Q&A BRAINWASHED - The Zine Years

*Wawancara dengan JEUNE Magazine. 

 

 

Apa yang mendasari elo membuat zine pada waktu itu?

 

Kebetulan gue waktu itu (1995) baru setahun kuliah Jurnalistik di FIKOM Moestopo, Jakarta. Dan sebelumnya gue memang termasuk penggemar musik rock/metal yang militan karena saat itu memang lagi jamannya :) Kuliah jurnalistik dan cinta musik rock kayaknya sebuah kombinasi yang oke untuk menerbitkan "majalah underground". Gue belum kenal term Fanzine/Zine karena emang belum populer di sini saat itu. Tujuan gue sederhana aja. Gue banyak punya temen yang punya band metal dan sering hang-out di scene lokal (sekitar Blok M) waktu itu.

 

Sayangnya, nggak ada satu pun media massa yang tertarik untuk memuat profil band-band temen gue itu, mungkin karena musiknya terlalu keras dan penampilannya terlalu ekstrem. Akhirnya gue punya ide untuk menerbitkan “majalah musik underground” yang isinya band-band temen gue sendiri. Gue pengen ikut mensupport scene lokal tapi udah frustrasi ngeband dan bosen jadi fans rock pasif sampe akhirnya gue menerbitkan BRAINWASHED. Sebelumnya gue terinspirasi juga setelah baca zines seperti REVOGRAMS (Bandung) dan MINDBLAST (Malang). Kayaknya majalah gue itu yang ketiga deh di Indonesia dan pertama di Jakarta. Cieee…

 

Gue merangkap semuanya sendirian: reporter, editor, fotografer, cut & paste lay-outter bahkan loper juga. Edisi pertama foto kopian, 24 halaman, terbit bulan September 1996 dengan cover Grausig. Ada juga di dalamnya profil Trauma, Betrayer, Delirium Tremens, dsb. Kalo nggak salah edisi pertama ini laku sekitar 120 eksemplar di beberapa gigs dan temen-temen gue yang ada di band-band itu tersenyum senang pas pertama kali ngelihat tampang-tampang mereka di majalah gue. Gue nggak bakalan lupa momen itu seumur hidup gue!   

 

Zine elo itu lebih mengkhususkan diri di musik atau ada hal lain yang diangkat?

 

BRAINWASHED emang awalnya khusus ngebahas tentang "musik underground" yang lagi hype berat saat itu. Misalnya kayak thrash metal, death metal, brutal death metal, grindcore,punk/hardcore, gothic/doom. Seputar itu aja awalnya. Dan gue cuma mau mengangkat band-band temen gue yang bagus dan gue suka aja waktu itu. Di luar itu semua, walau band temen tapi kualitasnya jelek nggak akan gue muat. Musik-musik yang nggak gue suka juga nggak akan gue published di BRAINWASHED. Persetan! :) Sampe ada tulisan begini: “If you don’t like this magazine please fuck-off!” Hahahaha. Belakangan di dua edisi terakhir BRAINWASHED sempat menjadi majalah musik yang mempropagandakan pergerakan politik radikal.

 

Kalau masih inget, berapa kira-kira modal elo membuat zine?

 

Modal uang hampir nggak ada seinget gue. Yang gue punya cuma passion dan ide-ide aja. Kebetulan tante gue baru buka usaha foto kopi di belakang rumahnya jadi gue bisa ngutang dulu untuk menggandakan BRAINWASHED. Biasanya sirkulasinya itu gue atur setiap 50 edisi terjual baru gue gandakan lagi di sana. By the way, gue lupa udah bayar utang apa belum sama tante gue itu :)

 

Alat produksi gue sederhana banget. Gue di rumah waktu itu kebetulan punya komputer jangkrik dengan operating system Windows 3.1 (ini keluaran tahun 1993 kalo gak salah) dan printernya dot matrix yang super berisik. Kalo gue ngeprint malem-malem biasanya bokap sama nyokap gue sering pada protes. Mengetiknya pun masih pake Word Star dan memanfaatkan grafis-grafis culun dari Print Master. Belom ada software lay-out majalah ato perangkat desktop publishing lainnya saat itu. Jadinya setiap logo band dan teks naskahnya selalu gue print duluan dan nantinya gue "potong & tempel" secara manual di atas meja kaca ruang tamu rumah gue.

