20 Tahun Reformasi: Kesaksian di Hari-hari Menjelang Runtuhnya Orde Baru Soeharto

Tidak lama setelah Pemilu 1997, krisis moneter menghajar Indonesia dan anehnya Soeharto dilantik kembali jadi presiden. Dollar AS meroket, banyak perusahaan bangkrut, ledakan pengangguran, masyarakat resah. Di kampus saya yang Nasionalis, Universitas Prof. DR. Moestopo (Beragama) mulai marak terjadi demo mahasiswa, namun semuanya tidak boleh keluar kampus oleh polisi, hanya menggelar mimbar bebas di dalam kampus saja.


Demonstrasi mahasiswa Universitas Prof. DR. Moestopo (Beragama) yang terjadi di depan kampus Hang Lekir sekitar Maret-April 1998. Saat itu mimbar bebas kami mulai membandel dengan melakukan long march keluar kampus dengan mengusung keranda "wafatnya Orba".


Soeharto dan tentara-tentaranya mulai gusar akibat maraknya demo mahasiswa hampir di seluruh wilayah Indonesia, dia meminta aparat dan intelijen memantau ketat demo-demo ini, mengawasi aktivis-aktivis. Sejak pecah tragedi 27 Juli ‘96 saya yang masih duduk di bangku kuliah semester tiga perlahan makin anti-Soeharto, mulai menyadari betapa korup dan tirannya dia selama berkuasa selama 30 puluh tahun lamanya. Maklum, ini terjadi berkat terjun langsung di gerakan pers mahasiswa yang menjadi salah satu embrio gerakan mahasiswa '98. Saat itu saya aktif menjadi redaktur pelaksana di lembaga pers mahasiswa kampus bernama Media Publica.

Perlawanan mahasiswa kepada Soeharto saat itu bersifat gerilya, salah satunya via pers mahasiswa. Ketika itu siapapun yang berani melawan Soeharto pasti akan digebuk habis-habisan atau bahkan diculik oleh tentara-tentara loyalisnya. Kami selalu paranoid kalo setiap kali pulang kuliah melihat ada mobil Toyota Hardtop dengan 4-5 orang intel gondrong di dalamnya mendadak parkir di depan kampus. Karena cerita dari kawan-kawan kampus lain, para intel/tentara penculik para aktivis mahasiswa yang anti-Soeharto ini selalu naik Hardtop.


Dulu kalau ada mobil seperti ini nongkrong di depan kampus sudah dapat dipastikan isinya adalah intel yang memata-matai para aktivis gerakan mahasiswa. Kalau sudah begini pilihannya adalah tetap bermalam di kampus atau pulang bergerombol.


Jenderal-jenderal penjaga rejim Soeharto dulu adalah para elit yang tempo hari sempat bercokol sebagai Presiden, Capres dan Menteri saat ini (SBY, Prabowo, Wiranto, dsb). Prabowo yang saat itu menjabat Danjen Kopassus adalah juga menantu Soeharto, suami dari Titik, otomatis kariernya di militer meroket karena itu juga. Tim Mawar yang terdiri dari anggota-anggota Kopassus saat itu sengaja dibentuk dan pekerjaan utamanya menculik aktivis-aktivis mahasiswa yang subversif. Prabowo mengaku bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan oleh anak-anak buahnya yang tergabung dalam Tim Mawar tersebut. 


Tim Mawar yang terbukti menculik para aktivis saat diadili di pengadilan militer, beberapa di antaranya karier militernya tetap berlanjut bahkan ada pula yang berakhir menjadi jenderal di kemudian hari.


Mengapa diculik? Karena menurut mereka, para aktivis mahasiswa yang anti-Soeharto ini dianggap "teroris"! Mereka difitnah akan melakukan aksi pengeboman di Jakarta, diawali dengan ditemukannya 22 bom di sebuah rumah susun di Jakarta. Padahal para aktivis mahasiswa ini hanya sekadar berseberangan pendapat dengan pemerintah, dan istilah "teroris" itu sangat lah berlebihan. Bom? Paham lah, kerjaan siapa lagi tahun segitu sih kalo bukan aparat pro-OrBa. Sekitar Februari '98 demo mahasiswa di berbagai daerah semakin masif, kerap bentrok dengan polisi karena mereka selalu menuntut untuk marching keluar dari kampus. 

