Candra Darusman: Antara Jazz, Hak Cipta dan Industri Musik Indonesia

Candra Darusman. (Foto: Koleksi Pribadi)



Setidaknya ada dua nama Darusman yang sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak lama. Yang pertama adalah Marzuki Darusman, mantan Ketua Komnas HAM yang juga sempat menjadi Jaksa Agung RI di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan kini menjabat sebagai Ketua Tim Pencari Fakta PBB untuk Myanmar dalam kasus pembersihan etnis Rohingya. Mas Kiki, nama panggilan Marzuki, merupakan kakak kandung dari musisi terkemuka sekaligus pegiat HKI, Candra Darusman. Usia mereka terpaut lebih dari satu dekade lamanya. 

Ayah mereka, Suryono Darusman, merupakan diplomat ulung yang sempat bertugas menjadi Duta Besar RI untuk Meksiko, Uni Sovyet hingga Swiss. Seringnya berpindah tugas membuat anak-anak Suryono Darusman ini banyak menimba ilmu di berbagai negara berbeda. Bagi Candra Darusman sendiri ini turut memperluas horison bermusiknya yang memang sejak kecil telah diperkenalkan oleh sang ayah.

Candra Darusman yang dilahirkan pada 21 Agustus 1957 memiliki kiprah yang sangat mentereng di kancah musik jazz tanah air. Ia sempat tergabung dalam kelompok musik Chaseiro dan Karimata yang mengkilap namanya pada dekade akhir '70-an dan '80-an. Chaseiro adalah band jazz/bossa nova/pop para mahasiswa Universitas Indonesia dari berbagai fakultas yang pernah melejit dengan hit "Pemuda" yang juga terpilih untuk masuk ke dalam daftar 150 Lagu Indonesia Terbaik Sepanjang Masa dari RSI. Sementara Karimata merupakan band fusion jazz all-star legendaris yang dibentuk pada pertengahan dekade 80-an dengan anggota selain Candra Darusman yaitu bassist Erwin Gutawa, drummer Uce Haryono, keyboardist Aminoto Kosin, hingga gitaris Denny TR. Buku "Perjalanan Sebuah Lagu" yang ditulis Candra Darusman cukup banyak bercerita tentang kisah-kisah awalnya mengenal musik beserta para pahlawannya seperti Oscar Peterson, Dave Brubeck, Stan Getz, Chet Baker, Sergio Mendes hingga Antonio Carlos Jobim.    

Chaseiro, medio 1979. 


Karimata formasi awal, dari kiri Aminoto Kosin, alm. Uce Haryono, Candra Darusman, Erwin Gutawa, Denny TR. (Foto: Koleksi Denny Sakrie)


Membaca buku karya Candra Darusman yang diterbitkan oleh KPG bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-60 ini sangat mengasyikan, karena selain banyak mengulas sejarah bermusik dan suasana berkarya para musisi jazz dan pop nasional pada dekade-dekade lawas, ia juga banyak mengulas tentang komersialisasi lagu dan permasalahan hak cipta/Hak Karya Intelektual. Jadi selain belajar sejarah kita sekaligus pula belajar tentang bisnis musik dari pelaku utamanya. Buku ini adalah wajib hukumnya untuk dikoleksi karena masih sangat sedikit sekali spesies musisi kita yang menulis buku, apalagi seperti Candra Darusman yang memang hidup di dua alam, kreatif dan bisnis.  

Seperti diketahui, Candra Darusman merupakan salah seorang musisi yang turut mencetuskan dibentuknya YKCI (kini Karya Cipta Indonesia, sebuah lembaga manajemen kolektif yang bertugas mengutip royalti dari penampilan musik para anggotanya di ranah publik). Setelahnya, bahkan selama puluhan tahun hidupnya ia habiskan untuk mengabdi di WIPO (World Intellectual Property Organization), organisasi PBB yang mengatur tentang hak cipta dan hak karya intelektual lainnya di Jenewa, Swiss.

Hampir dua tahun lalu, tepatnya pada September 2016, dengan dibantu oleh bung Dion Momongan saya sempat melakukan wawancara via email dengan Candra Darusman yang ketika itu tengah berdomisili di Singapura. Rencananya wawancara ini akan dimuat di majalah Rolling Stone Indonesia dalam rangka merayakan genap 60 tahun usianya sekaligus ditandai dengan diterbitkannya buku semi-biografi sekaligus bisnis musik miliknya yang berjudul "Sebuah Perjalanan Lagu" dan juga sebuah album tribute

Sialnya, email kantor saya sempat bermasalah dengan virus waktu itu hingga akhirnya file wawancara ini tak pernah dimuat di sana sampai akhirnya RSI berhenti beroperasi. Belakangan saat berkemas untuk pindah, saya yang tengah menyalin seluruh data dari PC kantor berhasil menemukan kembali file lama ini. Voila!

