The Rolling Stone Interview: GLENN FREDLY

Glenn Fredly dalam sebuah sesi rekaman di Studio Lokananta, Solo, 21 Maret 2012. (Foto: Wendi Putranto)


Guna mengenang kepergian salah seorang sahabat-seniman-cum-pejuang kemanusiaan terbesar yang pernah dimiliki oleh negara ini, saya unggah kembali feature yang pernah saya tulis untuk majalah Rolling Stone Indonesia pada edisi April 2010, tepat sepuluh tahun yang lalu. Sesuai khitahnya, The Rolling Stone Interview merupakan sebuah tulisan khas nan mendalam yang menyoroti sepak terjang tokoh-tokoh terkenal dari dunia musik, budaya pop atau politik. Pada edisi Amerika Serikat sendiri biasanya feature sakral ini ditulis oleh Jann S. Wenner. 

Oleh: Wendi Putranto

* * *


Akhir pekan di akhir Februari 2010, saya bertemu Glenn Fredly di kamar lantai teratas Hotel Century Park, Jakarta Pusat. Sebelumnya kami telah berjanji untuk melakukan sebuah rally wawancara, mungkin yang terpanjang, terjujur dan paling blak-blakan dalam kariernya selama lebih dari 15 tahun di industri musik. Ia menetap sementara di hotel untuk menunggu berlangsungnya konser solonya yang digelar gratis di areal depan FX Lifestyle Center, Jakarta tersebut.

Beberapa jam menuju pementasan ia sempat melakukan signing session CD terbaru di sebuah gerai musik di FX bagi sekitar seratus orang penggemarnya yang tak hanya terdiri dari perempuan namun juga pria-pria dewasa. Dua orang penggemar perempuan Glenn di antaranya merupakan mahasiswi Trisakti, masing-masing bernama Verda dan Cindy. Mereka sempat gugup dan histerikal ketika berhadapan dengannya.

Keduanya berdandan seperti layaknya pergi ke pesta. Mengaku sebelumnya pergi ke salon dulu demi menyaksikan konser Glenn dan berfoto bersama dengannya. Mereka bahkan tak ingin beranjak pergi sebelum sang idola mendaratkan ciuman di pipi kiri dan pipi kanan masing-masing.

“Suaranya, lirik-lirik lagunya yang romantis dan menyentuh, oh my God, membuat gue melayang-layang, gue yakin dia adalah pacar impian setiap cewek,” jelas Verda, yang mengaku sejak SD telah menggemari Glenn.

“Vokalnya Glenn benar-benar khas, mendengar suaranya aja gue udah tahu kalau dia adalah tipe pria yang romantis banget,” ujar Cindy yang berusia 19 tahun.     

Ketika masuk ke kamar hotel saya disambut dengan ramah oleh Anastika Ardiana, personal assistant Glenn yang sangat sigap dan cekatan serta selalu murah senyum kepada siapa saja. Glenn duduk di sofa warna krem mengenakan T-shirt hijau bertuliskan Music is My Business, jaket parasit silver dan trucker cap Green Light tampak asik membaca edisi terakhir majalah yang Anda pegang ini. Yang cukup mengejutkan ia tampak gemuk, kontras dengan gosip HIV yang menerpa dirinya di stasiun televisi nasional manapun. “Gilaa, berat badan gue naik drastis 10 kilogram,” ujarnya, “selesai sudah masa-masa gue menjadi vegetarian.” Angka ini akurat karena kebetulan di dalam kamar mandi hotelnya terdapat timbangan. 

  Di kampus yang mahasiswanya dominan pemeluk Kristiani itu Glenn membuka sesi presentasinya secara mengejutkan, “Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh.”


Berbeda dari tiga bulan sebelumnya, waktu itu ia tampak sangat kurus dan hanya menyantap sayur serta buah-buahan. Ketika terakhir kali kami bertemu ia menjadi pembicara di acara tur buku saya, Rolling Stone Music Biz On Campus, di Kampus Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Di kampus yang mahasiswanya dominan pemeluk Kristiani itu Glenn membuka sesi presentasinya secara mengejutkan, “Assalamualaikumwarrahmatullahi wabarakatuh.”

Sekitar 600 orang peserta workshop yang sebagian besar mahasiswi – dan sepertinya penggemar sejati Glenn – tampak sangat terkejut. Begitu pula halnya saya. Glenn mengulangi sapaan Islami itu hingga beberapa kali sampai menerima jawaban dari peserta yang terdengar keras olehnya. Barulah di akhir ia meneriakkan kata “Shaloom.” Rasanya tak perlu lagi dijelaskan seberapa keras salam kali ini dijawab oleh para peserta temuwicara.

Saya pertama kali bertemu dengannya di suatu senja di pertengahan tahun 1995. Tepat di pinggir Jalan Hang Lekir I, persis di depan warteg dekat kampus Universitas Prof. DR. Moestopo (Beragama), Jakarta. Glenn Fredly adalah nama yang telah diperkenalkan olehnya ketika kami berjabat tangan, jauh sebelum nama ini menjadi sangat besar di kemudian hari dalam industri musik nasional. Kebetulan hari itu adalah hari pertama kami menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi dan sedang menjalani Penataran P4. Ia absen dari ospek yang diadakan sepekan sebelumnya.

Saat itu Glenn mengenakan kemeja putih lengan panjang digulung serta mengenakan celana panjang bahan warna hitam dan sepatu pantofel hitam pula. Dipundak kirinya tergantung backpack hitam, seperti tren anak kuliahan jaman itu. Tubuhnya masih kurus kerempeng dengan gaya rambut crew cut. Ia mengaku bekerja di sebuah klub jazz terkemuka, Jamz, di kawasan Melawai, Blok M (Kini menjadi Hotel Neo).