Isyunya saat itu masih:
1) Turunkan harga sembako, 
2) Hapus KKN, 
3) Reformasi Total, 

Belum ada yang berani menggulirkan isyu "Turunkan Soeharto!" 

Akhirnya tepat 12 Mei '98 bentrokan antara mahasiswa dengan aparat terjadi di Universitas Trisakti, 4 mahasiswa tewas ditembak mati aparat. Media massa sejak pagi ramai memberitakan penembakan mahasiswa Trisakti ini, amarah masyarakat pun meletus kepada rejim Soeharto. Presiden kebetulan sedang melakukan kunjungan kerja luar negeri ke Mesir saat itu (para aktivis dan mahasiswa bercanda bilang dia sedang ziarah ke Firaun).


Aksi demonstrasi para mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998 yang awalnya berjalan damai saat long march ke luar kampus ini kemudian berujung rusuh dan menewaskan empat mahasiswa yang mati ditembak aparat.
Mahasiswi terkapar di peristiwa bentrok antara aparat keamanan dan mahasiswa di depan Kampus Trisakti Jakarta pada 12 Mei 1998. Belakangan diketahui mahasiswi tersebut bernama Kiki, dirinya terjatuh saat peristiwa itu. Fotografer Kompas mendiang Julian Sihombing memotret foto ini saat sedang istirahat di sebuah warung tak jauh dari lokasi kejadian






Empat mahasiswa Trisakti yang tewas ditembak aparat.


Headline harian Kompas sehari setelah penembakan mahasiswa Trisakti, 13 Mei 1998.


Saya dan kawan-kawan Moestopo seperjuangan lainnya pada 13 Mei ‘98 subuh berhasil menyusup ke kampus Trisakti untuk melayat. Penjagaan tentara di sana sangat ketat. Suasana kampus Trisakti saat itu diliputi duka yang sangat mendalam, darah bekas korban penembakan masih berceceran dimana-mana di dalam kampus. Seluruh jenazah mahasiswa yang tewas pagi itu juga mulai dimakamkan oleh keluarga masing-masing dan disiarkan oleh berbagai stasiun TV. Kami di Trisakti menontonnya dengan sangat sedih.

Mimbar bebas yang digelar di dalam kampus Trisakti diisi dengan orasi yang bercampur keringat, darah dan air mata. Bunga kematian terus berdatangan. Para elit politik seperti Amien Rais, Megawati, Permadi, Adnan Buyung Nasution mulai berdatangan ke kampus Trisakti dan ikut melakukan orasi mendukung perjuangan mahasiswa. Saya ingat sekali Soerjadi (Ketua PDI yang Pro-Soeharto) sempat datang ke Trisakti namun kemudian diusir dan ditimpukin oleh massa mahasiswa.

Ketika mimbar bebas tengah berlangsung mendadak terjadi ledakan besar dengan api membumbung tinggi dari samping kampus, hampir semua orang terlihat tiarap! Ternyata kerumunan massa di luar kampus membakar pom bensin yang letaknya persis di samping kampus Trisakti. Kami yang di dalam kaget luar biasa saat melihat lautan ratusan massa berpotongan rambut cepak terlihat sedang memprovokasi mahasiswa agar ikut keluar kampus untuk bergabung dengan mereka.

Sebuah pom bensin di daerah Daan Mogot yang tak jauh dari kampus Trisakti ini juga tak luput dari penjarahan massal.


Kerumunan massa yang bergerombol di depan kampus Trisakti pada 13 Mei 1998 ini yang menjadi pemicu terjadinya kerusuhan, penjarahan dan pembakaran mobil massal yang kemudian merembet ke berbagai daerah di Jakarta.


Aparat bersenjata lengkap yang menjaga gerbang Trisakti membentengi kami agar tidak ikut keluar kampus dan bergabung dengan massa tidak jelas tersebut. Untungnya para mahasiswa ini tidak terpancing keluar saat itu, saya duga ada rencana untuk memfitnah gerakan mahasiswa. Karena tidak lama kemudian massa yang semakin banyak jumlahnya itu mulai membakari mobil, motor, dan melakukan penjarahan. Saya lihat semuanya dari kejauhan. Ternyata kami mendapat kabar kemudian kalo kerusuhan di depan Trisakti itu mulai menjalar ke berbagai tempat di Jakarta, kok bisa sistematis, aneh!