 

Temen setia gue waktu ngelay out itu HVS, glue stick, cutter, tinta printer dan tentunya disemangatin sama tape mini compo yang ngeblasting musik-musik cadas beringas dari Napalm Death, Sepultura, Suffocation, Benediction, Kreator, Death Angel, Massacre, Deicide, Prong, Anthrax, Metallica dan sebagainya. Oh ya, semua ATK yang gue punya waktu itu juga nggak beli. Kebetulan almarhum bokap gue sering dapat ATK dari kantornya dan sering dibawa ke rumah. Jadi basicly semuanya itu modal dengkul kali ya? :)     

 

Zine elo bertahan berapa lama? Dan apa suka dukanya selama menulis zine?

 

Tiga tahun! 1996 – 1999. Tujuh edisi saja. Masuk di edisi kedua gue udah membentuk tim kecil dan majalah ini udah naik cetak offset sebanyak 1000 eksemplar. Kebetulan ada investor yang mau mendanai labour of love gila ini. Tapi proses lay-out masih tetap tradisional seperti biasanya :) Sempat saking noraknya, gara-gara masuknya teknologi baru (internet), gue jualan gimmick majalah dengan kalimat: “News sources exclusively from the internet”. Haha. Emang saat itu belum ada warnet dan pengguna internet masih sedikit banget di Jakarta. Baru di edisi ke lima yang terbit tahun 1997 BRAINWASHED tampil dengan cover berwarna dan ukuran “magazine” dengan cover boy gambar setan yang gue curi dari majalah horor The Monster Times.

 

Di edisi kelima ini Eka Annash (dulu vokalis Waiting Room, sekarang vokalis The Brandals) sempat bergabung di dalam redaksi BRAINWASHED menjadi kolumnis sekaligus reporter tamu. Kita sempat meliput JIS rock scene waktu itu. Pas liputan saking semangatnya sampe jatoh dari motor segala di daerah Simprug Golf waktu itu haha.

 

Sukanya, gue jadi semakin banyak teman di scene, bisa gondrong 12 tahun non-stop (haha), banyak dapet demo (belum ada band yang ngerilis album indie saat itu), banyak menonton band-band bagus, banyak kenalan di kantor pos, banyak mendapat surat dari berbagai daerah ajaib di Indonesia (ternyata ada scene underground di Timika, Papua yang mengcopy edisi pertama tiga tahun setelah edisi itu terbit. Mengharukan) dan ternyata…gue lumayan “dikenal” (ada modus operandi lain agar dikenal di scene tanpa harus ngeband ternyata hehe).

 

Pertama kali gue kenal Arian13, masih vokalis Puppen, lewat surat tahun 1996. Kita surat-suratan gitu. Gue kirim pertanyaan ke Bandung dan dia kasih jawaban via surat keong juga. Pas surat elo dibales sama nara sumber itu senengnya minta ampun. He’s a great rockstar back then. And of course until now. Nggak pernah pake lama ngebales surat gue. Kalo anak-anak sekarang kan kayaknya gampang banget kenal sama Arian13 atau rockstar laennya ya? Tinggal private message mereka di MySpace atau menyapa via Multiply maka terjadilah. Pokoknya, anjinglah jaman dulu cara berkenalan sama rockstars itu. Hehe.   

 

Oh ya, BRAINWASHED ketika meluncurkan edisi yang ketiga tahun 1997 (cover Burgerkill, isi Puppen, Tengkorak, dsb) sempat menggelar rock fest di belakang café Harley Davidson Jakarta. Nama acaranya “Backyard Torturing Ground.” Semua band so-called-indie yang kini veteran dan udah bubar kayaknya main semua di sini. Waiting Room, Tengkorak, Grausig, Stepforward, Anti Septic, Betrayer, Motordeath, Hellgods, Delirium Tremens, Bloody Gore, Straight Answer, etc. Penonton yang hadir sekitar 2.000 orang dan sempat menuai kontroversi karena dimuat nasional di Tabloid Adil dengan cover Ade Hellgods pake corpsepaint dan headline bertuliskan: “Bangkitnya Musik Pemuja Setan!” Hahahaha.