Pikir saya saat itu mungkin ia menjadi pramusaji di sana, sampai akhirnya ia menghilang begitu saja dari kampus dan saya sangat terkejut ketika “menemukannya” lagi beberapa tahun kemudian sedang beraksi di layar televisi. Glenn Fredly telah menjadi vokalis Funk Section dan akhirnya berkembang menjadi salah satu penyanyi solo pria paling sukses di negara ini yang mungkin telah menjual jutaan keping album rekaman dan tentunya – bukan tidak masuk akal - puluhan atau bahkan ratusan juta lainnya dalam bentuk kaset/CD bajakan.      

Total kami menghabiskan waktu sekitar lima jam lamanya untuk berbincang-bincang di tiga tempat berbeda. Selain di kamar hotel, di kantor manajemen Glenn di kawasan Radio Dalam,  juga di rumahnya yang bertingkat dua namun terbilang sederhana di Kampung Ubud Bali View, Cirendeu (dimana ia sempat cerita kalau bertetangga pula dengan aktor Surya Saputra).

Ketika tiba di siang hari terik di kediamannya bersama fotografer Ludmila Gaffar untuk sesi pemotretan, kami disambut makan siang sayur lodeh, ikan asin gepeng, ayam goreng yang sangat lezat buatan Mamah Linda, ibunda Glenn. Ikut menemani kakaknya saat itu adalah adik perempuan ketiga Glenn yang bernama Hedlin.

Selama kami berada di sana, Glenn memantau dengan saksama keributan yang terjadi di saat digelarnya Sidang Paripurna DPR tentang Skandal Bank Century. Beberapa kali ia mengumpat dan mengungkapkan kekesalannya menyaksikan wakil-wakil rakyat bertindak - persis seperti cemoohan mendiang Presiden Gus Dur dulu – seperti anak-anak TK. Seharian itu Glenn juga sempat berenang, bermain basket, menggenjot sepeda lipat dan mengajak Melody berjalan-jalan keliling komplek rumahnya. Nama yang terakhir disebut adalah jenis anjing Chow Chow kesayangannya yang sangat lucu.      

Ketika kami melakukan wawancara panjang ini Glenn belum lama melepas album terbarunya yang kesepuluh sekaligus terakhir bersama major label internasional Sony Music Entertainment Indonesia, Lovevolution. Ia pun telah resmi bercerai dengan Dewi Sandra, masih terus digosipkan menderita HIV dan masyarakat digegerkan dengan rencana dirinya untuk mengundurkan diri dari pentas musik untuk selamanya.


Berlanjut pada peristiwa berikutnya. Pada hari kedua Java Jazz International Jazz Festival 2010 yang untuk pertama kalinya digelar di JIEXPO Kemayoran, saya terjebak di tengah-tengah kerumunan super padat para penonton yang antri hendak menyaksikan penampilan Glenn Fredly. Ribuan penonton yang mayoritas kelas menengah ke atas yang kepanasan karena berhimpit-himpitan ini mendadak berubah liar serta berteriak-teriak bagaikan supporter sepakbola.




Mereka mendesak panitia agar membuka pintu dan membiarkan mereka masuk padahal suasana di dalam hall A2 sudah melebihi kapasitas dan penuh sesak. Di dalam koridor beberapa perempuan pingsan dan yang lain mulai berteriak-teriak karena hampir jatuh terinjak. Sedikit saja insiden terjadi maka  konser ini bisa berubah menjadi tragedi. Ironisnya, sayup-sayup dari kejauhan terdengar Glenn Fredly dan bandnya tengah memainkan nomor “Lovevolution”.  

Sekilas terdengar semua penonton Java Jazz ini berebutan ingin menyaksikan konser Glenn Fredly karena mendengar kabar rencana mundurnya ia dari industri musik. Semua orang seperti ingin ikut ambil bagian menyaksikan sebuah konser bersejarah.

Perbincangan kami cukup panjang dan meliputi banyak hal personal dan profesional dalam dirinya. Tentang album terbaru, gosip HIV, rencana pengunduran dirinya, masa kecil, pernikahannya dengan Dewi Sandra, kegelisahannya terhadap industri musik nasional, kekecewaan terhadap label rekaman, kebebasan pers hingga relevansi ateisme dengan agama. Kali ini kita menjelajah sisi lain dari Glenn Fredly yang mungkin selama ini belum pernah Anda ketahui.  


* * *

Isyu Glenn resign kabarnya sengaja dibuat oleh manajemen Anda?
Kata resign sebenarnya nggak tepat untuk bilang gue berhenti dari industri musik. Tapi gue perlu jeda setelah 15 tahun berkarier, apalagi melihat industri musik hari ini dimana pembuatan atau produksi album di Indonesia sudah banyak berubah karena culture-nya sudah banyak berubah. Menurut gue, resign itu berarti, pertama, berakhirnya kontrak Glenn Fredly dengan Sony Music Indonesia. Resign disini bukan diartikan dengan gue berhenti main musik. Tapi perlu jeda sebagai penyanyi solo, gue pengen berkarya di area yang lain. Karena buat gue kalau bicara musik Indonesia hari ini yang sangat bekerja keras dan membangun pemikiran untuk survive itu justru musisinya.

Sebenarnya industrinya justru sangat bergantung dari kreatifitas musisinya sendiri. Dalam perjalanan karier selama 15 tahun ini setelah elo mengerahkan energi dan pemikiran yang elo punya dan reward akhirnya adalah… Mungkin ada perubahan, tapi buat musisinya sendiri nggak begitu banyak. Jadi wajar jika gue nanti berhenti sejenak dari industrinya. Kalo dibilang mungkin gue capek melihat bagaimana… Kadang gue nggak mengerti konsep dan proses berjalannya industri musik Indonesia hari ini. Katanya dibilang marak tapi ternyata tidak.

