Naif di kawasan Taman Ismail Marzuki hingga mentas di pesta rilis album debut milik Waiting Room di Poster Café, sebuah kelab legendaris yang berada di halaman Museum Satria Mandala, Jalan Gatot Subroto. Semua pentas ini mendapat respons yang meriah dari para penonton walaupun mereka tetap bersikeras hanya menggeber karya milik sendiri.

Di sela-sela kesibukan manggung, Agus Sasongko feat. FSOP menyempatkan pula bertandang ke Studio Gins di Jakarta Barat untuk merekam album penuh pertama mereka yang bertajuk (+/-). Album ini rilis dalam format kaset pada awal 1998, masih di bawah bendera Independen Records. Berbeda dengan album debut yang cenderung sarat bebunyian “mesin”, rilisan kedua ini cenderung organik, tanpa kompromi dan ngebut dalam jalur bebas hambatan techno rock. Walau produksi akhir rekaman ini terasa kurang nendang namun ada beberapa nomor menarik di album tersebut yang patut di highlight. Di antaranya “Ultraviolet”, “Jatuh”, “Mentari Malam” hingga “Sakit.” Nomor yang terakhir disebut, pada 2005 sempat di mixing dan mastering ulang untuk masuk ke album soundtrack film Dealova.



Sayangnya, album (+/-) ini gagal secara komersial di pasaran. Tak lama setelah rilisnya, badai krisis moneter menghantam Indonesia yang menyulut maraknya demonstrasi mahasiswa, penjarahan, kerusuhan sosial hingga berakibat tumbangnya diktatorial Orde Baru – Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun lamanya.

Setelah menghilang nyaris di sepanjang 1998, nama Agus Sasongko feat. FSOP sempat menjadi bahan perbincangan kembali saat promotor Java Musikindo menunjuk mereka untuk menjadi band pembuka konser perdana Arkarna di Bengkel Nightpark, Jakarta Pusat pada 9 September 1998. Pasca konser tersebut nama mereka perlahan mulai meredup sebelum akhirnya sejenak berganti menjadi Liquid (menyisakan Agus Sasongko, Andi Cule dan Indra 7) dan kemudian berubah lagi menjadi Media Distorsi seperti yang kita kenal hingga akhir hayatnya.   


Chapter 01: The Beginning telah dirilis ulang secara resmi pada 1 Mei 2020 ke berbagai layanan streaming musik digital oleh Anoa Records.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IKJ: SCHOOL OF ROCK [Editor's Cut]

LED ZEPPELIN Reunion 2007: The Full Report From David Fricke