 

Gara-gara BRAINWASHED juga gue sempat diajak Grausig untuk meliput show mereka untuk pertama kalinya di Bali (Total Uyut Metalfest 1996). Semuanya ditanggung! Di acara itu untuk pertama kalinya gue nonton band punk Bali bernama Superman Is Dead. Mereka masih quitely lugu saat itu :) Perjalanan ke sananya exciting banget dan banyak cerita seru karena kami berangkat dari Jakarta ke Jogja dengan KA Ekonomi dan melanjutkan ke Surabaya dengan KA Ekonomi juga. Tiket pesawat hanya terjangkau oleh orang-orang borjuis waktu itu hehe. Lanjut lagi naik kereta dari Surabaya ke Banyuwangi. Total perjalanan lebih dari 24 jam dan pulangnya 24 jam lebih lagi karena kali ini naik bus AC. Lebih berantakan lagi pantat gue. Sejak itu gue bersumpah akan ke Bali suatu hari dengan naik pesawat! Bersyukur udah jadi kenyataan sekarang ;)

 

Suka lainnya, BRAINWASHED setelah mati menjadi majalah kemudian lebih konsentrasi menjadi concert organizer. Sempat mengundang band garage rock Swedia asuhan Kak Rick Rubin, THE (INTERNATIONAL) NOISE CONSPIRACY untuk disusupkan ke tur festival Soundrenaline 2005 yang selalu aja mengundang band-band bule kagak jelas. Ini terjadi sebelum trend konser band-band indie di Jakarta seperti Kings of Convenience, Club 8, Sondre Lerche, Nouvelle Vague, Tahiti 80, dsb.

 

Dukanya? Hampir nggak ada. Ini karena gue ikhlas aja ngejalanin semuanya :) Bo’ong ding. Gue bangkrut secara finansial dan nggak bisa mulangin modal investor hahaha. Akhirnya gue percaya menjadi “indie” dan beroperasi secara “D-I-Y” itu emang mesti siap-siap bangkrut. Sad but true. Tapi gpp, kita cari aja investor lagi :D

 

Apakah pengalaman elo menulis zine, berpengaruh ke pekerjaan yang sekarang dijalani?

 

Pastinya! Karena gue udah terbiasa menulis musik dengan passion sebelumnya semasa di BRAINWASHED. Basic music journalism gue mungkin berawal dari sana. Bagaimana elo bisa mengantarkan cerita-cerita seru dari dunia musik yang bisa menghibur dan mencerdaskan pembaca elo. Itu jadi prinsip yang kebawa sampe sekarang. Gimana elo menulis bukan karena semata-mata elo bekerja tapi juga karena punya passion dan misi yang kuat di dalamnya.

 

Dan nilai-nilai ini kebawa sampai sekarang gue menjadi salah satu editor di ROLLING STONE Indonesia. Memang agak klise kayak novel sampe akhirnya hobi ini bisa jadi profesi buat gue. Mungkin lebih menarik dari cerita Cameron Crowe di Almost Famous. Bagaimana menulis tentang musik ini akhirnya bisa membawa gue traveling gratis ke Tokyo, Yokohama, Munich, Mainburg, Ingolstadt, Alpen, Dubai, KL, Singapore, dsb. Dan bisa dibilang semua ini jadi kenyataan gara-gara menulis fanzine awalnya. Walau nggak lulus kuliah, gue akhirnya menciptakan profesi bagi diri gue sendiri. Lumayan.