Dengan resign orang akan menganggap Anda menyerah?
Gue nggak menyerah, justru gue menunjukkan bahwa gue bisa berkarya walau tanpa berada di dalam major label itu sendiri. Di luar sana banyak kok musisi yang punya kemampuan tapi hanya menjadi alat saja, dimanfaatkan. Jadi bukan kreatifitas yang dimanfaatkan tapi hanya sekadar menjadi sebuah komoditi. Kalau menjabarkannya gue jamin elo lebih mengertilah kondisi dan kultur di industri musik Indonesia yang sudah sangat jauh ke luar dari track-nya. Bahkan posisi tawar musisinya sudah hampir nggak ada, sudah benar-benar menjadi…

Sapi perah?
Budak! Slave! Asik kan? (Tertawa). Kalau mau ngomong blak-blakan memang seperti itu kondisinya. Gue selalu bilang ke teman-teman di manajemen bahwa mereka punya kesempatan untuk mengolah karier gue semaksimal mungkin. Ujung-ujungnya, musisi dengan industrinya itu seperti David dengan Goliath. Dengan kata lain memang menyeramkan. Arus globalisasi dan kapitalisme yang semakin menggila di Indonesia, semuanya akan mengarah ke sana. Memengaruhi segala bidang.

Yang pantang surut adalah semangat berkarya, lewat media apapun juga. Gue merasa kembali ke masa dimana ini perjuangan baru, di era digital hari ini. Seperti start dari nol dengan area yang baru lagi. Culture yang diciptakan dan harus diterima dalam industri ini adalah bagaimana menjual karya elo ke dalam format musik 30 detik, 20 detik yang namanya RBT. Buat gue itu sangat menyedihkan. Makanya di dalam Lovevolution akhirnya gue membuat 14 lagu! Ini menunjukkan bahwa gue masih pingin berkarya seutuhnya, dan 14 lagu di album ini mungkin menunjukkan bahwa passion gue berkarya masih sangat besar.

Gue nggak bisa bikin lagu yang diminta produser eksekutif agar kembali ke format album Selamat Pagi Dunia. Katanya Glenn memang identik dengan lagu-lagu seperti demikian. I’m sick of it, man! Gue nggak bisa melakukan pengulangan seperti demikian. Jadi kata resign itu merupakan suatu bentuk ekspresi yang sudah hampir mencapai ujung lidah gue. I think I have to resign from music industry.

I. LABEL REKAMAN

Kabarnya Anda sempat ditawari memperpanjang kontrak oleh label rekaman tapi menolak, apa alasannya?
Kalau menurut gue pribadi, elo hanya bisa bernegosiasi kalau punya posisi tawar. Dan buat gue it’s not fair, karena dari awal gue sebagai penyanyi solo semua dimulai dari gue yang nggak mengerti apa-apa saat itu, yang gue sadari saat menandatangani kontrak rekaman gue sedang berhadapan dengan perusahaan rekaman besar. Begitu berjalan culture dalam industri musik berubah seiring perkembangan teknologi juga. Rasanya antara gue dengan Sony memang tidak akan pernah terjadi dealing hingga 50-50, sebesar apapun nama elo di industri, they don’t give a fuck about that, man.

"...kalau di Indonesia musisi bertahan dari royalti penjualan album itu sangat berat, paling tidak dari konser. Sementara jika wilayah konser harus dikuasai lagi oleh label, musisi mau hidup dari mana?" 


Kita tahu tujuan mereka mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk memajukan apapun yang mereka punya. Kalau mau dibandingkan dengan industri musik di luar negeri, sistemnya di sana sangat berjalan, hukum dan pembagian royaltinya jelas. Sementara kalau di Indonesia musisi bertahan dari royalti penjualan album itu sangat berat, paling tidak dari konser. Sementara jika wilayah konser harus dikuasai lagi oleh label, musisi mau hidup dari mana? Itu menjadi dasar pemikiran gue untuk tidak bekerjasama lagi dengan pihak label. Walaupun gue tahu konsekuensi-konsekuensinya, namun gue selalu percaya untuk terus berkarya dengan sumber apapun yang kita punya nggak harus selalu dipusingkan untuk memikirkan cara jualannya, semua sudah memiliki bagian masing-masing..

Tapi Sony Music merupakan label yang membesarkan Anda hingga menjadi seperti sekarang ini?
Gue nggak setuju dengan pemikiran itu! Karena ini seharusnya kerjasama, kemitraan. Jika elo membangun sebuah industri maka yang dibutuhkan adalah kerjasama karena muatan utama industri ini adalah musik. Dengan kata lain seharusnya ada kemitraan di situ dan menurut gue ini tidak berjalan di Indonesia sehingga akhirnya terjadilah yang tadi gue bilang… musisi menjadi budak! Kalau dalam bahasa gue seperti itu. Dan ini sudah terjadi dari beberapa generasi musisi sebelumnya. Kalau dibilang ini siklus, it’s bullshit! Karena tidak semua musisi punya otak pengusaha, tidak semua orang itu Ahmad Dhani! Jadi hari ini jika gue dibilang resign sebenarnya lebih tepatnya karena kegelisahan gue melihat industri musik Indonesia ke depannya.

Sepertinya ini kekecewaan Anda terhadap label rekaman?
Kalau bisa gue bilang ini bukan hanya kekecewaan tapi juga kegelisahan yang mendalam terhadap kenyataan bahwa musisi sekarang tidak lagi memiliki posisi tawar yang menguntungkan bagi kelangsungan hidupnya sendiri. Terlalu banyak konspirasi di dalamnya. Gue tadinya nggak mau mengotori pemikiran gue dengan wacana konspirasi tapi makin lama juga berpikir tak hanya bagi diri sendiri, tapi bagaimana orang-orang di sekitar gue bisa survive, mulai dari  manajemen sampai kru. Kalau hanya memikirkan diri gue sendiri pasti dengan gampangnya gue akan melupakan orang-orang di manajemen. Gue cinta berkarya dan dikelilingi oleh orang-orang yang benar-benar mendukung perjalanan karier gue, mulai dari ups and downs. Gue nggak bisa menukar itu dengan apapun!

