BUKAN PAHLAWAN [Editor's Cut]


BUKAN PAHLAWAN


 


 


Mereka belum mati, mereka kembali! Mereka tetap bernyali untuk tegak berdiri walau Bali diluluhlantakkan dua kali. Kisah band punk rock terbesar di Indonesia yang berjuang mengembalikan surga dewata dari neraka tragedi.


 


 


 


 


1 Oktober 2005 menjelang pukul 19:00 WITA. Eka Rock, pemain bas Superman Is Dead tengah sibuk mendandani anaknya, Romeo Rockavanka. Sabtu malam itu ia bermaksud mengajak putranya yang berusia tiga tahun ke Pantai Kuta untuk menyaksikan konser ayahnya sekaligus refreshing. Romeo memang senang menonton konser dan bermain di atas pasir pantai. Siang hari ia seperti sudah mempersiapkan segalanya. Tidur siang yang cukup dan sedikit bicara. Terkesan ia hendak menghabiskan seluruh energinya di pantai pada malam harinya.


            Sejam menjelang berangkat ke venue tiba-tiba sebuah SMS masuk ke ponsel Eka. "Jadi main gak? Kuta ada bom, gak ada yang berani keluar di Kuta. Metro TV, please." Pesan tersebut dikirim Dodix, road manager Superman Is Dead. Eka yang terkejut segera menjawab SMS tersebut namun kerap kali gagal terkirim. Metro TV menyiarkan berita tentang pengeboman di Kuta Square dan Jimbaran. Diperkirakan ratusan orang tewas dan ribuan menjadi korban mengingat saat itu adalah malam libur. Trauma tragedi tiga tahun sebelumnya menerjang Eka yang segera saja dilanda kekalutan. Padahal jarak rumahnya dengan TKP sekitar sepuluh kilometer jauhnya. Ia cemas akan nasib kawan-kawannya disana, khususnya Jerinx, drummer Superman Is Dead yang memang bertempat tinggal di Kuta. Berkali-kali ia menghubungi semua kawan-kawannya di band via ponsel namun selalu gagal karena jaringan telepon luar biasa sibuknya saat itu.     


            Menjelang pukul sepuluh malam Eka mendapat kabar dari Dodix bahwa konser yang telah berlangsung sejak pukul tiga sore itu seketika dihentikan dan ia memperingati Eka untuk tetap “stay at home.” Satu persatu kru dan personel Superman Is Dead yang lain kemudian bisa ia hubungi. Semua baik-baik saja, kecuali Jerinx yang dikabarkan sibuk mencari Cathy, pacarnya, yang pada waktu kejadian dikabarkan tengah berada di Kuta Square.


Esok harinya Jerinx bercerita kepada Eka bahwa dirinya sempat menerobos police line di TKP dengan dalih mencari saudaranya yang terkena ledakan. Belakangan diperoleh kabar ketika pengeboman berlangsung kebetulan Cathy telah meninggalkan TKP dengan menggunakan taksi dan meninggalkan mobilnya disana. Akhirnya keterangan resmi pemerintah menyebutkan 25 orang tewas dan 196 orang mengalami luka-luka karena ledakan bom di dua TKP tadi. Setengah tiang kembali berkibar di pulau dewata.


 


* * *


 


Lebih dari setengah tahun berlalu sejak sekuel Bom Bali tersebut, hampir semua orang yang tinggal di pulau Bali kini dilanda trauma yang mendalam. Jika ada pengeboman pertama dan kedua, maka sangat mungkin terjadi pengeboman yang ketiga. Tiada yang tahu kapan. “Bukan cuma orang Bali, seluruh manusia yang hidup di Bali sekarang pasti cemas dan berpikir seperti itu. Besar sekali paranoidnya,” ujar Jerinx lirih ketika saya bertemu mereka pada sebuah sore cerah di kafe bernuansa klasik di Kuta belum lama ini.


“Karena saya hidup disana jadi energinya saya rasakan setiap hari. Energi ketakutan, rasa cemas itu setiap hari nggak pernah hilang sampai akhirnya untuk pelarian kami jadi mabuk terus. Daripada stres mending minum. Karena kalau udah mabuk, mau keluar kemana pun akhirnya nggak terlalu mikir, kan? Kalau mati ya matilah,” tukas drummer pemegang rekor tato terbanyak di S.I.D tersebut seraya mereguk segelas San Miguel. Nada bicaranya yang sangat tenang tetap tak mampu menyembunyikan amarahnya atas tragedi tersebut.


