Tragedi Tsunami Seventeen Band



Tragedi yang menimpa rekan-rekan Seventeen Band di Tanjung Lesung, Banten beberapa hari yang lalu masih terus meninggalkan kedukaan. Tak hanya bagi Ifan, sang vokalis Seventeen sekaligus satu-satunya anggota band yang tersisa, bahkan bagi saya pribadi dan mungkin Anda para pembaca yang intens mengikuti peristiwa nahas ini selama beberapa hari belakangan. Kehilangan rekan-rekan seband seperjuangan, road manager, kru dan bahkan istri tercinta untuk selamanya hanya dalam sekejap mata seperti yang Ifan alami kemarin mungkin sangat sulit untuk dicari tandingannya.

Salut sekali dengan Ifan yang masih mampu menghadapi semua peristiwa buruk ini dengan sangat tabah dan tegar, bahkan masih rela melayani permintaan wawancara dengan berbagai media tentang tragedi yang baru saja dialaminya (semoga saja ia tidak dipaksa, jika ya, terkutuk lah para media yang melakukannya).

Rasanya tak pernah terjadi sebelumnya di dunia peristiwa nahas seperti yang dialami Seventeen Band. Bayangkan, sebuah band sedang berada di atas panggung menghibur para penonton dalam suasana suka cita, mendadak hanya dalam hitungan detik saja mereka digulung ombak tsunami yang datang dari arah belakang tanpa permisi hingga melumat dan meluluhlantakkan semua yang berada di sekitarnya hingga meninggalkan suasana duka cita yang sangat mendalam. Belakangan saya menerima informasi dari teman-teman bahwa seharusnya antara Element atau Ari Lasso yang tampil di acara privat PLN tersebut, namun kebetulan keduanya berhalangan. Manajemen Ari Lasso yang sempat dikontak oleh panitia ternyata sudah di booking lebih dulu untuk tampil di Bali pada tanggal kejadian.

Saya pertama kali tahu peristiwa tragis ini ketika sedang menulis tengah malam dan tak sengaja membaca postingan dari akun Instagram Erix Soekamti. "Pray for Seventeen Band.. terkena ombak saat manggung di Pantai Carita.. beberapa crew dan personil blm ditemukan.. mohon doa agar semuanya baik-baik saja." Kaget bukan kepalang dan hanya berharap yang terbaik terjadi pada seluruh anggota Seventeen pastinya. Ketika bangun tidur di pagi harinya rekaman video tentang kejadian tragis itu telah beredar luas di media sosial dan WhatsApp. Berkali-kali saya lihat dan berkali-kali pula saya masih tidak percaya dengan apa yang saya lihat, terlalu sureal, terlalu mengerikan, terlalu menyedihkan.




A post shared by Erix Soekamti (@erixsoekamti) on

Banyak analisa orang-orang tolol yang berseliweran di media sosial mencoba mengaitkan tragedi ini sebagai azab dari Tuhan yang murka karena ulah konser musik. "Musik itu haram, ketika kalian langgar maka itulah yang kalian dapatkan." Kira-kira begitu komentarnya. Mereka sepertinya lupa, ada berapa banyak konser musik terselenggara di dunia setiap harinya. Jika begitu adanya, mungkin bukan Perang Dunia Ketiga atau Pesta Nuklir yang akan mengakhiri dunia, melainkan konser musik! Heran, susah sekali sepertinya bagi orang-orang ini untuk berempati atau sekadar menyatakan duka cita, alih-alih mereka lebih senang menebar analisa sotoy atau bermain Tuhan.

Oya, tulisan ini tentu tidak ingin memperpanjang perdebatan irasional tersebut. Saya hanya ingin mengenang perkenalan pertama saya dengan Seventeen Band. Tepat sepuluh tahun yang lalu, pada Desember 2008, sewaktu bekerja di majalah Rolling Stone Indonesia saya pernah mewawancarai mereka; Ifan, bassist Bani, gitaris Herman, drummer Andi dan gitaris Yudhi. Nama yang disebut belakangan akhirnya beberapa tahun kemudian mundur dari Seventeen Band.