 

Tentu aja menulis di fanzine itu nggak bebas nilai karena sifat redaksionalnya sangat subyektif dan personal. Hujat sana-sini, cursing mainstream sana sini. Banyak kebodohan-kebodohan yang naïf dari artikel-artikel yang gue tulis di sana dan sekarang kalau ngebacanya lagi bakalan: “Anjing, karon berat ya tulisan gue waktu itu.” Hahaha. Mau tahu catch phrase BRAINWASHED saat itu? “We are proud hating all mainstream shit in all musical scene” Puas? Hehe.

 

Lebih milih mana? Zine elo sebagai indikator gejala yang ada di masyarakat atau zine elo jadi pemicu yang menyulut suatu gejala di masyarakat itu bisa lahir atau terjadi?

 

Mungkin ini maksudnya teori Agenda Setting ya. Dulu gue gak tau dan mungkin malah gak peduli apakah zine gue ini bakal jadi indikator atau trigger di masyarakat. Misi gue sesederhana mendukung band-band temen gue aja agar lebih dikenal sama penggemar musik dari komunitas di dalam atau di luar Jakarta. Itu aja awalnya. Yang pasti gue saat itu nggak mau ikut trend dan bercita-cita membuat trend. That’s it.

 

Menurut elo apakah zine itu termasuk ke dalam budaya jalanan ? Atau mungkin bisa diistilahkan jurnalistik jalanan?

 

Budaya jalanan atau bukan kayaknya nggak terlalu penting juga ya? Malah rata-rata zine yang gue bikin itu kebanyakan digarap di rumah. Apakah ini kemudian menjadikannya “budaya rumahan”? Terserah. Itu kan cuma label, yang terpenting menurut gue tetap pada isi dan proses pembuatannya. Street journalism sepanjang yang gue pelajari di kuliah sebenernya nggak ada. Doesn’t even exist. Zine somehow bisa jadi bukan bagian jurnalistik karena sifatnya yang cukup personal juga. Aktivitas jurnalistik itu dalam pandangan gue tujuannya pemberitaan yang massif, massal melalui media massa tertentu secara periodik. Zine cukup gak memenuhi syarat karena scopenya terbatas dan biasanya terbit tergantung “tempo.” Tempo-tempo terbit, tempo-tempo kagak. Seenak udel editornya aja. Tapi bedanya, sekarang udah ada blog/webzine yang memungkinkan itu diakses secara global, tanpa batasan. Walau gitu gue setuju kalo ada elemen-elemen jurnalistik yang diterapkan juga dalam penggarapan fanzine.

 

Ada influence dari zine-zine luar?

 

Awalnya nggak ada. Karena pada jaman itu zine-zine luar belum masuk Indonesia. Tapi gue dulu sering beli dan baca majalah-majalah musik asing seperti Metal Edge, Hit Parader, Circus, Terrorizer, Kerrang!, Metal Maniacs, Metal Hammer di toko buku legendaris Rubino di Ratu Plaza dan Melawai. Rolling Stone USA sendiri buat gue nggak menarik waktu itu karena terlalu “mainstream” dan “tua”. Hahaha. Perkenalan pertama gue dengan zine-zine luar itu sekitar tahun 1997. Gue baca Flipside, Punk Planet, Maximum Rock & Roll dan Profane Existence. Di edisi ketujuh BRAINWASHED bisa dibilang terpengaruh Profane Existence karena memang spirit jamannya anarcho-politis sekali waktu itu.

 

Gue sempat menjadi 20 mahasiswa pertama yang menduduki Gedung MPR/DPR di bulan Mei 1998 dan menjadi demonstran gila hingga beberapa tahun setelah rejim Soeharto tumbang. Gue sempat aksi di front-front berdarah di seputaran Trisakti, Semanggi I & II, Moestopo, dsb. Menjalin komunikasi dengan front-front pembebasan seperti AFRA, FAF, PRD, Socialist Worker, Indymedia, AK Press, dsb. Sempat membangun kolektif infoshop bernama BRAINWASHINC juga di Paal Merah. Gue percaya banget dengan komentar Jello Biafra waktu itu: “Music as a weapon!” Musik yang baik waktu itu bagi gue adalah musik yang progresif-revolusioner! Radikal! Gila. Hahaha. Edisi ketujuh itu cukup merepresentasikan policy redaksional BRAINWASHED yang sangat politically: Komunis (walau masih malu-malu). Atau mungkin Sosialis-Demokrat. Haha.