Bukan kebetulan pada malam ini nanti di Empirica, SCBD, Jakarta akan diadakan pula acara Malam Gembira: Pesta Pemuda & Dara dalam rangka merayakan karya-karya Candra Darusman yang menampilkan gabungan artis-artis jaman baheula dengan jaman now seperti Fariz RM, Chaseiro, Grace Simon, Jean Pattikawa, Chicha Koeswoyo, Danilla Riyadi, Iga Massardi, Andien, hingga Mondo Gascaro. Sebelum berpesta maka tak ada salahnya kita menyimak dulu hasil wawancaranya.  

Tahun depan Anda akan genap memasuki usia 60 tahun. Berhembus kabar bahwa Anda selanjutnya akan menetap kembali di Indonesia. Apakah ini artinya Anda pensiun sebagai konsultan di WIPO dan akan kembali aktif bermusik di Tanah Air?

Masa tugas saya di WIPO insya Allah hingga Agustus 2019. Ada opsi untuk diperpanjang hingga 2022 atau kembali ke RI. Saya masih timbang-timbang. Bismillah, saya cenderung pilih kembali ke RI untuk ikut bergabung rekan-rekan di tanah air agar bermanfaat untuk kemajuan dunia seni dan musik.  

Adakah rencana untuk reuni lagi dengan Chaseiro atau Karimata sekembalinya nanti?

Selain kesempatan, juga harus memperhitungkan tingkat kemampuan (skill) yang ‘tersisa’.  Tak dipungkiri semakin bertambah usia skill akan berkurang, tapi berkarya diharapkan semakin mencapai kedalaman.    

Belum lama ini Anda sempat berkolaborasi dengan musisi muda Nicko Krisna dari band Nick di single “Piring Terbang”. Kolaborasi yang unik, karena lagu ini bukan bergenre jazz melainkan dream pop/new wave. Bagaimana awal ceritanya?

Ceritanya adalah bahwa Nicko itu menikah dengan keponakan saya, Kyra, dan sejak dulu Nicko mengikuti dan mendengar musik-musik saya. Di lain pihak saya juga ingin mendukung musisi generasi baru selain mencoba menikmati musik-musik era sekarang.



Selama bekerja di luar negeri selama puluhan tahun menekuni bidang hak cipta atau karya intelektual, hal-hal apa saja yang Anda anggap pelajaran paling berharga dan sangat memungkinkan untuk diimplementasikan di tanah air walau mungkin akan menjadi PR besar?  

Yang pertama adalah memahami bahwa faktor ‘attitude’ sangat berperan dalam penerapan dan dipatuhinya undang undang (hak cipta/atau undang-undang apapun). 
Yang kedua, bagaimana suatu masyarakat dapat bekerjasama dengan baik (kata kerennnya ‘memanage’) untuk menggapai suatu tujuan. Seolah-olah ‘stating the obvious’ tetapi inilah kedua faktor yang masih perlu diupayakan di Indonesia. Soal ilmu hak cipta bukanlah suatu ilmu yang rumit karena intinya hak cipta adalah sebuah sistem guna memberikan insentif kepada para kreator untuk terus berkarya. 

Kembali keatas kata attitude adalah sebuah ungkapan atau kata yang sangat luas. Menyangkut persepsi, semangat, konsisten, respek, rasa sabar, kesadaran…   

Selama berada di luar negeri seberapa sering Anda menyentuh instrumen musik, bermain band atau bahkan menciptakan lagu baru?

Alhamdulillah, Tuhan terus memberikan inspirasi untuk membuat lagu-lagu baru; ‘Stock’ lagu cukup untuk membuat double-LP. Dua di antaranya direncanakan muncul dalam proyek album ‘It’s Amazing’. Ditengah-tengah kesibukan, saya selalu upayakan memainkan Yamaha Grand Piano di apartemen tempat kami tinggal. Setiap enam bulan piano tersebut di service agar timbrenya selalu jernih dan intonasinya diperbaiki (di stem). Ini sangat penting bagi saya karena suara piano yang baik sering menjadi ‘trigger’ mulainya penciptaan sebuah lagu.

Sementara penjualan rekaman musik fisik terus menurun di sini, banyak pencipta lagu atau label rekaman di Indonesia yang mengeluhkan masih kecilnya royalti yang mereka dapat dari musik digital (diluar RBT). Menurut Anda, apakah bisnis musik digital mempunyai masa depan di Indonesia? Apa saja yang harus dibenahi di sini?    