Pembakaran mobil-mobil yang terletak di depan kampus Trisakti pada 13 Mei 1998 ini menandai kerusuhan massal yang kemudian meluas ke berbagai tempat di Jakarta. Dari kejauhan terlihat Mall Ciputra.



Menyadari kondisi Jakarta saat itu makin tidak terkendali, kami pun berpikir untuk keluar dari kampus Trisakti lewat pintu belakang kampus. Mustahil keluar dari pintu depan, karena helikopter TNI terbang sangat rendah lengkap dengan beberapa sniper di dalamnya, coba untuk mengendalikan massa yang sedang melakukan penjarahan. Ketika berhasil keluar dari kampus kami menyaksikan sebuah pemandangan yang baru untuk pertama kalinya seumur hidup kami saksikan... Ribuan massa berteriak histeris membakari mobil-mobil dan motor-motor yang lewat di sepanjang jalan serta banyak yang membobol toko-toko serta menjarahi isinya.



















Rute kami adalah berjalan kaki dari Trisakti ke Moestopo lewat belakang, memotong dari Jakarta Design Center, Pejompongan, Belakang Gedung DPR, Asia Afrika Senayan, nyaris semuanya dibakar dan mulai menggosong! Tidak sedikit warga yang tampak bersuka ria tengah mendorong trolley dengan berbagai isi jarahan di dalamnya. Belum lagi ratusan sinterklas dadakan yang hilir mudik di jalanan tengah menenteng karung-karung hasil jarahan. Kami yang sedih melihat semua pemandangan chaos ini kemudian berpikir, "apakah ini yang namanya revolusi? Sebrutal ini?" Sangat menyedihkan.






















Long march yang sebenernya sangat jauh jika Jakarta dalam keadaan normal membuat langkah kami semakin berat, ada kematian, ada kerusuhan.. Ketika akhirnya sampai di kampus Moestopo kami segera naik ke lantai teratas dengan maksud memantau kondisi Jakarta dari atas sana. Luar biasa gila! Asap hitam tebal mengepul dimana-mana sejauh mata memandang, Jakarta lumpuh dan hangus hanya dalam beberapa jam saja... Saat itu kami mulai mendengar rumor ABRI (termasuk polisi) telah terpecah, satu berpihak kepada Panglima TNI Wiranto dan satunya ke Pangkostrad Prabowo. Isyu kudeta dari tentara pun mulai berseliweran dari mulut ke mulut para aktivis, apalagi saat itu Soeharto masih berada di luar negeri.


Suasana Jakarta bumi hangus dari atas ketinggian saat terjadinya kerusuhan 13-14 Mei 1998. 










Tank-tank militer usai kerusuhan massal masih sering terlihat berkeliling ke berbagai wilayah konflik di Jakarta.


Keputusan teraman bagi kami saat itu adalah tetap bertahan dan bermalam di dalam kampus, aparat kabarnya sedang melakukan pembersihan dimana-mana. Soeharto akhirnya pulang dan mendarat di Halim Perdanakusuma pada 14 Mei ‘98 pagi dari Mesir dan mendapati sebagian kota Jakarta dalam keadaan terbakar habis! Pada hari yang sama  ketika kerusuhan memasuki hari kedua, kami mendengar ada pertemuan rahasia di Makostrad antara tokoh masyarakat dengan Prabowo. Yang hadir disana ada Setiawan Djodi, Adnan Buyung, Fahmi Idris, Bambang Widjajanto (sempat jadi wakil ketua KPK) dan Prabowo. Tujuannya bertanya!

Wiranto yang saat itu menjabat Menhankam/Panglima TNI atau atasan Prabowo, beberapa hari setelah Soeharto turun, kemudian mendadak mencopotnya dari jabatan Pangkostrad. Ia diduga terlibat dalam penculikan aktivis, penembakan serta kerusuhan massal yang terjadi di Jakarta, itu kabarnya alasan pencopotannya, walau hingga kini tiada yang tahu persis kepastiannya. Selain di Jakarta, kerusuhan, pembakaran dan penjarahan serupa juga terjadi Solo dan Medan, namun hingga kini pengusutannya tak pernah jelas.