 

Misi majalahnya semakin ngawur dan mau menerapkan “pencucian otak” secara literally. Sampe ada profil Tan Malaka segala di dalamnya lengkap dengan semboyan “berterang-terang dalam gelap dan bergelap-gelap dalam terang!” Keren! Dan bayangin aja, covernya itu karikatur Presiden Habibie yang ketakutan karena sedang diculik dan disandera teroris. Gue sangat terobsesi menjadi teroris waktu itu. Ini tahun 1999, 3 tahun sebelum Bali Blast dan 2 tahun sebelum Osama Bin Laden meluncurkan missil berbentuk pesawat terbang ke WTC. Hahaha.  

 

Ada pesan untuk anak-anak yang baru akan memulai membuat zine atau buat yang sedang menjalankan zinenya masing-masing?

 

Nggak ada pesan-pesan khusus sih. Menjadi kreatif ajalah di segala macam kondisi. Belakangan gue udah jarang banget melihat ada fanzine/zine terbit lagi di scene. Mungkin juga karena sekarang ada trend ngeblog dan semua orang melupakan fanzine yang tradisional. Yah, lumayan menghemat hutan juga sebenernya. Tapi dari dulu juga bikin zine nggak pernah jadi trend yang besar di sini. Berdandan se-indie dan se-emo mungkin jauh lebih ngetrend kayaknya. Kita semakin keren secara tampak luar sebenarnya, in a fashion way, tapi kreativitas dan progres pemikiran di scene musik indie kayaknya malah stagnan. Infrastruktur indie kagak pernah berkembang, pelaku bisnisnya juga masih itu-itu aja. Semua orang lebih tertarik bikin band dan jadi artis dibanding jadi manajer band, zine editor, gig organizer atau posisi di belakang layar lainnya. Well, semuanya masih begitu-begitu aja setelah sebelas tahun ternyata :)

 

Tapi mungkin ini ada sedikit pesannya. Tolong dibantu aja temen baik gue yang namanya Ika Vantiani dari kolektif Peniti Pink. Dia punya gerakan konservasi dan pendokumentasian fanzine lokal. Kalo memang dulu kalian sempat menerbitkan fanzine dan sekarang nggak peduli lagi tolong aja fanzinenya didonasikan ke Ika Vantiani via penitipink.blogspot.com.

 

Terimakasih banyak sebelumnya :)      

 

Komentar

  1. zine fotokopian selalu menyimpan banyak memori bagi gue...
    udah beberapa tahun berselang sejak terakhir kali gue ngorder zine dari PePi. kangen juga.

    BalasHapus
  2. cool interview.

    btw, pernah ke dubai juga?
    ngeliput desert rock fest kah?

    BalasHapus
  3. "Semua orang lebih tertarik bikin band dan jadi artis dibanding jadi manajer band, zine editor, gig organizer atau posisi di belakang layar lainnya."

    kaya adegan awal film almost famous,
    anak2 ditanyain mau jadi apa..
    cm satu orang (si pemeran utama film ini) yang mau jadi jurnalis.

    klo gak salah setelah beberapa lama kehadiran Brainwashed Zine, Moestopo jadi "demam" zine, salah satunya si Nisa "Jarum Pentul" hehe..

    BalasHapus
  4. jadi kita termasuk Non-Semua Orang wen? hahaha

    BalasHapus
  5. gile 95 mah baru ketemu internet juga di wasantara di kantor pos, kerjaannya ngambilin news ama photo band2 70's trus dibikin personal web di PC hahahha.. ngga kepikiran bikin zine. good interview.