“Saya merasakan sendiri kehilangan teman-teman akibat peristiwa itu. Banyak sekali teman saya yang menjadi korban,” ujar Jerinx tertunduk sedih. Eka yang duduk persis di samping saya menambahkan bahwa setelah bom kedua, terjadi ledakan pengangguran besar-besaran di Bali karena banyak perusahaan yang bangkrut akibat bisnis kian memburuk. Pulau Bali yang sebagian besar perekonomiannya digerakkan oleh roda pariwisata memang terlihat masih sepi turis hingga saat ini.


Jerinx lantas bercerita tentang seorang temannya yang bekerja di sebuah restoran kecil di kawasan Kuta. “Gajinya setiap bulan lima ratus ribu rupiah. Punya anak, punya istri dan lagi mencicil motor. Gara-gara bom dia dipecat karena restorannya bangkrut dan sekarang akhirnya dia jadi preman yang nggak jelas. Hal-hal seperti itu sekarang nggak hanya dialami satu orang saja di Bali, banyak sekali. Itu buat saya mempengaruhi banget pemikiran saya. Mau dibawa kemana Bali ini lama kelamaan?”


Menurut analisa Rudolf Dethu, personal manager Superman Is Dead, jika pada Bom Bali pertama ribuan turis kemudian bersimpati dengan berbondong-bondong datang ke Bali menghabiskan uang mereka untuk ikut membantu pemulihan ekonomi, maka untuk Bom Bali kedua mereka justru menjauhi pulau dewata karena takut sial menjadi korban jika ada pengeboman berikutnya. 


Di tengah situasi Bali yang masih lesu, awal Mei lalu Superman Is Dead  justru merilis album terbaru mereka yang bertitel Black Market Love. Album ketiga mereka bersama major label Sony BMG Indonesia ini memang terdengar sangat berbeda dari dua album terdahulu. Lebih bersemangat, bagaikan guyuran bensin di lautan api. Empat belas lagu di dalamnya tak hanya terekam di pita magnetik ataupun cakram padat, lebih jauh lagi album ini merupakan rekaman semua peristiwa memilukan yang mereka alami beberapa tahun belakangan di Bali serta selama menggelar tur konser keliling Indonesia. Black Market Love selain memiliki komposisi yang jauh lebih variatif dari dua album terdahulu juga pekat mencerminkan kondisi psikologis para personel Superman Is Dead. Sebuah album terbaik mereka hingga saat ini yang meledak-ledak dalam kesedihan.


Black Market Love bisa dibilang pendewasaan kami secara musikal, ada peningkatan,” tukas Jerinx. Ia menjelaskan eksplorasi Superman Is Dead di album ini lebih luas dan referensi untuk album ini bukan hanya dari punk rock melainkan juga dari musik latin hingga masuknya instrumen-instrumen tambahan seperti piano, organ, biola hingga akordeon. “Kami juga dipengaruhi unsur-unsur musik yang baru bagi kami. Seperti hardcore pada lagu ‘Citra OD’ atau ska pada lagu ‘Anger INC.’ Kami bertiga sekarang benar-benar bernyanyi disini. Eka nyanyi, saya juga dan Bobby udah pasti nyanyi [tertawa]. Album ini pokoknya benar-benar fresh dan baru buat kami,” tukas Jerinx antusias. Bobby Cool, gitaris-vokalis S.I.D yang dari tadi terdiam dengan cepat menambahkan, “Memang album ini agak ribet sedikit, soalnya memakai ini, itu dan banyak additional juga sewaktu rekaman kemarin.”


Album yang de facto merupakan karya keenam sepanjang sebelas tahun band ini berdiri juga sarat kolaborasi. Mereka mengajak Dadang (gitaris Navicula) dan Sari (vokalis Nymphea) di nomor “Lady Rose,” Leo gitaris Suicidal Sinatra di semi-balada country “Goodbye Whiskey”, Fahmi peniup terompet Devildice di lagu “Menginjak Neraka”, Prima vokalis band politikal Geek’s Smile di nomor “Citra O.D.” hingga permainan organ sahabat kecil mereka Philipus di single pertama “Bukan Pahlawan.” Memang bukan sebuah kolaborasi yang bertaburan bintang-bintang rock papan atas negeri ini. Sekadar teman-teman dekat Superman Is Dead yang sangat mereka kagumi.