Mungkin berkarier di industri ini selama 15 tahun terkesan masih sebentar tapi buat gue sudah terlalu jauh ketimpangan yang ada. Dan bagaimana berpikir how to survive? Tapi intinya gue tidak menyerah dengan keadaan. Cuma gue harus keluar dari sistem yang menurut gue nggak benar ini. Sistem yang membuat gue menjadi miskin. Miskin secara hati dan realita hidup gue…

Miskin secara finansial?
Secara finansial gue cukup. Dalam arti nggak lebih, nggak kurang. Gue rasa apa yang gue dapat dan kumpulkan sampai hari ini sudah cukup. Gue masih bisa mempunyai disposal income juga, masih bisa menikmati apa yang ingin gue nikmati. Gue sangat bersyukur. I’m grateful for that! Tapi di lain sisi, gue hidup dari musik, man. Mulai dari makan… pokoknya hidup dari musik! Ibaratnya ada bagian yang semestinya elo harus terima tapi nggak elo terima, that’s crazy!


Glenn Fredly & The Bakuucakar saat melakukan rekaman Live at Lokananta pada 21 Maret 2012. (Foto: Wendi Putranto)


II. GOSIP HIV
  
Tahun 2009 kemarin sepertinya merupakan tahun yang berat bagi Anda. Perceraian hingga isu HIV, namun ternyata album baru Anda terdengar sangat ceria dan optimistik. Apakah Anda bukan tipikal orang yang biasa menjadikan lagu tempat curahan hati?
Ketika elo dihadapkan kepada suatu realita kehidupan yang pahit, elo harus bisa memposisikan diri elo ke keadaan sebaliknya. Lo berjuang untuk itu. Gue merasa berita-berita itu di blow up untuk dijadikan konsumsi publik, bahkan berita fitnah itu jadi intimidasi besar dan memengaruhi gue dalam berkarier. Kalau gue mengikuti keadaan hati yang gelisah untuk menyikapi keadaan di luar yang keluar justru energi yang nggak akan membangun sisi kreatif gue. Selain itu, akan memperburuk keadaan di luar yang notabene memiliki atmosfer yang nggak baik. Jadi gue nggak mau terlibat lebih dalam dengan drama-drama di luar sana. Gue juga nggak mau jika nantinya orang tua gue harus jadi spotlight karena persoalan pribadi gue. Mereka itu benar-benar orang tua biasa pada umumnya yang selalu ingin men-support anaknya. Ketika perceraian terjadi, gue sempat bersikap sangat anti sosial, bahkan dengan keluarga sendiri. Pikir gue, “This is my problem so I gotta solve this by myself.”

Anda bukan tipe anak yang senang curhat dengan orang tua?
Gue memang nggak terlalu dekat dengan bokap dan nyokap. Glenn kecil itu dibesarkan oleh banyak orang tua. Jika berbicara soal latar belakang, gue itu anak pertama dan orang tua gue itu married by accident, jadi sempat ada penolakan terutama dari keluarga nyokap. Bayangkan, nyokap gue lulus SMA langsung menikah muda dengan mental yang masih belum siap untuk berkeluarga. Jadi gue diasuh opa dan oma. Kedekatan dengan orang tua bisa terjadi ketika gue sudah besar. Jadi gue memang terbiasa tertutup dan independen sejak kecil.

Sometimes, gue merasa punya keluarga tapi seperti tidak berada dalam keluarga, but I’m happy. Keluarga gue tetap memiliki hubungan yang harmonis. Latar belakang gue dengan empat adik kandung gue sangat berbeda. Ketika mereka lahir, orang tua gue sudah jauh lebih siap, berbeda dengan saat gue lahir dulu. Otomatis, jika ada problem, gue lari ke diri gue sendiri dan merasa nyaman dengan kesendirian dan keheningan gue.

Glenn digosipkan mengidap virus HIV dari hubungan seks bebas. Komentar Anda?
Gue pernah dikabarkan menghamili banyak perempuan juga. Gue pernah baca di koran kalau gue diisukan sebagai bandar besar narkotika. Jadi gue pikir bangsa ini lebih sakit dari HIV. Pada akhirnya gue cuma bisa senyum dalam menghadapi fitnah-fitnah itu. Pada saat berita itu datang, gue diperintahkan untuk klarifikasi. Gue capek harus mengklarifikasi hal-hal yang menyimpulkan seenaknya kalau gue beginilah, gue begitulah.

Gue hanya melihat hal-hal yang positif. Gue perhatikan yang positif dari diri gue jika dalam keadaan seperti itu adalah keinginan untuk berkarya. Gue pernah mengklarifikasi isu dalam sebuah press conference, namun keluarnya seolah-olah gue diposisikan sebagai penderita HIV. Well, inilah wajah media hiburan kita hari ini yang akhirnya lebih senang menjual drama. Nilai tawar gue di sini adalah karya gue, hidup gue. Gue nggak mau waktu habis percuma untuk mengklarifikasi yang mungkin jadi masalah personal gue. Ujung-ujungnya gue berpikir, apakah orang-orang sudah tidak punya hati untuk menghargai keberadaan orang lain, sehingga kita menjadi komoditas untuk menghidupi orang lain?

III. INFOTAINMENT & KEBEBASAN PERS

Menurut Anda kebebasan pers itu sudah kebablasan?
Bukan. Menurut gue, pers itu kan mendampingi perjalanan masyarakat. Kita membutuhkan netralitas dari pers. Namun, kebebasan pers itu disalahgunakan oleh kelompok-kelompok oportunis.