    BalasHapus
  6. "Pertama kali gue kenal Arian13, masih vokalis Puppen, lewat surat tahun 1996. Kita surat-suratan gitu. Gue kirim pertanyaan ke Bandung dan dia kasih jawaban via surat keong juga."

    hahahaha snail mail emang gak ada matinya. gue masih pake nih. lebih personal. plus suka ada bonus2nya, entah stiker entah flyers. artinya kita udah kenal 11 tahun ya Wenz? hahah. dan dulu gak ada tuh handphone. kalau mau nelfon elo dulu musti saat yang tepat karena lo juga jarang di rumah. :D email juga gue pas cek lagi, email pertama yang masih gue simpen, ya sekitar tahun 1996 ini.

    BalasHapus
  7. 95 saya masih smp oom wenz.. anyway, saya pernah baca brainwashed dan kemudian bikin zine sendiri karena terinspirasi anda. thx..

    BalasHapus
  8. ajarin nulis dong wenz!! hehehe...

    95 gue masih SD tuh....gue juga sering denger ttg brainwashed dari alm. kakek gue...hihihihi

    canda wenz!! sukses terus yah wenz!!!

    BalasHapus
  9. aduhh.. jadi pengen cut and paste lagi bikin majalah sendiri. Ika dan zine2nya bener2 meng-inspire gw dulu untuk bikin gincu berdarah. Walaupun gincu berdarah bikinan gw cuma keluar sekali. hahahaha.. emang nih, blogspot, multiply, etc bikin orang ga mau cut and paste manually lagi kayanya. yuk sama-sama hengkang dari dunia per-blog-an di dunia maya dan kembali ke era 'analog'! hehehe.. ada yg mau?

    BalasHapus
  10. anyways, aul.. kalau mau main angkatan. taun 95 gw masih 8 tahun! hahaha.. masih SD tuh gw! kita belum kenal yaaa.. hahahaha..

    BalasHapus
  11. kita kenal waktu kapan ya mir? gua kelas 1 sma dan lo kelas 6 sd bukan? dan mencoba cutting edge jaman2 itu hahahah

    BalasHapus
  12. hahahahaha.. iyaa.. pas jaman lu sma dan gw smp pas kita sering jalan bareng. btw, inget ga overall biru yg masuk majalah kawankuuu.. hahahahahahahha.... ups.. kok bernostalgia di blog orang ya. hehehe..

    BalasHapus
  13. saya dah lama banget pengen bikin zine, cuman ntah kenapa terkendala,

    padahal cara 'usang' seperti ini (kalo dibandingkan dengan lewat dunia maya yg lebih gmpng) masih efektif karena masih banyak koq yg jarang ke internet...

    saya percaya kalau cara lama masih cocok diterapkan sekarang...

    BalasHapus
  14. Iya, Ika & Peniti Pink itu gue prediksi nanti bisa jadi semacam "museum zine" di Indonesia. Koleksinya lengkap juga, Ric. Gue sendiri udah nggak tau ada dimana itu BRAINWASHED, cuma punya 1 edisi doang :)

    BalasHapus
  15. Thanks, dit.

    Bukan ngeliput desert rock fest yang ajaib itu tapi gue transit dari Munich di sana hampir seharian penuh karena pesawatnya delay lama. Dubai itu gokil berat ya, airportnya punya mall sepanjang 2 km tepat di bawah terminal dan interiornya dilapisin emas semua. Katanya sih bakal jadi "Middle East Singapore" :)

    BalasHapus
  16. Iya, Ta. Dan di lembaga pers mahasiswa Media Publica gue pernah bikin policy agar setiap mahasiswa baru yang join dengan MP diwajibkan untuk membuat fanzine sebagai salah satu indikator minat untuk bergabung dengan pers mahasiswa.

    Jarum Pentul zine itu keren lho. Suka gue bacanya. Masih ada gak ya?

    BalasHapus
  17. Betul, Din. Non-semua orang. Mungkin bukan orang juga kali ye, sejenis alien?