Memang betul. Dunia, termasuk Indonesia, sudah masuk ke dalam era digital walaupun masa transisinya masih berjalan untuk beberapa tahun ke depan. Artinya, fisik (CD dan piringan hitam) masih akan ada tetapi format digital akan dominan terutama kebiasaan masyarakat untuk menikmati musik melalui platform ‘streaming’. Bagi konsumen tidak penting lagi harus memiliki (melalui pembelian) melainkan cukup mengakses (melalui ‘sewa’ bulanan jasa streaming). Masa depannya digital di Indonesia akan bagus karena dari 330 juta pengguna/pemilik handphone pada tahun 2015 baru 40%-an menggunakan smartphone/3G sebagai persyaratan untuk dapat menikmati streaming services.

Yang perlu dibenahi adalah pembagian kue pendapatan antara perusahaan berbasis teknolgi dengan perusahaan berbasis talenta dan karya. Caranya melalui transparansi data dan penentuan tarif royalti yang lebih memadai.

Itu baru bicara mobile phone. Belum bicara pelanggan broadband – jumlah koneksi komputer ke internet yang kurang dari 5 juta dalam sebuah negara yang berpenduduk 250 juta.

Apalagi e-commerce yang kini baru mencapai US$ 6 miliar. Perekonomian Indonesia (PDB) menempati urutan ke-7 dunia; padahal industri rekamannya hanya ke-38 di dunia. 

Sebagai salah seorang pendiri KCI, bagaimana Anda melihat peran lembaga manajemen kolektif nasional atau LMK-LMK nantinya di masa depan?

Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di Indonesia perlu mengikuti perkembangan era digital jika ingin efektif agar berguna, dipercaya dan didukung oleh seniman. Kini masih terfragmentasi walaupun upaya dari Direktorat Jenderal HKI sudah melakukan upaya konsolidasi agar jumlahnya tidak terlalu banyak. Cukup dua, masing-masing mewakili hak cipta (pencipta lagu) dan hak terkait (penyanyi dan produser).Sebab jika terlalu banyak LMK dan menagih serabutan maka akan terjadi kebingungan di pihak para pengguna musik yang ingin membayar royalti.

Bagaimana Anda melihat fenomena maraknya radio online asal Indonesia belakangan ini di Internet? Apakah mereka wajib untuk membayar royalti atas performance musik di sana?

Betul, radio online juga wajib mengurus lisensi LMK karena menggunakan lagu sebagai bagian dari aktifitasnya menjalankan bisnis. ‘Attitude’ ini tidaklah rumit untuk dipahami. Walaupun masih ada perbedaan persepsi dimana radio masih terus merasa semata-mata berjasa mempopulerkan lagu dan artis. Ini hanya 40% benar.  

Sebagai musisi sekaligus pencipta lagu apakah Anda hingga saat ini masih menerima royalti (mechanical atau performance royalties) dari karya-karya Anda di Chaseiro, Karimata atau solo karier?    

Walaupun frekuensi dan besarannya tidak seperti dulu; saya masih menerima royalti dari kedua penggunaan hak tersebut.

Menurut rilis pers yang saya terima, Anda kabarnya akan menerbitkan buku tentang hak karya intelektual, apakah ini berarti Anda sendiri sebagai penulis buku tersebut atau ada penulis lainnya?

Sebenarnya sih bukan bermaksud menulis buku tentang HKI semata. Masih banyak ahli HKI/ahli hukum di RI yang jauh lebih hebat dan mampu. Saya bermaksud untuk menulis, tepatnya , pengalaman saya dalam berkecimpung di bidang lagu. Dari (i) pembuatannya – (ii) perlindungannya – dan, (iii) pemanfaatannya. Yang saya tuju adalah musisi pendatang dan para mahasiswa tingkat-tingkat awal, selain tentunya masyarakat luas yang gemar musik. 

Bagian hak cipta akan muncul pada bagian kedua (perlindungan).  Sepanjang membahas ketiga tahap ini akan saya selipkan contoh-contoh  nyata dalam karier bermusik. Saya akan mencoba menulis sendiri dengan dibantu oleh editor.  Singkatnya buku ini tidak sepenuhnya biografi dan tidak sepenuhnya tentang hak kekakyaan intelektual. Sebuah perjalanan lagu, dari inspirasi hingga milik masyarakat. Sebenarnya sekali sebuah melodi tercipta maka ‘keberadaannya’ di dunia akan abadi. Hanya saja seringkali orang lupa.



Apakah menurut Anda berkampanye anti-pembajakan musik masih efektif dilakukan di Indonesia? Karena ini sepertinya bagaikan menggarami laut saja.