“Saya kenal secara pribadi dengan mereka semua dan menyukai band mereka masing-masing. Kami pingin keluar dari stigma kalau band berkolaborasi harus ngajak artis yang sudah ngetop. Misalnya seperti Slank mengajak Rhoma Irama atau Iwan Fals,” jelas Jerinx lagi. Sambil tertawa Bobby pun ikut menimpali,  “Kalau Superman Is Dead mungkin ingin mengajak Inul.”


Bobby sedang tidak bercanda, ia juga menjelaskan bahwa di album baru ini lagu mereka yang berjudul “Kita Vs Mereka” itu terinspirasi dari rentetan tekanan yang menimpa penyanyi dangdut Inul Daratista. “Kayaknya kisah dia itu mirip dengan apa yang kami alami. Dari nol sampai seperti sekarang ini terkenal tapi sekaligus ditindas,” tukas Bobby simpatik.


Jerinx pun dengan semangat menambahkan, “Dia kan anak kampung yang mencoba hidup di Jakarta dan melakukan sesuatu yang berbeda. Orangnya kayaknya jujur banget, humble. Kami simpati dengannya dan nggak memandang dia itu penyanyi dangdut atau bukan, pokoknya secara personality kami respek dengan dia. Inul kami lihat sebagai ikon orang yang diinjak-injak. Saya yakin di Indonesia banyak orang yang seperti Inul, ingin melakukan sesuatu yang berbeda tapi dijajah.”


Perubahan yang dialami Superman Is Dead era Black Market Love memang terbilang radikal. Hal tersebut dapat diamati langsung dari pemilihan tema lagu, imej band hingga makin banyaknya penggunaan lirik Indonesia yang dulu sempat mereka hindari. Ketika saya tanya apa yang dimaksud dengan Black Market Love dengan cekatan Jerinx menjawabnya, “Black Market Love adalah kecintaan kami pada hal-hal yang dianggap salah oleh kaum-kaum fasis.”


Kurang jelas siapa yang dimaksud Jerinx dengan “kaum fasis,” yang pasti ia hanya berpendapat bahwa kaum fasis ini selalu berpikir Bali adalah tempat maksiat sehingga layak dibom. “Saya kemudian berpikir, ‘Man, saya lahir, hidup dan dibesarkan disini, saya berhak mengungkapkan semua ini,’” ujar Jerinx.


“Yang kami tahu Bali justru bukan daerah yang paling bejad di Indonesia. Jadi kalau dibilang sentral maksiat itu dasarnya apa? Sementara di daerah lain prostitusi juga banyak, hampir semua daerah ada tempat prostitusinya. Akhirnya lama kelamaan kami berpikir kalau mereka memang benci sama kaum minoritas aja sebenarnya, karena kami berbeda dengan mereka,” tukas Jerinx seraya ditambahkan oleh Bobby, “Padahal itu sebenarnya cuma masalah kepentingan saja.”


Mengenai perubahan imej band yang bergeser dari glam-punk  menjadi working-class-punk seperti terlihat di cover album mereka, menurut Bobby, sebenarnya telah mereka lakukan sejak album kedua, The Hangover Decade yang beredar Desember 2004. “Itu bentuk perbauran kami dengan lingkungan, jadi lebih enak,” ujar Bobby. Sedangkan menurut Jerinx jika dilihat dari sejarahnya, punk rock itu memang berasal dari bawah. Musik orang jalanan, musik orang yang kalah. “Jadi kami mencoba untuk back to basic,” tukasnya.


“Dulu kami buta banget tentang scene punk rock di Indonesia. Yang kami tahu cuma Bali aja. Dan punk rock di Bali ketika itu sedikit banget dan kami termasuk salah satu yang pertama, jadi kami nggak punya panutanlah. Bingung.  Sementara role model kami band-band barat yang lifestyle mereka kalau mau diterapkan di Indonesia susah,” cerita drummer vegetarian ini lagi.