Menurut Anda infotainment bukan pers?
Sebenarnya mereka bisa memberikan suguhan dengan cerdas, bukan dengan sensasi yang membuat spekulasi yang sangat tidak mendidik. Makanya gue tadi bilang kalau bangsa ini lebih sakit dari segala penyakit mematikan yang ada. Culture-nya dibunuh oleh kepentingan-kepentingan yang tak bermoral. Unsur politik dalam dunia media kita, di mana hiburan bisa meng-cover permasalahan politik di Indonesia saat ini. Buat gue itu menjadi sebuah tanda tanya besar. Kalau dikatakan musisi atau seniman hari ini merasa terzhalimi tidak hanya di karya, tapi juga hidupnya, itu benar. Menurut gue, kebebasan pers hari ini banyak ditunggangi kepentingan-kepentingan yang sudah tidak mengatasnamakan nilai kemanusiaan.

IV. DEWI SANDRA

Ketika digosipkan terkena HIV, ada kejadian luar biasa yang saya lihat di TV. Dewi Sandra, mantan istri, membela Anda habis-habisan. Agak aneh, posisi Anda penggugat cerai dengan alasan yang tidak jelas namun sebaliknya Dewi malah membela dan mengklarifikasi semuanya...
Dewi Sandra memang sosok wanita yang luar biasa di mata gue. Gue merasa kalau dia adalah sosok yang selalu ada buat gue justru pada saat kami berseberangan dan, it’s a gift for us. Walaupun kami berpisah, komunikasi tetap terjalin dengan baik. Dan ketika berita itu keluar dia menghubungi gue, “You don’t have to say anything. Tetap tenang. Biarkan aja orang mau bicara apa. Be faith.” Buat gue, dia sangat, sangat memberi inspirasi buat gue saat kondisi itu. Dia sosok wanita yang hebat, tipikal pekerja keras yang selalu melihat segala sesuatunya dengan optimis.

Anda sepertinya sangat kehilangan Dewi?
Ada momen di saat gue merasa kehilangan, tapi buat apa disesali karena keputusan itu datang dari gue. Toh, kami bisa saling mendukung dan dalam keadaan apa pun we’re still friendsGood friends. Dan apa yang kami pernah lewati itu akan tetap hidup. Lagipula, Dewi itu terlihat lebih berkembang dan bersinar ketika dia melewati masa sulitnya dia juga. Itu sangat membuat gue senang, jadi tidak ada yang perlu disesali. Kami juga sudah mempunyai kehidupan masing-masing yang sangat kami nikmati sekarang.

V. PERNIKAHAN

Anda menyesal pernah menikah?
No. At least, gue dikasih kesempatan buat nikah dua kali berikutnya (Tertawa). Gue selalu menganggap kesempatan itu selalu ada dan dalam kehidupan gue sering dihadapkan ke keadaan-keadaan yang tidak semua orang bisa lewatin. Menurut gue, setiap orang punya petualangan hidupnya masing-masing. Gue merasa hidup gue penuh dengan petualangan yang sangat gue syukuri sampai hari ini. Kalau gue dapat kesempatan untuk menjalin hubungan dengan orang lain lagi, mungkin gue akan jauh lebih bijak untuk memutuskan apakah akan menikah lagi. Sampai saat ini, gue sedang menikmati kondisi gue yang seperti ini. Ini seperti new chapter buat gue. I’m happy, man.

Sebenarnya apa yang Anda cari dari pernikahan? Keturunan?
Kalau berbicara keturunan, sebenarnya Dewi sudah membicarakan itu. Mungkin karena gue sudah terbiasa hidup sendiri, jadi I’m not ready for that. Gue nggak menyesali keputusan itu, tapi menapaki perjalanan itu tidak semudah yang elo perkirakan.

Anda seperti sedang menjelaskan kalau yang mengajak menikah pertama kali adalah Dewi Sandra?
Tidak, gue tidak berkata demikian. Pada waktu itu, dia memang orang yang paling dekat dengan gue. Dan dari cerita perjalanan kehidupan personal gue, dia datang pada momen yang tepat. Momen itu, ibaratnya, gue ambil sebagai keputusan agar gue menikah. Ternyata menikah dengan beda agama menimbulkan dilema dan pertanyaan besar di keluarga gue dan Dewi, bahkan sampai kerabat-kerabat kita juga. Pada saat itu, because you’re somebody persoalannya menjadi sangat kuat dan mendapatkan perhatian yang besar. Itu menjadi big question buat gue. Am I doing the right thing or not? Seperti yang gue bilang tadi, gue nggak menyesali itu, tapi I wish, pada saat itu, gue bukan siapa-siapa.

Sebelum menikah dengan Anda, Dewi pernah mengalami kegagalan pernikahan....
Pengalaman Dewi membuat dia menjadi wanita yang tegar. Baik pengalaman hidup, maupun perjalanan spiritual yang telah dia alami itulah yang membuka pemikiran dan kedua matanya. Tidak ada yang perlu ditakuti maupun disesali. Karena pada saat gue mengambil keputusan itu, gue punya rasa takut yang mungkin sudah dilewati terlebih dahulu oleh Dewi. Pada saat itu, komunikasi antara gue dan Dewi berjalan dengan sangat tidak baik. Kami merasa sangat berseberangan dalam pemikiran.