Maraknya pembajakan/pelanggaran juga menimbulkan maraknya gerakan anti-pelanggaran HKI. Jika gerakan anti-pembajakan tidak terarah ada resiko buang garam ke laut. Agar gerakan-gerakan yang sudah ada tersebut lebih terarah perlu diberikan gairah baru atau dorongan baru. Perlu revitalisasi agar momentum gerakan anti pelanggaran hak cipta tidak hilang.  

Menurut Anda, bagaimana cara termudah untuk menjelaskan konsep hak cipta/HKI kepada generasi milenial?

Melalui dialog-dialog, pesan-pesan singkat yang ‘manjur’ – atau meme, (jangan dikuliahin berjam-jam) dan tersedianya sarana yang mudah untuk menggunakan lagu secara legal.  Kalau cara membeli atau mengakses musik yang legal gampang untuk apa cari yang berisiko tindakan hukum.

Bisa diceritakan lebih lanjut tentang penggarapan album tribute “It’s Amazing – Perjalanan Karya Candra Darusman” ini? Siapa pihak yang pertama kali mengusulkan pembuatan album ini?

Panji Prasetyo and friends yang pertama kali mengusulkan proyek album tribute ini. Saya hanya mengutarakan bahwa sudah terpendam lama menyimpan ide menulis buku “Perjalanan Sebuah Lagu". Gayung bersambut. Ide saya diterima sebagai kesatuan dengan album. Judul albumnya sesuai dengan salah satu judul lagu dalam album tersebut.

Apakah Anda terlibat langsung dalam proses kreatif album tersebut? Misalnya pada pemilihan artis/penyanyi atau pemilihan lagu-lagu yang cocok bagi para artis tersebut?

Saya memberikan saran-saran ke mereka apabila diminta. Tetapi mereka yang men-drive upaya ini, hal mana sangat saya hargai.

Kabarnya ayah Anda yang seorang diplomat, Suryono Darusman, merupakan salah seorang yang berpengaruh besar terhadap perjalanan awal karier musik Anda. Apakah Anda masih mengingat album musik apa atau siapa yang pertama kali beliau perkenalkan untuk Anda?

Musik bossa nova yang diangkat oleh saxofonis Stan Getz asal Amerika, tatkala dia eksplorasi ke Brazil. Dan Oscar Peterson – pianis jazz asal Canada.

Apakah ada alasan khusus mengapa dulu Anda memilih untuk menekuni musik jazz?   

Karena ‘selera’ saya terbentuk berkat eksposur musik demikian di rumah sejak kecil. Tetapi saya bisa menikmati klasik, pop dan tentunya Latin.

Cerita seru apa saja yang bisa Anda ingat ketika menyelenggarakan Jazz Goes to Campus yang pertama di UI pada 1977?

Mencari-cari, memotong-motong, serta menyediakan kertas semen untuk dipakai sebagai alas duduk untuk pengunjung yang membludak dan harus duduk diatas rumput pada saat musim hujan.  

Kehadiran para dosen dalam acara musik seperti ini juga memberikan arti tersendiri karena terjalin hubungan informal di luar ruang kelas.

Beruntung dapat berkenalan dengan tokoh-tokoh jazz Indonesia. Dan salah satu highlight dari JGTC adalah hadirnya Bob James ke JGTC waktu masih di Taman FIPIA Salemba.  Sempat nge-jam bersama musisi Indonesia.

Apakah pernah terlintas di pikiran Anda sebelumnya bahwa festival Jazz Goes to Campus akan berlangsung nyaris selama 40 tahun?

Tidak terlintas dapat berjalan sekian lama. Dan penghargaan saya setinggi-tingginya kepada adik-adik mahasiswa di FEUI yang membawa ‘obor JGTC’ agar tetap menyala.
Tetapi  yang terlintas adalah bahwa musik jazz akan dan diterima dan digemari oleh mahasiswa tatkala kita perkenalkan musik sejenis ini ke mereka tahun 1977.

Apa saja daftar 5 Album Musik Terbaik Sepanjang Masa dari seorang Candra Darusman?

1) Deodato - Prelude
2) James Taylor - Sweet Baby James
    3) Chicago - Chicago V
  4)  Stevie Wonder -  Talking Book
   5) Vina Panduwinata – Citra Pesona (Album perdananya dengan produser musik Addie MS).

Komentar

  1. Kusangka masih banyak bunga berwana ..
    https://www.youtube.com/watch?v=Z9Cr6n_Jh4M

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

IKJ: SCHOOL OF ROCK [Editor's Cut]

LED ZEPPELIN Reunion 2007: The Full Report From David Fricke