Prabowo Subianto saat dicopot dari jabatannya selaku Pangkostrad oleh Panglima TNI Wiranto.


Menurut Tempo, kerusuhan 13-14 Mei ‘98 itu menelan korban 1.200 orang tewas, dan 44 pemerkosaan perempuan. Menurut Kompas, kerugiannya Rp 2,5 triliun!


Headline harian Kompas pada 18 Mei 1998.

18 Mei 1998, sekitar siang/sore teman-teman mahasiswa bertemu Ketua DPR saat itu, Harmoko, dan menuntut agar Soeharto diturunkan secepatnya! Harmoko yang baru tiga bulan sebelumnya mencalonkan lagi Soeharto menjadi presiden setelah didesak mahasiswa akhirnya setuju menurunkan Soeharto, aneh. Harmoko mengumumkan itu ke mahasiswa lewat pengeras suara di Gedung DPR dengan ditemani oleh Abdul Gafur, Syarwan Hamid, Ismail Hasan Metaurum. 


Ketua DPR RI saat itu Harmoko usai menerima para demonstran yang menuntut Soeharto segera dilengserkan.


Pada malam harinya Panglima ABRI Wiranto via TV mematahkan pernyataan Ketua DPR tersebut, dia masih bertahan membela Soeharto di saat-saat terakhirnya.

Harap maklum, Wiranto memang bekas ajudan militer Soeharto dulunya, namun tuntutan reformasi total mahasiswa sudah tidak bisa dibendung lagi. Melihat gelagat buruk Wiranto yang berniat menyelamatkan kekuasaan majikannya, kami mahasiswa lantas melakukan mobilisasi besar-besaran ke Gedung DPR. Karena kebetulan Universitas Moestopo yang paling terdekat dengan Gedung DPR, maka ribuan mahasiswa kami pun mengosongkan kampus dan segera long march menuju ke sana, edan!


Wiranto dan SBY saat tampil di televisi nasional untuk menyatakan dukungannya pada pemerintahan Orde Baru Soeharto di hari-hari menjelang reformasi 21 Mei 1998.


Sampai di Gedung DPR kami berhadap-hadapanan dengan ratusan anggota Pemuda Pancasila yang membentangkan spanduk besar berbunyi, "Kami Setia di Belakang Orde Baru." Jreeng!!
Saat itu ratusan hingga ribuan mahasiswa dari FKSMJ lainnya mulai berdatangan pula ke Gedung DPR, solidaritasnya sangat mengharukan sekali saat itu. Occupied DPR!

Akhirnya karena melihat kekuatan mahasiswa Pro-Reformasi semakin banyak dari jam ke jamnya, akhirnya ratusan anggota Pemuda Pancasila pun kemudian mundur teratur.



Massa mahasiswa Universitas Moestopo serta berbagai kampus di Jakarta saat mulai berdatangan ke Gedung DPR pada 18 Mei 1998, jumlahnya dari mulai ratusan saja hingga akhirnya mencapai puluhan ribu hingga puncaknya pada 21 Mei 1998.







Massa mahasiswa pada 18 Mei 1998 mulai menduduki Gedung DPR untuk menuntut Soeharto mundur dari tampuk kekuasaan yang telah digenggamnya selama 32 tahun lamanya.







Ribuan massa mahasiswa Universitas Moestopo yang berjas abu-abu duduk di bagian atas anak tangga Gedung DPR pada tanggal 18-21 Mei 1998. Mereka bergabung dengan ribuan massa mahasiswa lainnya untuk menuntut lengsernya Soeharto.  


Sementara teman-teman dari gerakan mahasiswa lainnya seperti Forkot (Forum Kota) pun ikut memobilisasi massa dan kami semuanya sepakat bertahan di Gedung DPR hingga Soeharto mundur! Yang membanggakan, keesokan harinya berbagai elemen masyarakat lainnya juga ikut bergabung mendukung perjuangan teman-teman mahasiswa. Kawan-kawan LSM pro-dem, para dosen, cendekiawan, organisasi profesi apapun dapat dijumpai pula di Gedung DPR untuk ikut mendukung perjuangan para mahasiswa.