Apakah akhirnya agama juga  yang memisahkan kalian?
Sama sekali tidak! Gue percaya kalau masalah agama tidak pernah menghalangi hubungan sepasang pria dan wanita kalau mereka memang memiliki ikatan yang kuat. Gue sangat tidak pernah mempermasalahkan agama untuk hubungan gue dan Dewi. Kami percaya bahwa kami dipertemukan bukan untuk bersama-sama, tapi bukan karena masalah kepercayaan di sisi dia atau di sisi gue. Kami percaya bahwa Tuhan itu cuma satu. We are believers. Kami percaya sama Tuhan. That’s it. Kalau hanya masalah doktrin atau dogma yang memisahkan gue dengan Dewi, itu alasan yang terlalu bodoh menurut gue. Gue percaya, suatu saat manusia tidak akan percaya terhadap keyakinan relijiusnya, tapi percaya terhadap kekuatan spiritualnya. I don’t know, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depan, sama seperti kasus pernikahan gue dengan Dewi.

Apakah Anda sedang dalam sebuah hubungan sekarang?
(Berpikir cukup lamaNope, tapi gue sedang menjajaki kemungkinan itu. Gue banyak belajar dari pengalaman gue yang edan. Gue pernah dianggap memanfaatkan popularitas. Waktu pacaran dengan Nola (AB Three) langsung jadi cerita. Gue bingung, kenapa orang-orang lebih tertarik dengan drama kehidupan gue. Orang-orang kita dalam merekam jejak drama kehidupan itu sangat kuat memorinya. Pemilik pemodal dan kelas menengah menjadikan itu komoditas, masyarakat penikmatnya adalah masyarakat di bawahnya, dan korbannya adalah public figure.

Gue akhirnya berpikir, ya sudahlah. I’m a puppet yang berada di atas panggung, yang bukan merupakan panggung gue. Panggung yang bukan mengekspos karya gue, melainkan kehidupan pribadi gue. Masyarakat kita semakin hari makin terbiasa dan akhirnya menyeleksi sendiri apa yang mereka terima dan bisa di lihat bagaimana kekuatan karya itu bisa sampai ke telinga masyarakat dan loyalitas mereka terhadap apa yang mereka inginkan. Bagaimana musik itu dipisahkan dari habitatnya, dari pemiliknya, yang menimbulkan dan memperbesar unsur selebritas dari pemilik musik tersebut. Gue merasa bahwa gue bukan selebriti, tapi gue dipaksa menjadi selebriti.

Anda lebih senang disebut musisi?
I’m a musician, man. Gue hidup dari kecil dibesarkan di lingkungan keluarga yang benar-benar pencinta musik, pencinta seni, pencinta karya seni. Mereka sangat mencintai kebebasan dalam berekspresi. Gue merasa keluarga gue itu like a bohemian family. Dari sini gue belajar banyak banget.





VI. LOVEVOLUTION

Anda menciptakan jargon baru, Lovelution. Anda menolak revolusi sekaligus menolak lambatnya evolusi. Apa makna dari jargon ini?
Berbicara revolusi itu identik dengan sebuah proses baru di mana akan sampai di perubahan yang elo benar-benar inginkan, namun melewati suatu proses yang cepat dan berbau kekerasan. Dan gue tidak suka apabila ada campur tangan kekerasan. Evolusi itu menarik. Jika dilihat dari sisi agama, evolusi itu bertolak belakang. Gue sekarang lebih memercayai pertumbuhan spiritual gue dibanding batasan dogma. Dari teori yang ada setiap orang memiliki idealisme atau pemikiran masing-masing yang akhirnya ingin dipakai untuk mempengaruhi orang lain.

Pengaruh paling besar yang bisa mempengaruhi kita it’s only love. Itu gue mulai dari diri sendiri. Saat melewati segala macam proses yang baik atau buruk dan menerimanya dengan tulus, di sana gue menemukan kebebasan dan mencapai level baru dalam kehidupan gue. So, I called it Lovevolution. Semua berjalan sedemikian rupa, sehingga cinta menjadi kekuatan paling besar yang gue percaya sampai hari ini. Gue percaya bahwa tidak ada kekuatan lain yang bisa membuat gue melewati banyak hal dalam hidup gue. Lovevolution itu keluar begitu saja, from the top of my head.

Cinta vertikal atau horizontal?
Vertikal dan horizontal, karena saat berbicara soal vertical love, di situ elo menemukan dimensi yang tidak berbatas. Di saat berbicara vertical love, di situ berbicara juga horizontal love. Berangkat dari kecintaan gue terhadap bangsa ini, melalui talenta yang gue punya, karya yang gue ciptakan, kepedihan yang gue punya, intimidasi yang gue lewati, kekecewaan gue, ujung-ujungnya gue digiring bahwa it’s all about loveIt’s that simpleThe Beatles said, “All you need is love.” Itu lagu dahsyat sekali. Tidak ada yang akan elo anggap sulit, kalau elo kerjakan dengan hati dan percaya cinta. Jadi menurut gue, Lovevolution itu makna simple yang dekat dengan kehidupan sehari-hari.

“Let’s Say Love” merupakan kolaborasi tiga artis yang menarik, seperti mendengar “We Are the World” versi lokal.
Waktu pertama kali mengenal Sandhy Sondoro di MySpace, gue merasa dia mempunyai kegelisahan yang sama, kecemasan yang sama dalam melihat karut marut dunia hari ini. Saat gue melihat Endah N’ Rhesa, perasaan gue pun sama. Mereka adalah seniman di era modern yang memiliki kegelisahan yang sangat besar.

Yang unik adalah ketika ketemu Sandhy waktu itu di studio di daerah Gandaria. Gue bawa gitar, dia juga bawa gitar. Kami nge-jam di studio. Itu adalah percakapan pertama kami secara langsung. Melalui gitar. We didn’t say any wordsjust let the guitar do the talking. Di situ muncul ide kalau gue ingin menuangkan sebuah karya bersama dia. Lalu, ada Endah N’ Rhesa. Mereka juga memiliki potensi yang luar biasa. Di saat itulah gue mencoba untuk mengajak mereka untuk berkolaborasi.