Dethu yang memiliki kontribusi cukup besar atas masuknya pengaruh glam ke Superman Is Dead akhirnya angkat bicara.  “Apakah sebuah tindakan yang salah bagi S.I.D untuk menjadi glam? Oh, tidak. Itu bagian dari proses, karena itu asalnya dari apa yang mereka lihat dan rasakan. Hal lainnya yang mempengaruhi perubahan ini adalah kondisi di Indonesia yang sebenarnya. Bom-bom di Bali yang kita alami sendiri, terorisme dan sebagainya.” Pria yang berada dibalik kesuksesan Superman Is Dead ini memiliki butik rock n’ roll bernama Suicide Glam yang memang manifesto desainnya bertumpu pada estetika glamour.


Jerinx berandai-andai bahwa jika Bali tempo hari damai dan tidak ada pengeboman maka kemungkinan besar bandnya masih tetap seperti dulu, pesta setiap hari dan glamour. “Bisa jadi, kita nggak bakal pernah tahu kan?”


Menurutnya lagi, perubahan imej yang terjadi dibandnya memang lebih dikarenakan perbenturan mereka dengan kenyataan obyektif di berbagai daerah di Indonesia saat menggelar tur konser. “Waktu pertama kali kami ngerilis Kuta Rock City kan masih jarang keliling Indonesia. Saat itu kami masih berpikir Bali-minded. Jadi santai bisa pesta setiap hari. Ternyata setelah kami keliling Indonesia kami mendapati kalau Indonesia itu hancur. Ternyata penonton konser kami masih banyak yang pakai sandal jepit dan banyak yang nggak bisa beli tiket yang harganya hanya lima ribu rupiah, hal-hal seperti itu.”


Jerinx mengaku sebelum tur keliling Indonesia sering menonton televisi tentang kondisi negara ini yang kian memburuk namun ia tak percaya dan menyangka semua itu adalah rekayasa media. “Saya pikir televisi ngasih lihat yang buruk-buruk aja, tapi ternyata memang benar, makin memburuk.”


Black Market Love bisa jadi merupakan album paling ambisius yang pernah diciptakan oleh Superman Is Dead mengingat tanggung jawab dan misi yang kini menjadi ‘manisfesto’ mereka. “Di album ini kami pingin fixed something, memperbaiki sesuatu yang kami anggap dan kami pikir masih bisa diperbaiki walau skalanya kecil,” jelas Jerinx. “Apa yang terjadi bila misi tersebut gagal tercapai?,” tanya saya penasaran. “Pokoknya kami berusaha sekuat tenaga untuk memperbaikinya, walaupun nanti hasilnya kecil tidak masalah, yang penting kami sudah berusaha,” tukas Jerinx dengan nada bicara meninggi.


Dethu kemudian coba menengahi, “Mungkin bisa diterjemahkan juga kalau mereka memiliki misi di Black Market Love ini salah satunya bahwa terorisme yang terjadi disebabkan karena kebodohan dan tingkat pendidikan masyarakat yang kurang memadai. Anak-anak ingin punya kontribusi – paling tidak terhadap lingkungan terdekat mereka.”


Drummer pengagum berat Mike Ness, gembong Social Distortion ini 


melanjutkan bahwa setelah Superman Is Dead diberikan anugerah hingga menjadi band yang “lumayan gede” ia merasa memiliki tanggungjawab kepada masyarakat. “Caranya dengan memanfaatkan posisi kami itu untuk kepentingan masyarakat. Jadi bukan sekadar main band untuk memperkaya diri atau supaya kelihatan keren, bukan itu. Kami pingin juga kasih sesuatu buat orang-orang yang selama ini sering menolong kami.”


“Oke, kalian kan sudah keren, bagaimana kalau kalian kaya dari musik?,” iseng saya bertanya. “Bagus,” jawab Jerinx lugas. “Kami soalnya bosen banget miskin,” ujar Bobby sambil tertawa. “Tadi katanya ngeband bukan untuk memperkaya diri?” tanya saya lagi. “Maksudnya, tujuan utamanya bukan untuk itu. Ada beberapa tujuan dan kami ingin itu seimbang, balanced,” ujar Jerinx.