19 Mei '98 itu Ibu Pertiwi sedang hamil tua, rejim Orde Baru sedang menghitung mundur menuju kematian, this is the countdown to extinction... Elit politik seperti Gus Dur, Cak Nur, dan sebagainya bertemu Soeharto, Presiden RI selama 32 tahun dan kemudian dengan berani menyarankan dirinya untuk mundur, walau ia tampak masih mencoba bertahan.



Soeharto saat menerima para tokoh agama dan tokoh masyarakat di hari-hari jelang jatuhnya Orde Baru, Mei 1998.



Kami yang berada di Gedung DPR terus melakukan orasi di mimbar bebas, Tiada hari tanpa orasi, dan tanpa henti. Sesekali sempat terdengar rumor adanya sekelompok tentara loyalis Harto... yang berniat memberondong habis mahasiswa dan membuang mayat-mayat mereka ke laut, mirip seperti Tragedi Tiananmen di Tiongkok. Malam-malam suasana di Gedung DPR sangat mencekam. Saya sempet memantau gerbang utama Gedung DPR dan mendengar kawan-kawan mempersiapkan sebuah password mengerikan. Kalo datang aba-aba "Banjir" itu tandanya tentara-tentara menyerang masuk!

Malam itu juga ayah saya yang cemas dengan keadaan di Gedung DPR saat memantau via layar TV kemudian menelepon ke ponsel miliknya Ericsson GF388 yang kebetulan saya "pinjam" saat itu. Sebuah perbincangan paling mengharukan dan intens dengan ayah saya yang pastinya tidak akan bisa saya lupakan seumur hidup terjadi pada saat itu.


Ericsson GF 388 yang bersejarah dan takkan terlupakan.


Ayah: "Lebih baik kamu pulang ke rumah sekarang. Suasana berbahaya disana, kamu dan kawan-kawan nggak paham seberapa kejamnya tentara-tentara Soeharto itu."

Ayah: "Kalian semua nggak mengalami Malari '74, Prabowo itu bla bla bla, Wiranto itu bla bla bla."

Saya menyatakan tegas kepadanya akan tetap bertahan di Gedung DPR sampai Soeharto turun!

Akhirnya saya dengar ayah saya mulai menangis. Sepertinya untuk pertama kalinya saya mendengar dia menangis. Karena dia menangis saya malah jadi takut mati. Jujur saya takut setengah mati sebenarnya, kayaknya juga semua mahasiswa yang ada di Gedung DPR saat itu. Apalagi Tragedi 27 Juli yang menelan cukup banyak korban tewas baru berlalu dua tahun sebelumnya.

Malam 19 Mei ‘98 itu entah kenapa waktu terasa berjalan lambat, sangat lambat, kami bisa rasakan detik demi detiknya di dalam sana... Sejauh mata memandang di Gedung DPR saat itu isinya mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat lainnya. Ada yang tidur di ruang anggota dewan, jalanan, dan sebagainya.

Sekitar jam 4 subuh, di saat ngantuk melanda, mendadak kami semua dikejutkan oleh teriakan berantai yang bergema cukup keras: "BANJIIIIIR!" Semua pun mendadak bangun dari tidurnya, kalang kabut, sempat melihat beberapa orang terinjak di perutnya oleh mereka yang panik ini.

Apakah kita semua akan mati? Semua yang pernah kita lihat dan bayangkan tentang Tragedi Tiananmen seketika itu juga melintas, deretan truk bersirene panjang berbaris. Beberapa dari kami melihat bahwa gorong-gorong depan Gedung DPR telah dibongkar, satu batalyon anggota Kopassus akan masuk ke dalam gedung lewat sana (ternyata cuma rumor). Semua orang kemudian berdiri dan hanya bisa terdiam melihat dari kejauhan truk-truk bersirene itu, keringet deras bercucuran, gerbang sudah terbuka. Kalian tahu apa yang terjadi berikutnya?