Usia band ini saat itu nyaris satu dekade. Kebetulan mereka baru merilis album studio ketiga mereka yang bertajuk Lelaki Hebat bersama label rekaman baru (Mi2/Nagaswara) dan juga vokalis baru, Ifan, yang merupakan  hasil audisi. Dua album pertama mereka yang dirilis oleh Universal Musik Indonesia terbilang gagal di pasaran, tapi mereka tidak pernah menyerah dan terus merilis album hingga akhirnya cukup tenar di industri musik Indonesia.

Seluruh anggota band pop mainstream ini ramah dan sangat menyenangkan saat diwawancara, suasana yang terbangun cukup akrab walau ini momen pertama (sekaligus terakhir) kami bertemu. Musik mereka memang tidak termasuk selera saya, tapi saya sangat menghargai semangat, keseriusan dan gairah bermusik mereka. Mereka sepertinya sangat paham apa yang harus dikatakan dan apa yang mereka harus lakukan dalam memperjuangkan bandnya yang berulang kali gagal ini. Anehnya, dulu saya sering menghadapi "situasi sulit" justru ketika mewawancara band-band indie. Sukar membedakan antara terlalu jaim, sok cool atau memang tidak tahu harus ngomong apa tentang visi bermusik mereka, sangat menyebalkan kalo mendapat tipe band seperti ini untuk diwawancara.

Ketika membongkar arsip-arsip tulisan lama akhirnya saya menemukan kembali file artikel tentang Seventeen Band yang saya tulis untuk majalah Rolling Stone Indonesia dulu, sepuluh tahun lalu. Ironisnya, kini, sepuluh tahun kemudian, saya membaca pula ulasan tentang Seventeen Band di Rolling Stone AS via RollingStone.com, sayangnya tentang kisah sebuah tragedi.

Sebagai penutup, sekali lagi, saya ingin mengucapkan rasa duka cita yang sangat mendalam bagi para korban tsunami di Selat Sunda, khususnya untuk Ifan dan keluarga besar Seventeen Band serta kawan-kawan di Mahakarya Inc. (Dendy Reynando dan Yulia Dian) selaku manajemen artis mereka. Semoga kalian semua diberikan kekuatan dan ketabahan dalam menghadapi masa-masa sulit ini. Dan untuk Ifan, semoga dapat kembali beraksi di atas panggung musik suatu hari nanti. Mungkin reuni dengan Yudhi untuk meneruskan cita-cita Seventeen, band yang dulu Anda pernah gemari dan kemudian menjadi bagian dari sebuah perjalanan hidup yang tak akan pernah dapat dilupakan.

* * *

Berhenti Mengalah

Setelah dua kali merilis album dan almost famous akhirnya Seventeen mulai merasakan hikmah popularitas.

Oleh Wendi Putranto

Pergantian vokalis memang menjadi faktor krusial bagi perjalanan karir sebuah band pop. Dampaknya hanya ada dua, karier merosot atau malah naik drastis. Untungnya yang terakhir inilah yang kemudian menimpa band asal Yogyakarta, Seventeen. Setelah merekrut vokalis baru dan merilis album terbaru Lelaki Hebat [Mi2 Music Production/Nagaswara] di awal tahun ini nama mereka perlahan mulai eksis di industri musik tanah air.

Ifan, vokalis baru Seventeen yang lahir di Yogyakarta namun asli Kalimantan Barat ini mengaku ikut audisi setelah direkomendasikan oleh seorang temannya. Ia sendiri sebelumnya sempat bergabung dengan band Top 40 lokal. “Kebetulan di Yogya gue cukup eksis ngeband, nyanyi dari café ke café,” ujarnya.

Bagi Ifan, Seventeen adalah sebuah band yang cukup disegani namanya di Yogyakarta. Bergabung dengan band ini pun baginya bagaikan sebuah mimpi yang menjadi kenyataan. Suatu ketika ia kehabisan uang dan menggadaikan televisi miliknya di pegadaian. Di perjalanan pulang dari pegadaian di atas motornya Ifan menyanyikan single “Jibaku” dari album debut Seventeen seraya berkhayal menjadi vokalis band ini. “Akhirnya memang dream comes true,” kenangnya sambil tertawa.

Single pertama di album tersebut, “Selalu Mengalah” sukses menjadi hit di berbagai radio tanah air dan penjualan ring back tone-nya pun jauh melebihi angka penjualan album fisiknya. Alhasil Ifan (vokal), Yudhi (gitar), Bani (bass), Herman (gitar) dan Andi (drums) juga semakin sering tur ke berbagai daerah dan tampil di beragam program musik di layar televisi nasional.