“Kalau begitu, apa tujuannya?,” kembali saya bertanya. “Agar pendengar lebih mendengarkan musik kami,” jawab Bobby. “Kami ingin memberi motivasi, harapan dan knowledge. kami ingin orang-orang yang mendengar musik kami –mereka yang merasa kalah dan terjajah – semoga mereka berpikir kalau mereka tidak sendiri dan ketika mendengar musik S.I.D mereka jadi lebih percaya diri,” tukas Jerinx bertubi-tubi.


Belakangan saya mengetahui dari Dethu bahwa Superman Is Dead secara informal ikut menjadi Duta untuk Pengurangan Sampah Plastik yang merupakan program LSM bernama CLEAN UP Bali Foundation. Jerinx sendiri bahkan menghabiskan puluhan juta rupiah royalti yang didapatnya dari album pertama untuk membangun kembali Twice, bar miliknya [dalam kompleks The Maximum Rock N’ Roll Monarchy] di Gang Poppies II, Kuta, agar scene musik di Bali bisa lebih berkembang dan band-band sejenis tidak kesulitan mencari venue manggung. 


Jerinx sering terlihat mengorganisir sendiri gigs di tempatnya ini dan bahkan menjadi MC acaranya. Ia kini disibukkan pula mengelola indie label Lonely King Records yang di antaranya merilis album milik Suicidal Sinatra, The Dissland, The Brews hingga Devildice.  Sementara Bobby menggunakan royaltinya dengan membangun studio rekaman bernama Electrohell bersama surfer terkenal Rizal Tanjung. Sedangkan Eka selain menjadi webmaster juga sibuk mengelola bisnis licensed merchandise untuk band-band lokal Bali.


Apapun yang mereka lakukan sekarang, mereka selalu berupaya memberikan kontribusi untuk membangun scene musik lokal disana. Kini Bali akhirnya dikenal secara luas sebagai kota yang memiliki band-band rock berbahaya dan layak diperhitungkan. “Bisa dibilang kami bangga. Senang. Kami merasa, ‘Man, at least we do something,’” ujar Jerinx, “Salah satu misi kami bisa dibilang sudah tercapai. Wanna give it back to the music. Selama ini kan kami take, sekarang sudah saatnya kami give something. Jadi regenerasi berjalanlah.”


 Membangun scene musik di Bali ternyata jauh lebih menarik bagi mereka dibanding harus hijrah ke Jakarta yang notabene merupakan pusat industri musik nasional. Walaupun untuk ini taruhannya nama besar mereka belakangan sempat meredup. “Kami bisa dibilang melawan sentralisasi di Indonesia. Kami kadang berpikir kenapa artis-artis Jakarta selalu diundang ke daerah sementara mereka jarang mengundang artis daerah ke tempat mereka. Kenapa? Memang just because you lived in a big city maka jadi lebih hebat? Kan belum tentu juga. Kami ingin menunjukan secara nggak langsung supaya orang nggak terlalu berpikiran, ‘Wah, kalau nggak dari Jakarta nggak keren.’”


 


* * *


 


Romeo Rockavanka malam ini cukup menyita perhatian saya. Dengan long sleeve hitam Superman Is Dead yang dikenakannya anak kecil itu tampak bangga berdiri di bibir panggung saat menyaksikan ayahnya manggung. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Yang pasti sepanjang konser Superman Is Dead di Planet Hollywood Bali tersebut ia sesekali tampak bergumam dan mengepalkan tangannya ke udara sementara di kanan-kirinya lingkaran mosh bergejolak liar terkendali. Sebuah band punk/hardcore asal Inggris, 7 Crowns yang baru saja menuntaskan turnya di Indonesia sebelumnya juga tampil menjadi band pembuka. Sekitar seribu orang tampak memadati venue mewah tersebut untuk berpesta sepanjang malam menjelang rilisnya album Black Market Love.


Memang tak hanya Romeo yang bangga melihat ayahnya manggung, boleh dibilang seluruh anak muda Bali sangat bangga dengan Superman Is Dead. Band ini adalah putra daerah Bali pertama yang berhasil dikontrak label rekaman besar ibukota sekaligus merupakan band punk rock pertama Indonesia yang direkrut major label. Mereka berhasil meletakkan Pulau Bali di peta musik nasional. Sebelum Superman Is Dead tak ada label rekaman bahkan tak banyak orang yang tahu seperti apa kiprah band-band asal pulau dewata ini.