Ternyata semua itu adalah truk sapu otomatis pembersih sampah! Kondisi Gedung DPR memang kotor banget saat itu. Semua orang yang kaget akhirnya malah tertawa terpingkal-pingkal saat melihat truk-truk ini beneran menyapu jalanan dan membuang gundukan sampah nasi bungkus! Itu salah satu kejadian paling mengerikan tapi tolol yang pastinya tidak akan bisa dilupakan oleh semua yang hadir disana dini hari itu!! :))

Hari itu juga kami dengar kabar Amien Rais bakal menggelar demo sejuta umat anti-Orba di Monas. Tapi demo itu akhirnya dibatalkan oleh Amien sendiri karena kabarnya ia takut bakal terjadi pertumpahan darah jika tetap dilangsungkan. Sementara di Yogya demo anti-Orba dihadiri 500 ribu orang. Lebih keren lagi demo di Yogya yang kami saksikan di TV itu ternyata dipimpin langsung oleh Sri Sultan HB X, teman-teman yang di Gedung DPR pun bagai merasa, we are not alone :)

Aksi besar-besaran lainnya juga serentak terjadi pula di Bandung, Medan, Solo, dan sebagainya, kebetulan bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional 1998. Akhirnya menjelang sore kami di Gedung DPR mendapat kabar kalo 14 menteri di kabinet Soeharto mengundurkan diri satu persatu. Jelas ini bagaikan upper cut yang telak buat Soeharto.

Tengah malam kami juga menerima rumor bahwa Soeharto bakal menyatakan mundur sebagai presiden besok paginya, 21 Mei ‘98. Terus terang tidak ada yang percaya kabar tersebut, kok bisa secepat dan semudah itu ia menyerah? Ternyata disaat bersamaan di Jalan Cendana gonjang-ganjing beneran terjadi. Sekali lagi Wiranto dibuat repot majikannya yang mau mundur. Kabarnya Wiranto sampai tiga kali bolak balik Cendana-Kantor Menhankam untuk menyikapi keputusan Soeharto, yang belum pernah terjadi selama 32 tahun ia berkuasa.

Akhirnya esok paginya, 21 Mei '98 tepat jam 9 pagi, Soeharto menyatakan berhenti jadi Presiden RI dan menyerahkan tampuk pimpinan kepada Wakil Presiden RI BJ Habibie. Saya yang nonton melalui TV layar besar di Gedung DPR saat itu sempat merasakan suasana hening sekejap saat Soeharto menyatakan mundur, dan setelah itu.."BLAAAAR!" Eforia pun meledak di seluruh gedung!


Soeharto saat menyatakan mundur sebagai presiden RI pada 21 Mei 1998 pukul 9 pagi. Posisinya digantikan oleh Wakil Presiden BJ Habibie yang kemudian menjabat sebagai Presiden ketiga RI.















Semua mahasiswa saat itu di DPR teriak-teriak histeris, saling berpelukan, berjumpalitan, menangis berbarengan, bahkan sampai pada nyemplung kolam berjamaah saking bahagianya, unforgettable!

Tidak lama setelah itu Wiranto ikut ngomong di TV: "ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan para mantan Presiden, termasuk Soeharto dan keluarga!" Dan seketika itu juga teriakan, hujatan dan sumpah serapah bagi Wiranto terdengar di seantero Gedung DPR, epic! Hahaha. Itulah sekelumit kisah #menolaklupa dari saya yang mengalami sendiri kejadian waktu itu bersama kawan-kawan seperjuangan lainnya.

Perjuangan reformasi untuk meruntuhkan kekuasaan Orde Baru nyatanya memang tidak berhenti sampai di sana, bahkan terus berlanjut hingga lebih satu tahun kemudian BJ Habibie memimpin transisi Orde Baru Jilid Dua. Medan pertempurannya bahkan berpindah-pindah, dari Gedung DPR hingga ke Jembatan Semanggi. Nanti akan saya ceritakan lagi kelanjutannya di lain kesempatan.  