Sebelumnya kegagalan demi kegagalan sempat akrab dengan band ini. Dua album yang telah dirilis oleh Seventeen terbilang kurang memuaskan penjualannya di pasaran. Album debut mereka yang rilis di tahun 2003 di bawah label Universal Music Indonesia, Bintang Terpilih walau sempat menjadi soundtrack sinetron namun kurang bergema di masyarakat. Ditambah lagi di tahun yang sama label mereka bernaung menutup divisi musik lokalnya.

“Kegagalan di album pertama terletak pada promosi yang membuat band kami tidak bisa muncul atau terekspos. Album baru rilis tiga bulan kami terpaksa harus meng-cut promosi karena divisi lokal Universal Music Indonesia ditutup,” ujar Yudhi, gitaris Seventeen.

Ketika merilis album kedua Sweet Seventeen di penghujung 2005 di Manchester United Café, Jakarta mereka bersanding dengan labelmate band baru bernama Samsons yang tengah merilis album debutnya, Naluri Lelaki. Diluar dugaan, saat itu justru Samsons yang kemudian meledak di pasaran sementara Seventeen terpaksa harus kembali berada dalam antrian.

“Rilisnya album kedua kami berbarengan dengan terjadinya gempa bumi di Yogya sekitar dua bulan setelah rilis. Akhirnya kami kembali stop berpromosi,” imbuh Yudhi ketika bersama rekan-rekan sebandnya bertandang ke kantor Rolling Stone.

Tindakan menghentikan promosi ini berdampak cukup besar bagi karier Seventeen selanjutnya. Mereka merasa putus asa dan sempat vakum manggung selama tiga tahun lamanya. Andi, drummer mereka malah sempat memilih berkarier sebagai karyawan bank pemerintah daripada bermain band.
Belakangan vokalis pertama mereka, Doni, juga memilih untuk mengundurkan diri dari band. Kini kabarnya ia membentuk band baru bersama Anton, mantan drummer Sheila On 7. “Dia menyatakan resign karena mungkin sudah nggak sevisi dengan kami, tapi kami masih berhubungan baik dan saling support,” ujar Yudhi lagi.

Selama 2,5 tahun menyatakan vakum dari panggung bukan berarti proses kreatif Seventeen berhenti begitu saja. Menurut gitaris Herman, walau posisi vokalis kosong mereka tetap berlatih dan membuat lagu-lagu baru serta melakukan audisi vokalis.

Menurut Yudhi, jeda yang cukup panjang ikut mengubah pola pikir para personel Seventeen terhadap industri. “Setelah jatuh bangun akhirnya kami berusaha membuat lagu yang lebih apik. Dengan dukungan promosi label yang lebih tertata, timing-nya pas, alokasinya benar. Seventeen akhirnya lebih bisa terdengar di masyarakat, efeknya lumayan sekarang,” jelas Yudhi.

Kesuksesan awal Seventeen sekarang ini bukan berarti lantas sepi dari kritik. Band ini sempat dituding banyak orang mengkloning formula musik Samsons. Yudhi membenarkan banyaknya tudingan yang masuk dan menganggap faktor kemiripan yang disebut orang terletak pada karakter vokal Ifan.

“Ada yang bilang vokalnya mirip Bams atau Once. Mungkin yang mirip Bams itu ketika Ivan melafalkan huruf ‘r’, artikulasi yang jelas dalam pengucapan lirik,” tambah Yudhi, “kalau musiknya menurut kami berbeda atau kalau mirip mungkin karena influence yang sama sehingga aplikasinya terkesan mirip.”

Herman pun dengan bijak berkomentar, “Tidak masalah, mungkin karena publik baru mendengar single ‘Selalu Mengalah’ dan belum mendengar satu album.”

Komentar

  1. ga kebayang gmn rasanya jadi ifan...wiped out in seconds...deep condolences for him...btw gw lebih masuk seventeen jaman doni, mungkin krn masih di jogja yg saat itu skena musiknya lagi bergairah banget... seventeen nya doni tuh rasa-rasa oasis campur mayangsari.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

IKJ: SCHOOL OF ROCK [Editor's Cut]

LED ZEPPELIN Reunion 2007: The Full Report From David Fricke