Berangkat dengan nama band Superman Silvergun yang diambil dari judul lagu Stone Temple Pilots pada tahun 1995, Jerinx (drums) dan Bobby Cool (gitar/vocal) lantas mengganti nama band mereka menjadi Superman Is Dead beberapa saat setelah Eka Rock bergabung menjadi bassist mereka. Awalnya mereka manggung membawakan lagu-lagu Green Day di atas panggung. Tahun 1997 mereka merilis album debut indie mereka yang bertitel Case 15 yang laku sebanyak 400 keping.


Tahun 2000 Superman Is Dead resmi memiliki manajer Rudolf Dethu, seorang mantan pelayar internasional yang di awal 90-an sering merekamkan kaset-kaset kompilasi punk rock/hardcore bagi teman-temannya di Bali. Orang inilah yang kemudian berperan sangat signifikan dalam kemajuan karir mereka. Akhir tahun 2002 mereka sempat merilis ulang ep Bad, Bad, Bad dibawah indie label Bandung Spills Records dan berhasil making a great buzz di lingkungan industri musik nasional. Pada tanggal 22 Januari 2003 band ini akhirnya resmi teken kontrak 6 album dengan Sony Music Entertainment Indonesia [saat itu].


Jan N. Djuhana, Senior A&R Director Sony BMG Indonesia, via telepon mengungkapkan kepada saya bahwa ia tertarik mengontrak band ini setelah mendengar demo mereka. Selain itu karena mereka datang dari Bali dan tengah menjadi buah bibir dimana-mana. “Kami sebelumnya belum punya band asal Bali dan mesti expand ke Bali,” ujarnya.


Pria yang biasa disapa “Pak Jan” dan dikenal pernah membesarkan band-band seperti Dewa, /rif, Padi, Sheila On 7 hingga Cokelat ini bahkan menyempatkan diri terbang ke Bali tanpa asisten, khusus untuk bertemu Superman Is Dead. “Biasanya sih memang kami lakukan hal semacam itu. Dengan /rif dulu juga begitu, kami datang ke konser mereka di O’Hara Bandung. Kami harus membuktikan juga benar atau tidaknya mereka menjadi idola Kota Kembang atau Pulau Bali,” kata Pak Jan. Belakangan Sony kemudian sempat mengontrak pula band asal Bali lainnya, Navicula.


Kuta Rock City yang rilis bulan Mei 2003 dalam waktu singkat “booming” dan menjadi incaran anak-anak muda di seluruh Indonesia. Angka penjualannya bahkan fenomenal untuk ukuran pasar musik baru. Menurut Pak Jan, album tersebut ludes terjual hingga 200.000 keping dan masih bertambah terus hingga sekarang. “Luar biasa, karena kami nggak sangka musik punk itu cukup memasyarakat juga di Indonesia,” ujar Pak Jan ketika ditanya komentarnya mengenai larisnya Kuta Rock City. Album berikutnya The Hangover Decade menurut Sony BMG Indonesia masih laku hingga 65.000 keping.


Untuk album Black Market Love ini Pak Jan menargetkan penjualannya diharapkan bisa mencapai predikat gold yaitu 75.000 keping. “Pasar sekarang agak lesu, tahun ini dari pengambilan stiker PPN di ASIRI sampai bulan Maret 2006 penjualan turun hingga diatas 40% dibandingkan tahun lalu. Sangat memprihatinkan juga keadaannya,” tukasnya prihatin.


Berkat album Kuta Rock City nama Superman Is Dead kian menjulang tinggi di scene musik nasional. Mereka kemudian sempat menyabet penghargaan sebagai artis “Pendatang Baru Terbaik” dari Anugerah Musik Indonesia (AMI) Awards 2003. Berikutnya pada ajang Penghargaan MTV Indonesia 2003 yang digelar bulan September di Jakarta, Superman Is Dead juga berhasil meraih penghargaan sebagai “Most Favorite New Artist.”


Uniknya di kedua acara penghargaan industri musik yang paling bergengsi di Indonesia tersebut para personel Superman Is Dead justru absen. Menurut Jerinx, saat itu mereka masih canggung dengan besarnya exposure yang tiba-tiba menimpa mereka dan sekaligus ini berbenturan pula dengan idealisme mereka pada saat itu. “Sekarang ini kami santai aja dengan hal-hal seperti itu, walau sebenarnya tidak terlalu signifikan juga bagi karir band ini,” ujar Jerinx via ponsel.