Kisah ini sebelumnya pada 2014 sempat saya share via kultwit di Twitter

Komentar

  1. Jurnalis musik idola saya memang tidak ada duanya

    BalasHapus
  2. ditunggu kelanjutan ceritanya bro

    BalasHapus
  3. keinget bulan mei 98, pulang jumatan ada temen yg dateng kerumah bawa info BOYOLALI terjadi kerusuhan. ada gerombolan orang dari arah solo masuk kota boyolali. gak pake lama langsung meluncur ke kota yg jaraknya 1km. dan ternyata beneran terjadi kerusuhan. toko2 dibakar, dijarah. polisi cuma beberapa orang karena hampir semua keamanan di tugaskan ke solo yg sehari sebelumnya udah rusuh. gak akan kelupa hari itu sampai sekarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baru tau Boyolali rusuh juga ternyata ya, thanks for sharing

      Hapus
  4. Mas Wendi, tambahan waktu pertemuan di Instana bisa ditambahin berdasarkan refrensi tertulis yang ada. Dan kayaknya waktu pertemuan di Makostrad ada Cak Nun juga deh.. ditambahin atuh...
    btw kayaknya ini sempet mas wendi cuitkan di 2014...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cak Nun di makostrad? Coba nanti saya kroscek nih. Iya, betool, dulu pernah kultwit ini juga

      Hapus
  5. Om, apakah benar MARINIR TNI-AL, satu-satunya pasukan yang mendapatkan respect mahasiswa pada saat itu?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar sekali, semua masyarakat respect dengan marinir

      Hapus
  6. air mata saya keluar ketika membaca para mahasiswa langsung eforia atas perjuangannya untuk menuntut soeharto turun dari posisinya sbg presiden selama 32 tahun, meskipun pada tahun 98 saya masih umur 3 tahun tapi saya bisa merasakannya :( dan kebetulan saya alumni dari Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi Trisakti Jakarta yang turut ikut setiap tahunnya untuk memperingati kejadian 12 Mei '98 untuk para mahasiswa Univ Trisakti yg tertembak mati. ditunggu cerita selanjutnya bang :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih udah membaca ya, semoga berguna. Cerita selanjutnya ditulis dulu ya

      Hapus
  7. Malam 21 Mei, Bambang Wisudo, Kompas sekitar menjelang jam 12, kasih bocoran. Nar, info A1 neeh, besok pagi pak Harto mundur, diserahkan ke Habibie. Kontan gw panik, pasti besok massa belah 2, pro dan anti Habibie. Dan benar itu terjadi. Esok pagi paska euforia turunnya Soeharto mereda, pro dan kontra mulai terasa. Ditambah lagi mulai datang kelompok-kelompok tidak jelas ke DPR, dengan membawa sound system yang bagus.
    Setelah rapat, menjelang sore hari Moestopo memutuskan tarik pasukan dari DPR balik kampus.

    Ada beberapa rekaman yang masih gw inget, Amien Rais kita suruh turun dari mimbar...hehehehehehe...

    BTW, udah bagus lu pake HP wen...gw masih pake pager...hahahahaha

    BalasHapus
  8. Mas saya suka tulisan ini..dulu waktu kejadian ini saya masih SD belum ngerti apa2 cuma liat di tv ada kerusuhan, penjarahan dimana2, kebakaran, dilarang keluar sembarangan, sekolah diliburkan dan saya cuma bengong ngeliat, takut.. dan bertanya ada apa dengan indonesia!! dan yang paling sedih..dari peristiwa Mei 98, 20thn yang lalu saya banyak kehilangan teman dan sodara yang sampai detik ini ntah dimana keberadaannya :(
    mas Wendi, lanjutkan tulisannya..saya tunggu!!

    BalasHapus
  9. Gila mas wenz.. Tulisan yg sangat detail per bagiannya.

    Anyway Pantura Jawa Tengah saat itu juga sama mas..
    Tegal, Pekalongan, Semarang..
    Tegal itu sepanjang 20km jalan utama pertokoan habits dibakar Dan dijarah.
    Banyak etnis tionghoa yg ngungsi karena tokonya habis dibakar..
    Ada beberapa korban jiwa cuma sepertinya tidak terkekspos saat itu.

    Cuma ada teman etnis tionghoa cerita kalo pamannya digebukin rame rame sama massa sampe meninggal saat itu. Rumahnya dirusak. Dan dia ngungsi keluar kota yg aman. Dan selama beberapa tahun mengaburkan identitas sebagai orang keturunan tionghoa

    BalasHapus
  10. Hi Wendi tak terasa sudah lama berlalu dan sekarang sudah lahir generasi baru!

    januarpaulus@hotmail.com

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

IKJ: SCHOOL OF ROCK [Editor's Cut]

LED ZEPPELIN Reunion 2007: The Full Report From David Fricke