    BalasHapus
  18. Thanks. Wah, berarti taon 95 di Indonesia baru masuk internet ya, din? Lumayan canggih juga gue waktu itu berarti ya? Haha. Baru setaon udah jadi source berita. Gue masih inget tampilan website band-band luar itu masih culun-culun berat lah. Masih inget Angelfire.com atau Geocities.com? Nah kebanyakan kayak gitu tuh. Purbakala :)

    BalasHapus
  19. Gue udah jarang banget ke kantor pos, yan. Kalo kesana paling untuk ngambil paket dari luar atau ngambil uang pensiun nenek gue hehe. Emang banyak bonusnya, kadang malah dikasih T-shirt segala. 11 tahun udah sekitar kelas 5 SD tuh haha. Iya, jaman belom ada handphone waktu itu, parah, parah. Tapi kayaknya belom lama juga ya. Berarti kita hidup di generasi transisi teknologi tingkat tinggi? Jadi serasa kayak Highlander gituh.

    BalasHapus
  20. Thank you2. Jangan suka memuda-mudakan umur, ul :) Bilang aja tahun itu udah semester 4 juga kuliahnya. Haha.

    BalasHapus
  21. 95 bukannya baru lahir lu, ga? Mengalami pertumbuhan instan berkat perkembangan teknologi tingkat tinggi juga :)

    BalasHapus
  22. Gincu Berdarah! Ya, ya, ya gue pernah baca itu, Mir. Jamannya elo masih terobsesi dengan kegelapan ya? :) Ika yang ngasih juga ke gue waktu itu. Kita berdua muji2 zine itu tuh. "Cut & Paste" sekarang udah tergantikan dengan "Copy & Paste".

    BalasHapus
  23. Hehehe. Gpp, disini bebas nostalgila lah. Gue kenal Mira juga waktu dia masih kelas 2 SMP kalo gak salah ya? Jamannya belum banyak cewek di scene juga waktu itu. Goth girl yang berprestasi :)

    BalasHapus
  24. Maka berakhirlah dalam tindakan, jangan hanya dalam pikiran....

    BalasHapus
  25. wenz kalau gue 'diserang' di forum gue(lo tau dimana) dan gue gak tau jawabannya bantuin yak! hehehe

    BalasHapus
  26. Hahaha. Emangnya galak amat itu anak-anak indie sampe mo nyerang elo, Ga? Siap lah. :)

    BalasHapus
  27. hehehe..kadang2x soalnya gue mikir..."kok gue bisa nulis disini sih? pengetahuan gue ttg musik kan masih dikit berat..PEDE banget! hahaha..." jadi kadang2x bingung jawabnya gimana...thanks wenz! =)

    BalasHapus
  28. Ayo, Tan. Gue dukung! Menyenangkan jadi jurnalis itu tapi jangan berharap kaya dari sini ya hehehe...

    BalasHapus
  29. hahaha iya dah.ntar kalo gw ada pertanyaan2 soal jurnalistik2 gitu..gw tanya lo yak!heheeee

    BalasHapus
  30. Gw dulu beli Brainwashed di studio musik di tebet namanya I&N

    BalasHapus
  31. kalo penulis yang inspiring lu siapa wenz?

    BalasHapus
  32. wuahaha ..jadi teringat jaman dulu wenz gor bullungan ,blok m plaza lt 6 dan poster cafe ....ombat ama ndaru masih nyimpen tuh majalah lo ahahaha
    majalah metal gokil jaman dulu...

    BalasHapus
  33. Oke deh, Mister Master WenzRawk hahaha...Masih butuh bimbingan neh, Suhu...
    Oia, setahun sudah berapa kali ke Bali, Wenz? Bosan yah naik pesawat ke Bali? Hehehe...oleh2 dong kalo pergi lagi X P

    BalasHapus
  34. Gue emang pernah titip jual majalah disitu, bon. Cuma gue lupa edisi yang keberapa. Thx.

    BalasHapus
  35. Penulis luar untuk musik Lester Bangs, Jim deRogatis, Borivoj Krgin, Martin Popoff, etc. Penulis lokal gue suka Denny Sabri, Denny Sakrie, Robin Malau, Arian13, David Tarigan, Soleh Solihun, Hasief Ardiasyah. Dulu pernah suka sama Remy Sylado but now that old guy is just a jerk, total jerk :)

    BalasHapus
  36. Tempat-tempat yang lu sebutin itu kuil-kuil underground metal '90an tuh haha...