Masih lekat diingatan saya ketika menyaksikan Superman Is Dead tampil dihadapan lebih dari 30.000 orang penonton yang menyaksikan festival musik MTV 3Some pada bulan Juli 2003 di Senayan yang sukses membuat “jiper” band-band besar yang tampil karena sebagian besar penonton justru memanggil nama Superman Is Dead sejak siang hari. Gilanya lagi, band headliner asal Selandia Baru, Blindspott akhirnya ditinggal pulang sebagian besar penonton setelah Superman Is Dead menuntaskan konsernya.


Diluar angka penjualan album yang fenomenal untuk ukuran band yang dibesarkan di jalur indie, apa yang telah dicapai Superman Is Dead jelas membuka mata industri musik nasional terhadap kiprah band-band independen. Label-label rekaman besarpun akhirnya tak bisa lagi menyepelekan potensi pasar  dari band-band amatiran seperti ini. Pasar musik mereka ditengah lesunya industri musik malah makin berkembang besar dan potensial. Sebuah perubahan yang menyegarkan telah digelontorkan di industri musik Indonesia.


 


* * *


Jika ada kontes untuk band yang paling intens menerima resistensi, mungkin Superman Is Dead juaranya. Tak lama setelah teken kontrak dengan major label Sony Music Entertainment Indonesia [kini Sony BMG] datanglah secara bertubi-tubi tekanan, fitnah dan umpatan bagi mereka. Paham yang beredar di scene punk rock memang masih mengharamkan sebuah band punk teken kontrak dengan major label pada saat itu. Serangan pertama terhadap Superman Is Dead terjadi di Surabaya pada tahun 2003 dalam acara Volcom Skate Jam-O-Rama. Saat itu menjelang rilisnya album Kuta Rock City.


“Kami datang ke venue untuk melakukan soundcheck dan saat itu semua baik-baik saja, nggak ada tanda-tanda permusuhan,” cerita Jerinx. Menurutnya tanda-tanda permusuhan justru dirasakan beberapa saat sebelum konser ketika di belakang panggung semua orang menatap mereka dingin. “Dari sana kami mulai mengendus ada sesuatu yang nggak beres. Kami langsung berpikir ini pasti ada hubungannya dengan kontrak major label,” kenang Jerinx lagi.


Ketika mereka konser dan baru memainkan setengah lagu tiba-tiba tersembur keluarlah caci maki dari arah penonton yang menyebut mereka sebagai band rasis. Tak hanya caci maki, gempuran dari oknum-oknum penonton juga berbentuk lemparan rokok, air kencing, ember, batu dan sebagainya. “Itu terjadi hanya beberapa saat setelah kami naik ke atas panggung. Stage sendiri cuma setinggi satu meter. Ada sekitar 20 orang yang rusuh seperti itu,” ujar Bobby. Superman Is Dead sendiri lantas memutuskan untuk menghentikan pertunjukan dan hengkang dari venue karena suasana yang tidak kondusif lagi untuk menggelar konser.


Dari kota inilah kemudian berhembus isyu bahwa Superman Is Dead adalah band rasis, khususnya terhadap etnis Jawa. Jerinx mengungkapkan beragam versi beredar tentang isyu tersebut. “Ada yang bilang saya punya tato ‘Fuck Javanese’, sampul kaset Case 15 katanya ada tulisan itu, bahkan hingga di video klip ‘White Town’ katanya juga ada tulisan itu di tembok. Sampai kabar yang bilang kami pernah mukulin orang Surabaya di Bali, macam-macamlah,” cerita Jerinx sambil tertawa. “Benar-benar pembunuhan karakter,” timpal Bobby menyayangkan.