Ini sangat beda dengan kolaborasi Anda lainnya. Misalnya kolaborasi dengan Dewi Perssik, yang ini sepertinya sebuah kolaborasi yang tulus…
(Tertawa) Sangat! Gue merasa ketika kami mengerjakan lagu ini di studio, seru sekali. Kami juga memiliki visi yang sama. Awalnya, kami semua ingin membawakan lagu ini dalam bahasa Indonesia. Namun setelah beberapa lama jamming di studio, kami lebih sreg dengan lagu berbahasa Inggris. Setelah itu, Endah membuat dasar liriknya lalu kami revisi bersama di studio. Akhirnya, gue merasa kalau itu lagu yang sangat anthemic.

Anda adalah penggemar Sandhy, Endah N’ Rhesa?
Iya, gue sangat senang bisa berkolaborasi dengan mereka. Mereka seperti oase buat gue. Di saat gue bertemu mereka, selalu memberi semangat buat gue agar terus berkarya. Di Indonesia hari ini, di tengah maraknya plagiarisme, jika elo menemukan oase seperti ini, itu merupakan sesuatu yang sangat berharga. Mereka memberikan energi yang luar biasa besar yang dapat mendorong gue untuk bertahan jauh lebih lama. I’m happy dengan lagu itu. Mereka juga sama, kami semua mengagumi lagu itu.

Mereka adalah musisi-musisi dengan ego sangat tinggi. Bagaimana cara kalian melepas ego masing-masing?
Kami tulus saja. Kami semua saling menghargai porsi masing-masing. It’s natural, alami banget. Kami datang, duduk, tidak ada istilah “Elo buat ini, elo buat itu, gue buat ini.” Tidak ada pemisahan departemen, mengalir saja. It’s flowing. Kami datang ke studio itu belum ada lagu. Ketika kami duduk dengan instrumen masing-masing dan rif-rif gue lempar ke meja, otak musik kami langsung mencair. Benar-benar flowing. Kami juga berpikir untuk melakukan tur akustik bersama. Gue pikir, it’s gonna be fun, karena kami berada dalam suatu lingkaran yang mempunyai kegelisahan yang sama. Gue sangat merasa bahwa keinginan kami masing-masing itu benar-benar akan bertemu di satu titik.

Gue melihat ini sebagai regenerasi, dan regenerasi itu energi. Musik itu butuh interaksi; tanpa interaksi, interval, dan modulasi; musik itu akan mati. 



Anda tidak melihat Sandhy Sondoro sebagai rival di masa depan?
No, man. Pemikiran-pemikiran industrialis beginilah yang salah. Kalau industri musik kita sudah siap, I think it’s no problem at all, tapi kenyataannya rival itu dibuat di keadaan yang tidak stabil seperti ini. Gue melihat ini sebagai regenerasi, dan regenerasi itu energi. Musik itu butuh interaksi; tanpa interaksi, interval, dan modulasi; musik itu akan mati. Dengan munculnya sosok baru yang memberi warna, dia akan memberi harmonisasi. Kalau gue melihat Sandhy dalam not, dia mempunyai notasi sendiri namun tetap dalam satu tangga nada. So, I need Sandhy SondoroIndonesia needs Sandhy, Endah, Rhesa, dan orang-orang yang punya hati untuk berkarya dan tulus dalam bermusik. Itu benar-benar jadi oase buat gue, sehingga elo tidak benar-benar over-exploited.

“Cuma Kamu” adalah lagu yang secara musik paling keras di album ini dan paling berbeda dari lagu-lagu yang lain. Mengapa membuat aransemen seperti ini?
Gue memang mengarahkan ke sana. Lagu itu gue tulis saat benar-benar berada di titik kesendirian gue, kemarahan gue. Di saat gue menutup diri dari apa pun, gue merasa ada yang tidak fair dalam kehidupan gue, sehingga gue harus melewati yang harus gue lewati saat itu. Tapi gue melihat, di saat titik keadaan kondisi seperti demikian, I still have a faith untuk bisa bertindak agar kehidupan tetap berjalan.

Gue pengen lagu ini menjadi ungkapan marah gue, makanya gue buat lagu dengan aransemen yang keras. Dengan lagu itu, gue berharap untuk lebih dimengerti. Gue ingin mencari kebenaran di kehidupan gue pada saat itu. Namun ternyata, kebenaran itu berproses. “Cuma Kamu” ini juga menghasilkan sesuatu yang tidak disangka. Tanpa rilis secara fisik, lagu ini bisa masuk ke charts dan bertahan cukup lama. Lagu ini seperti menambah dimensi baru lagi buat gue dalam berkarya.

Yang menarik lagi di lagu “Brown Eyed Girl”. Sepertinya Anda memuja mantan istri di lagu ini... 
Pada saat itu, lirik lagu “Brown Eyed Girl” gue tulis bersama Dewi. Dia tahu gue suka melihat wanita bermata coklat. Ya sudah, waktu itu dia gambarkan saja ke lirik. It’s a cute thingSomething yang simple tapi deep.

Jadi lagu itu tidak bercerita tentang dirinya?
Bukan. Sama sekali tidak. Dia justru berimajinasi tentang apa yang gue suka. I think itu salah satu karya yang sangat menarik pada saat pengerjaannya, karena gue mengerjakan melodi dan Dewi mengerjakan lirik di ruangan yang berbeda.