    BalasHapus
  37. Masih jaman emang dibimbing, Lin? Hehe. Gue aja kagak pake bimbingan karir dulu :) Banyak-banyak ngebaca tulisan-tulisan bagus dari para penulis yang elo suka gue rasa udah cukup menginspirasi dan memotivasi kayaknya. Alin juga tulisannya bagus-bagus nih, salute euy! Hampir setaon ini udah 6x ke Bali. Nggak pernah sebosen ini gue ke Bali hahaha...

    BalasHapus
  38. saya adalah salah satu pembaca brainwashed :)

    BalasHapus
  39. gue jadi inget salah satu filsafat bekerja, "sesuatu yang dikerjakan dengan hati, pastinya nyampenya ke hati juga"

    *kenapa gue jadi sok filosofis gini.. mungkin karena bulan puasa dan mengantuk?

    BalasHapus
  40. wah udah dimuat aja..hehe..

    jawaban-jawaban yang menyenangkan, mudah-mudahan gw bisa merangkumnya dengan baik :)

    BalasHapus
  41. pas di bagian jawaban dari pertanyaan tentang modal membuat jadi terharu bacanya, wenz! hiks... =')

    BalasHapus
  42. hihihiii. . . ini serius, wenz? x)

    BalasHapus
  43. berarti 11-12 sama musisi donk ya, wenz? kalo gitu mending merit sm musisi ato jurnalis ni??? hahaha... XD
    tapi lo percaya gak kalo emang gak dilakukan secara kontinyu, kemampuan menulis lo akan hilang? dulu gw sangat suka menulis!!! itu gw lakukan sampe kuliah, bahkan gw sempet dipercaya dan dibayar temen-temen gw untuk menjadi editor skripsi mereka gitu! hehehe... tapi setelah kerja kok sepertinya udah merasa gak ada waktu lagi buat menulis dan akhirnya jadi kaku banget! kosa kata aja seakan berkurang dan harus berfikir keras untuk mendapatkannya. hiks!

    BalasHapus
  44. mending sama musisi yang jurnalis vice versa xp

    BalasHapus
  45. mendingan sama musisi, pembaca berita, jurnalis, manager, pegawai bank, spg, temannya spg, tetangganya, dan teman tetangganya, kuantiti itu sangat penting

    BalasHapus
  46. Jadi terngiang zaman dahulu.
    Ada Brainwashed, ada Tigabelas (dari sini editornya cerita bahwa dia pernah ngasih kado seekor anak anjing ke kekasihnya), lalu menyusul munculnya banyak fanzine/newsletter lokal lainnya.

    Saya ingat zine yang bernama Membakar Batas, Kata seorang teman, Zine itu semacam injil bagi editor zine lokal, Semua dibahas disitu.

    Lalu ada Sayap Imaji yang menulis Daily Orgasmic Pleasure.

    Kalau dari luar saya selalu ingat 1 nama zine yang menginspirasikan semangat atau Etos DIY dalam dunia tulis menulis. Zine itu bernama: UGLY DUCKING!!

    Mungkin Wenz pernah mendengarnya?

    Ahh...nostalgia tentang zine, membuat diri saya carut-marut untuk memulai Ide-ide dengan Lem, Gunting, Kertas lagi.

    Interview yang bagus, kawan.

    BalasHapus
  47. saya sekarang lg suka zine "BEYOND THE BARBED WIRE", 'WASTED ROCKER", JURNAL APOCALYPSE", 3 zine lokal yg saya akuin bagus saat ini. boleh dunk zine BRAINWASHED copyan nya klo masih simpan masternya? oia saya jg sempat copy paste artikel anda utk scene music underground indonesia, sy taruh di blog sy di www.myspace.com/kontrakmati
    thx_dikalebon

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

IKJ: SCHOOL OF ROCK [Editor's Cut]

LED ZEPPELIN Reunion 2007: The Full Report From David Fricke