Dethu sendiri menggunakan logika sederhana saja dalam menanggapi isyu tersebut, “Jika S.I.D emang anti-Jawa kenapa mesti sengaja main di Surabaya? Bukankah itu bunuh diri namanya?” Ia juga menjelaskan bahwa The Maximum Rock N’ Roll Monarchy, markas mereka di Kuta adalah sebuah “melting pot,” tempat dimana orang dari segala macam ras, suku dan budaya sering menghabiskan waktu senggang mereka disana.  “Kalau S.I.D punya sifat Xenophobic [anti orang asing, Red], ndak mungkin dong tempat hang out kami bisa sampai begitu ‘Bhineka Tunggal Ika.’” Belakangan isyu tersebut kemudian menyebar dari mulut ke mulut hingga ke berbagai pelosok nusantara dan menjadi mitos yang efektif meredam pergerakan band ini. Namun yang menggembirakan antara Superman Is Dead dengan scene Surabaya kini telah terjadi rekonsiliasi, ditandai dengan sering manggungnya mereka di kota pahlawan tersebut.


Resistensi berikutnya yang mereka terima dari luar Bali justru datang tak lama setelah mereka merilis album Kuta Rock City bulan Mei 2003. Ketika itu Superman Is Dead mendapat undangan untuk tampil di kampus USU Medan. Sebelum band ini mendarat, sebagian punk rocker lokal yang kontra dengan Superman Is Dead sempat menyebarluaskan propaganda dalam bentuk selebaran yang berjudul “Menjadi rockstar adalah hal biasa sedangkan menjadi punk rock star adalah sebuah pengkhianatan”.


Di acara gratisan yang dihadiri sekitar 5.000 orang penonton tersebut Superman Is Dead sempat memainkan 8 lagu dengan penuh perjuangan karena mesti menghindari misil yang berupa botol, toples, batu, bambu, air got dan sebagainya. Ade Putri, road manager S.I.D  untuk di luar Bali akhirnya terpaksa memberhentikan konser mereka karena menurutnya sudah tidak kondusif lagi suasananya. “Sampai ada satu anak laki yang berdiri di barikade besi, membuka celananya dan onani di depan mata anak-anak yang lagi manggung,” kenang Ade Putri.


            Hanya selang sehari, keesokan harinya konser mereka di UPN Jogja yang disaksikan ribuan penonton juga mendapat perlawanan yang keras pula. Sebelumnya spanduk dan poster-poster promosi konser mereka di sana disabotase. Ketika konser baru berjalan dua lagu, tiba-tiba ada seseorang yang berlagak pingsan kemudian digotong ke atas panggung untuk diselamatkan. Ternyata orang ini kemudian malah mengambil kesempatan untuk memukul Bobby dari belakang. “Pukulannya kena tapi nggak terasa, cuma lewat aja,” kenang Bobby. “Malah dia yang hancur, dilempar gitar sama Bobby,” ujar Jerinx sambil tertawa.


Eka pun ikut menimpali, “Mulutnya kena cium sepatu Underground Shoes biru Dethu tuh [tertawa].”  “Setelah itu skornya 1-1,” kata Dethu ikut tertawa. Setelah insiden itu konser sempat dihentikan sesaat dan seusai konsolidasi dilakukan mereka pun menggelontorkan set panjang sebanyak 26 lagu tanpa hambatan yang berarti. “ Tadinya polisi sempat bilang ke kami kalau mereka nggak berani ambil resiko tapi kami tetap main saja dengan kondisi lampu di venue menyala,” cerita Eka.


            Dengan nada bergurau Jerinx berkomentar, “Kami yakin di Indonesia belum pernah ada band yang merasakan pengalaman sekeras kami ini. Menurut kami itulah punk rock, benar-benar struggle. Jadi kalau band kalian belum pernah digituin berarti bukan punk rock.”


            Dari semua resistensi yang dilancarkan pihak yang kontra dengan bandnya, Jerinx kini merasa para personel Superman Is Dead makin kebal dan lebih aware.  Ada pepatah bilang, jika ada sesuatu yang nggak membunuh kamu maka itu justru akan membuat dirimu menjadi lebih kuat. Kami sekarang lebih percaya diri!”


 


=============


Editor Wendi Putranto pertama kali menyaksikan konser Superman Is Dead hanya setahun setelah band ini berdiri di sebuah festival rock underground terbesar di Bali, Total Uyut 1996


 


* Feature ini sebelumnya pernah dimuat di Majalah Rolling Stone Indonesia edisi Juni 2006


  


 


Foto: wenz rawk

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

IKJ: SCHOOL OF ROCK [Editor's Cut]

LED ZEPPELIN Reunion 2007: The Full Report From David Fricke