“Karena Cinta” dan “Nyali Terakhir” merupakan dua lagu yang sangat berbeda dari lagu Anda lainnya di album baru ini. Sangat bernuansa gospel, baik dari musik maupun lirik.
Gue merasa lagu “Nyali Terakhir” hubungan vertikal dan horizontalnya sangat kuat. Elo harus punya nyali untuk mengakui bahwa elo masih punya cinta untuk bisa mencintai secara vertikal dan horizontal. Lagu ini gue dedikasikan untuk mereka yang benar-benar percaya dengan kekuatan cinta yang tidak mengenal adanya perbedaan. Cinta itu menembus batas dimensi yang didasarkan oleh dogma-dogma yang ada. Lagu ini memang berhubungan dengan “Karena Cinta”. Kalau mendengar suasana gospel, itu karena gue menganggap dua lagu ini sebagai kekuatan spiritual gue, kekuatan menyembah gue.

Musik mempunyai kekuatan yang sangat mungkin untuk di bawa ke arah sana. Di saat elo haus, di saat kecewa, di saat berhadapan dengan banyak hal yang membuat elo ingin mendapat energi baru di kehidupan elo. Gue rasa “Karena Cinta” itu menjadi closing yang tepat untuk album Lovevolution. Lagu yang sangat universal. Kalau dinyanyikan di gereja “Karena Cinta” diganti menjadi “Karena Yesus”, buat gue itu ekspresi dan bentuk spiritual masing-masing. Gambaran cinta itu melebihi batas pemikiran.




VII. AGAMA

Seberapa relijius diri Anda?
I’m not a religious person, man.

Bukankah Anda sering ke gereja?
Gereja gue di atas panggung, cuy! I’m not a religious kind of person, mungkin latar belakang keluarga gue yang Kristen konvensional dan sangat taat. Ibaratnya, gereja itu menjadi kultur yang sedemikian besarnya di keluarga elo, sehingga otomatis terbawa dalam diri elo. Sampai akhirnya, elo mempunyai kebebasan tersendiri untuk mengartikan apa sih hidup elo itu dan menemukan pattern elo sendiri untuk menggambarkan keindahan hidup elo. Tapi elo tetap menghargai energi yang jauh lebih besar daripada elo.

Gue merasa semakin hari semakin humanis. Gue melihat itu dari sisi gue menghargai kebebasan orang untuk berekspresi tentang bagaimana dia menghargai perjalanan spiritualnya. Gue melewati itu. Gue merasa bahwa di dalam diri ini ada energi yang jauh lebih besar yang tidak terlihat dan mendorong gue untuk merasa bahwa apa yang gue punya itu lebih besar dari doktrin dan dogma.

Sampai sejauh itu Anda berpikir tentang agama? 
Iya. Gue percaya bahwa doktrin dan dogma itu will be gone dan yang ada nanti hanya cinta kasih.

Yang elo harus waspadai itu sebenarnya orang-orang yang non-ateis, karena sebenarnya banyak orang yang tidak beragama namun kelakuannya ber-Tuhan. Orang ateis justru adalah orang-orang yang berjalan dengan hati yang netral. 



Jadi tidak beragama itu tidak apa-apa asal ada cinta dan kasih sayang?
Iya, gue bisa bilang begitu. Gue percaya bahwa cinta kasih akan mempertemukan orang dengan apapun latar belakangnya, apapun kepercayaannya. Karena hari ini yang gue lihat, manusia itu lebih mementingkan nilai relijius dibanding nilai spiritualnya. Praktek kehidupan gue lah yang membuat gue sampai ke titik seperti ini. Yang elo harus waspadai itu sebenarnya orang-orang yang non-ateis, karena sebenarnya banyak orang yang tidak beragama namun kelakuannya ber-Tuhan. Orang ateis justru adalah orang-orang yang berjalan dengan hati yang netral.

OK, sepertinya Anda termasuk golongan tersebut?
Tidaklah. Gue percaya bahwa Tuhan itu menguasai. Ini yang gue percaya: Melalui musik gue bisa menyalurkan ekspresi gue untuk menyembah, melalui musik dan panggung gue bisa berdialog secara langsung, baik vertikal maupun horizontal.

Hampir di saat yang bersamaan tadi saya wawancara dua penggemar perempuan Anda, mereka bilang, “Glenn ditunggu pelayanannya lagi di gereja.”
(Tertawa) Banyak yang bilang itu ke gue. Tapi buat gue konsep worship tidak dibatasi ruang dan waktu. Di saat berada di atas panggung, itu kiblat gue. Gue memberikan pelayanan dari sana. Waktu itu Denny Sakrie (pemerhati musik - Red) tweet gue, “Sekali elo menyatakan diri sebagai musisi, sampai akhir hayat elo akan ada di situ.” Buat gue, itu punya meaning sangat dalam. That’s true. Dan di saat memilih musik sebagai bagian hidup gue, itu mempunyai kekuatan yang vertikal dan horizontal. Di saat bersamaan, konsep menyembah itu ada di sana.

Gue juga merasa menjadi manusia yang jauh lebih berharga di saat gue manjadi manusia yang spiritual. Setiap hari bertumbuh. Tidak cuma daging yang perlu diberi makan, jiwa juga perlu. Jiwa ini yang gue temukan di saat gue sedang berada di atas panggung, di saat gue berkarya. Kehidupan ini seperti keseimbangan. Balance di mana elo harus bertahan dengan realita kehidupan dan harus memberi makan jiwa elo juga.

Tidak takut jika komunitas agama Anda marah mendengar pernyataan tadi?
I don’t care, manI…don’t…care. Buat gue, menjadi minoritas itu mempunyai konsekuensi tersendiri. Buat gue, doktrin dan dogma tidak bisa membatasi kehidupan gue untuk bertumbuh dalam berkarya. Sekarang yang penting adalah bagaimana menghargai orang lain saja. Pada dasarnya, gue tidak memaksakan. Hanya mencoba memberikan apa yang hati gue benar-benar inginkan. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

IKJ: SCHOOL OF ROCK [Editor's Cut]

LED ZEPPELIN Reunion 2007: The Full Report From David Fricke