Nongkrong Bareng David Fricke


Sewaktu riuh rendahnya welcoming party untuk para delegasi Rolling Stone International Conference 2014 bulan lalu di rooftop Viceroy, tiba-tiba saya melihat sosok David Fricke, jurnalis musik sangat senior Rolling Stone ini juga ikut membaur di kerumunan. 

Orang ini telah menulis sangat banyak cover story dan feature band-band legendaris di RS sejak 1979 (in-house sejak 1985), belum lagi liner notes yang ditulisnya untuk album-album/boxset Led Zeppelin, Nirvana, Metallica, Simon & Garfunkel, Lou Reed, Velvet Underground, Jimi Hendrix, Ramones, Frank Zappa dan masih banyak lagi. Fricke juga sempat mewawancara panjang Kurt Cobain untuk rubrik Rolling Stone Interview hanya 2 bulan sebelum pentolan Nirvana itu bunuh diri pada April 1994. 

Padahal di wawancara itu Cobain dengan gaya super meyakinkan sempat bilang ke Fricke kalo ia lagi sehat dan segar bugar belakangan ini. Artikel itu akhirnya tercatat menjadi wawancara panjang terakhir dengannya. Fricke mungkin juga figur paling terkenal di Rolling Stone setelah Jann S. Wenner dan Lester Bangs saat ini. Usianya seumuran almarhum bokap saya, 62 tahun, bahkan lebih tua beberapa bulan. 

Setelah menunggu beberapa waktu lamanya, karena cukup banyak juga delegasi dari negara lain yang ingin berbincang dengannya, akhirnya saya sempat ngobrol panjang dengannya dan menggali banyak pemikirannya tentang jurnalisme musik, termasuk mengkritik reviewnya tentang album terbaru U2 yang diberi rating 5 bintang olehnya hehe. Orangnya sangat ramah dan antik, sekilas malah jika dilihat ia mirip perpaduan antara Joey Ramone dengan James F. Sundah (Hallo, Lia! :D). Sejak ditemukannya teknologi bernama ponsel atau media sosial, ia mengaku tidak pernah memilikinya. 

Fricke pun mengaku banyak mengoleksi piringan hitam dari band-band lawas Indonesia, di antaranya Dara Puspita, Panbers, Koes Plus hingga The Tielman Brothers. Setiap bulan pun ia mengaku rutin melihat-lihat edisi terbaru Rolling Stone Indonesia yang memang selalu dikirimkan ke sana. "Saya tentu tidak paham apa yang kalian tulis di sana, tetapi saya melihat sepertinya scene musik di negara kalian sangat berkembang sekali. Beberapa CD kompilasi yang menjadi bonus majalah kalian juga pernah saya dengarkan, band-bandnya keren," ujarnya saat itu.

Iseng saja saya tanya waktu itu, gimana jika kapan-kapan ia kami undang ke Jakarta untuk menjadi pembicara di sebuah seminar tentang jurnalisme musik sembari berburu piringan hitam langka. Jawabannya ternyata sangat antusias dan ia bersedia untuk datang. Ketika saya jelaskan lagi kalau penerbangan ke Indonesia sangat lama dan jauh, 27 jam lamanya, dia jawab dengan santainya, tenang saja, saya pernah terbang ke Australia yang kurang lebih sama jauhnya kan? 
 
Beberapa hari kemudian saya sempat bertemu dengannya lagi di kantor Rolling Stone USA. Kali ini untuk mendengarkan strategi para editor disana (Nathan Brackett, Karyn Gantz, Jason Newman) dalam memilih topik dan menulis feature, salah satunya adalah tips dari David Fricke. Sempat juga nongkrong sebentar di ruang kerjanya yang ternyata persis bersebelahan dengan ruang kerja Peter Travers, kritikus film legendaris Rolling Stone (akan ada ceritanya terpisah tentang itu nanti). Terima kasih untuk perbincangannya yang inspiratif, David, sampai bertemu lagi di Jakarta, semoga! 

Eddie J. Soebari, saya, David Fricke, Ricky Siahaan di RS HQ, NYC.

David Fricke at his office in RS HQ.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IKJ: SCHOOL OF ROCK [Editor's Cut]

LED ZEPPELIN Reunion 2007: The Full Report From David Fricke